Dear Dreamers!
Apa kabar semuanya? Mohon maaf ya saya menghilang selama tiga hari ini. Well, saya akan merangkum apa saja yang saya lakukan selama menghilang di akhir minggu.
Keberangkatan saya ke NIMS ini meninggalkan sejumlah hutang dari Sumbawa untuk diselesaikan, yaitu UAS tiga mata kuliah yang tidak terkejar saat di Sumbawa. Di semester tiga ini, ada enam mata kuliah yang saya ikuti, yakni Mikrobiologi, Kimia Fisik, Biologi Kelautan, Biologi Madu, Biologi Sel dan Molekuler, dan Biologi Susu Ternak. Selama di Sumbawa, saya hanya berhasil mengikuti ujian Biologi Kelautan, Biologi Madu, dan Kimia Fisik, itu pun saya harus ujian sendiri karena waktu UAS tanggal 5-17 Januari, sedangkan saya sudah harus meninggalkan Sumbawa tanggal 2 Januari. Jadilah saya menjalani UAS prematur. Ditambah mengejar beberapa materi seorang diri, menyiapkan segala keperluan ke Jepang, saya akui UAS saya tidak berjalan sukses. Karena otak saya terkuras untuk mengurus beberapa hal dalam waktu yang bersamaan, konsentrasi saya terpecah. Jadilah UAS semester ini saya total menerapkan sistem SKSD (Sistem Kebut Sejam Dua-jam). Mohon jangan ditiru ya, hehehe (ini hanya trik di saat yang benar-benar kepepet, jangan diterapkan kalau tidak perlu).
Hal yang sama saya alami saat menjalani UAS di Jepang. Saya mengambil waktu akhir pekan saya kali ini untuk menuntaskan UAS Biologi Susu Ternak, Biologi Sel dan Molekuler, dan Mikrobiologi. Jumat hingga Ahad malam menjadi waktu terbaik saya untuk menuntaskan ketiga mata kuliah ini, lagi-lagi dengan sistem SKSD, karena (lagi-lagi) fokus saya terpecah untuk pekerjaan di lab, ujian, dan urusan perut, hehehe.
Hari Jumat bisa dikatakan hari kacau. Materi Mikrobiologi yang belum selesai saya pelajari Kamis malam membuat saya kepikiran, bahkan sampai di lab. Akibatnya, saya sampai lupa menggunakan sarung tangan saat memasuki lab.
"Sumimasen, Fahmi-san. Sebaiknya kamu gunakan sarung tangan dulu," kata Kohara-san saat saya hendak membuka kulkas untuk mengambil medium. Saya menatap kedua tangan saya yang 'telanjang'. Saya bergegas mengambil sarung tangan di sebelah freezer. "Sumimasen, Kohara-san. Mmm... hari ini saya agak kepikiran UAS saya," ujar saya pelan.
"Ah, nanti malam ya? Aaaah, ganbatte kudasai (semangat ya)!" Kohara-san menyemangati saya.
Sabtu pagi, saya terbangun pukul 06.00 dan langsung berkutat dengan materi Biologi Susu Ternak. Pukul 10.00, saya singgah ke apartemen Mr. Arun, mengajaknya belanja ke Hanamasa. "Tapi mohon maaf, sepertinya kita tidak bisa lama, soalnya saya ada janji jam 12," kata saya pada Mr. Arun.
"Mmm...kalau begitu sepertinya kita tidak akan punya cukup waktu. Kalau ke Seiyu saja bagaimana?" Mr. Arun menawarkan saran.
Saya melihat beliau sekilas. Nampak jelas gurat kelelahan di wajah beliau. Saat saya telepon, beliau berujar baru saja bangun tidur. "Mmm... you look so busy this week (Anda kelihatan sangat sibuk minggu ini). Oke, saya akan belanja ke Seiyu. Saya tau jalannya, jadi hari ini Anda istirahat saja, saya lihat Anda sangat butuh itu," ujar saya akhirnya.
"Okay, enjoy your Saturday (baiklah, nikmati hari Sabtumu)," ujar Mr. Arun.
"You too (Anda juga)," jawab saya lalu beranjak pamit.
Maka pagi itu saya mengeksplor isi Seiyu untuk menemukan keperluan saya menjelang tanggal tua bulan ini. Persediaan Yen yang kian menipis membuat saya harus menguras otak menentukan apa saja yang harus saya beli. Akhirnya, saya memilih beras, daging sapi, susu, telur, pisang, apel, dan coklat untuk menjadi amunisi saya dalam menghabiskan dua minggu tersisa di bulan Januari.
Belanjaan di Seiyu |
Usai shalat Dzuhur dan makan siang, saya berangkat ke Tsukuba Center. Angin yang cukup kencang menghambat langkah saya. Sesampainya di Tsukuba Center, Pak Amel, Teh Puti, Meisya (putri Pak Amel), dan Mas Rudi telah menunggu saya di halte dua. Pukul 12.25, kami ditambah Mbak Dhama berangkat ke JICA TBIC, tempat GOR kami bermain bulutangkis hari ini.
Meskipun sedang UAS, saya tetap menyempatkan diri bermain bulutangkis, karena kami hanya bertemu seminggu sekali, jadi sayang sekali rasanya jika saya lewatkan, hehehe.
Setelah melalui UAS Mikrobiologi pada Jumat malam, Sabtu malam ini saya lalui dengan UAS Biologi Susu Ternak. Malam ini terasa menyenangkan karena usai UAS saya memiliki kesempatan untuk bercengkerama dengan teman-teman saya. Mereka akan melakukan penanaman pohon Binong esok hari. Sedih juga sih tidak bisa ikut. Tetap semangat ya semuanya!
Ahad pagi, saya menyibukkan diri dengan materi Biologi Sel dan Molekuler. Saya menemui kendala besar pagi ini. Materi yang harus saya pelajari ada di buku Biologi Molekuler, tulisan Dr. Triwibowo Yuwono. Saya berhasil menemukan buku tersebut di google library, namun kemudian saya tersadar, bahwa buku itu hanya dapat diakses di bab awal saja. Alhasil, saya mencari satu persatu materi yang akan diujiankan via mbah google.
Kemudian, pukul 11.00, saya mengembalikan rice cooker Bu Ira dan membantu beliau membawa beberapa makanan ke Salon.
Tunggu, Salon? Ngapain bawa makanan? Mungkin teman-teman ada yang bertanya seperti itu, hehehe. Awalnya saya juga bingung pas disuruh sewa Salon (nah lho?).
Salon yang dimaksud di sini bukan tempat untuk perawatan kecantikan. Salon adalah nama fasilitas umum di Ninomiya House yang dapat digunakan untuk `nongkrong`. Tempatnya ada di lantai 9. Dinding kaca membungkus ruangan kece ini, sehingga pemandangan Tsukuba terpampang dengan indah. Bahkan kita dapat melihat Gunung Fuji dari kejauhan.
Untuk memakai Salon ini, saya terlebih dulu melakukan reservasi hari Jumat, kemudian pihak apartemen akan memberi formulir yang berisi identitas penyewa, waktu peminjaman, jumlah orang, dan fasilitas apa yang digunakan. Berapa biaya sewanya? Salon disewa dengan hitungan jam. Bagi orang yang bukan penghuni Ninomiya dikenakan biaya sekitar 2.000 yen per jam (sekitar Rp 200.000). Mahal? Tentu. Tapi, berhubung saya penghuni Ninomiya, kami cukup membayar 200 Yen per jam (sekitar Rp 20.000). Jauh lebih murah. Itulah mengapa penghuni Ninomiya `dimanfaatkan` untuk menyewa fasilitas ini, hahaha. Biasanya yang menyewa adalah Bu Ira untuk keperluan kumpul-kumpul mahasiswa PPI atau masyarakat Indonesia yang bekerja di Tsukuba. Berhubung Bu Ira telah melakukan reservasi untuk dua kegiatan dalam bulan ini, maka diutuslah saya untuk menyewa Salon untuk acara hari Ahad ini.
Ahad siang ini hingga menjelang maghrib (11.00-17.00) bapak-bapak dan ibu-ibu yang bekerja di Tsukuba dan sekitarnya mengadakan acara kumpul-kumpul yang diisi acara makan siang dan nonton film. Yang hadir kebanyakan sudah berkeluarga sih, seperti Pak Amel, Pak Cepi, Bu Atie, Pak Alfian yang datang bersama keluarga masing-masing (kecuali Pak Cepi karena keluarga beliau sudah pulang duluan ke Indonesia). Ada juga yang masih melajang, seperti Bu Ira, Mbak Maryane, Mas Joko, dan Mas Alif, serta tentu saja saya.
Usai Dzuhur, semua sudah berkumpul dengan wajah gembira. Pak Amel dan Pak Alfian tampak sibuk mengutak-atik tv untuk menonton film. Ibu-ibu tengah mengatur hidangan makan siang. Mas Joko dan Mas Alif langsung asyik dengan meja biliar, sementara anak-anak dengan riang gembira menyusuri ruangan Salon. Lha, terus saya ngapain?
Saya sempat kagok sih karena di dalam ruangan ini tidak ada yang sebaya dengan saya. Akhirnya, saya memilih duduk di depan tv menyaksikan tayangan Jepang sambil menunggu Pak Amel dan Pak Alfian yang masih berjuang mengutak-atik settingan tv dibantu Pak Cepi.
Untunglah saat film mulai ditanyangkan, gerombolan bapak-bapak, mas-mas, dan anak-anak segera berkerumun di depan layar kaca. Kali ini kami menonton film Jepang (saya lupa judulnya) yang tenar di era bapak-bapak, sedangkan saya, Mas Alif, dan Mas Joko terduduk saja di depan tv.
"Ini film apa?" tanya Mbak Ane (panggilan Mbak Maryane) lalu nimbrung bersama kami. Saat diberitahu Pak Amel filmnya film sedih, Mbak Ane lantas komplain, "Yah, jangan film sedih dong, saya datang pengen senang-senang."
Maka film pun berganti ke Saint Seiya. Kalau yang ini saya sempat nonton animenya, walaupun tidak sampai selesai. Di tengah-tengah film, ibu-ibu mempersilahkan kami mengambil makan siang.
Perut saya yang sudah kelaparan menjelang stadium akhir segera mendekat ke sumber makanan. Menu siang ini adalah nasi putih, sayur asam, tumis kerang, bala-bala (mudah-mudahan saya nggak salah nama), ayam goreng, dan tak lupa sambal. Selain itu, ada pula makanan kecil seperti jelly, donat, buah-buahan, serta aneka minuman. Saya kembali bergabung di depan tv sambil menyantap masakan Indonesia di piring saya. Walaupun dibilang seadanya (kata Bu Ira), namun bagi saya ini sudah makanan mewah, sekaligus perbaikan gizi, hahaha.
Usai makan siang, para senior berganti topik dari film menjadi sesi curhat. Siang ini Mbak Ane berkonsultasi dengan ibu-ibu dan bapak-bapak. Saya mendengar sesi curhat ini sambil membayangkan bagaimana ketika saya ada di posisi itu.
Di tengah sesi diskusi, seorang wanita berwajah oriental masuk ke Salon. Bu Ira pun menyapanya.
"Where are you from?" tanya Bu Ira.
"I`m from Korea," jawab wanita tersebut.
"Ah, annyeong haseyo. Gwaenchanayo?" tanya Bu Ira yang langsung disambut ledakan tawa kami semua.
Bu Ira lalu mengajak gadis itu berkeliling Salon sejenak, sebelum ia berlalu meninggalkan kami.
Banyak pelajaran berharga yang saya dapatkan dalam sesi sharing ini, terutama tentang sistem kerja di Jepang.
"Kalo kamu memang kurang sreg sama sistem kerjanya, bilang aja dari awal. 'Saya mau kerjain project ini, tapi jangan push saya karena saya punya batasan'. Saya juga dulu gitu kok. Saya nggak bisa kerja di lab sampai malam gitu. Jadi, saya bilang 'kasih saya deadline, nanti saya selesaikan dengan cara saya'," Bu Atie memberi masukan.
"Saya dikasih nasehat sama Ibu saya, 'Kamu kerjain aja semaksimal yang kamu bisa. Kalo memang nggak bisa selesai atau hasilnya kurang memuaskan, ya itu karena kita punya batasan. Yang paling penting jangan sampai lupa sama Allah'," Bu Ira menimpali.
Begitulah, acara friend's gathering ini menjadi semacam ajang untuk saling menyemangati dan saling menguatkan sebagai sesama perantau. Pukul 17.00, kami menyudahi acara dengan foto bersama.
Malamnya, saya mengerjakan UAS Biologi Sel dan Molekuler. Alhamdulillah, malam ini UAS saya usai. Meskipun mungkin hasilnya tidak begitu maksimal, setidaknya saya telah melunasi hutang utama saya di semester ini.
Oke deh Dreamers, sekian dulu kisah hari ini. See you!
Habis main bulutangkis |
Ahad pagi, saya menyibukkan diri dengan materi Biologi Sel dan Molekuler. Saya menemui kendala besar pagi ini. Materi yang harus saya pelajari ada di buku Biologi Molekuler, tulisan Dr. Triwibowo Yuwono. Saya berhasil menemukan buku tersebut di google library, namun kemudian saya tersadar, bahwa buku itu hanya dapat diakses di bab awal saja. Alhasil, saya mencari satu persatu materi yang akan diujiankan via mbah google.
Kemudian, pukul 11.00, saya mengembalikan rice cooker Bu Ira dan membantu beliau membawa beberapa makanan ke Salon.
Tunggu, Salon? Ngapain bawa makanan? Mungkin teman-teman ada yang bertanya seperti itu, hehehe. Awalnya saya juga bingung pas disuruh sewa Salon (nah lho?).
Salon yang dimaksud di sini bukan tempat untuk perawatan kecantikan. Salon adalah nama fasilitas umum di Ninomiya House yang dapat digunakan untuk `nongkrong`. Tempatnya ada di lantai 9. Dinding kaca membungkus ruangan kece ini, sehingga pemandangan Tsukuba terpampang dengan indah. Bahkan kita dapat melihat Gunung Fuji dari kejauhan.
Salon |
Untuk memakai Salon ini, saya terlebih dulu melakukan reservasi hari Jumat, kemudian pihak apartemen akan memberi formulir yang berisi identitas penyewa, waktu peminjaman, jumlah orang, dan fasilitas apa yang digunakan. Berapa biaya sewanya? Salon disewa dengan hitungan jam. Bagi orang yang bukan penghuni Ninomiya dikenakan biaya sekitar 2.000 yen per jam (sekitar Rp 200.000). Mahal? Tentu. Tapi, berhubung saya penghuni Ninomiya, kami cukup membayar 200 Yen per jam (sekitar Rp 20.000). Jauh lebih murah. Itulah mengapa penghuni Ninomiya `dimanfaatkan` untuk menyewa fasilitas ini, hahaha. Biasanya yang menyewa adalah Bu Ira untuk keperluan kumpul-kumpul mahasiswa PPI atau masyarakat Indonesia yang bekerja di Tsukuba. Berhubung Bu Ira telah melakukan reservasi untuk dua kegiatan dalam bulan ini, maka diutuslah saya untuk menyewa Salon untuk acara hari Ahad ini.
Pemandangan kota Tsukuba |
Ahad siang ini hingga menjelang maghrib (11.00-17.00) bapak-bapak dan ibu-ibu yang bekerja di Tsukuba dan sekitarnya mengadakan acara kumpul-kumpul yang diisi acara makan siang dan nonton film. Yang hadir kebanyakan sudah berkeluarga sih, seperti Pak Amel, Pak Cepi, Bu Atie, Pak Alfian yang datang bersama keluarga masing-masing (kecuali Pak Cepi karena keluarga beliau sudah pulang duluan ke Indonesia). Ada juga yang masih melajang, seperti Bu Ira, Mbak Maryane, Mas Joko, dan Mas Alif, serta tentu saja saya.
Usai Dzuhur, semua sudah berkumpul dengan wajah gembira. Pak Amel dan Pak Alfian tampak sibuk mengutak-atik tv untuk menonton film. Ibu-ibu tengah mengatur hidangan makan siang. Mas Joko dan Mas Alif langsung asyik dengan meja biliar, sementara anak-anak dengan riang gembira menyusuri ruangan Salon. Lha, terus saya ngapain?
Saya sempat kagok sih karena di dalam ruangan ini tidak ada yang sebaya dengan saya. Akhirnya, saya memilih duduk di depan tv menyaksikan tayangan Jepang sambil menunggu Pak Amel dan Pak Alfian yang masih berjuang mengutak-atik settingan tv dibantu Pak Cepi.
Untunglah saat film mulai ditanyangkan, gerombolan bapak-bapak, mas-mas, dan anak-anak segera berkerumun di depan layar kaca. Kali ini kami menonton film Jepang (saya lupa judulnya) yang tenar di era bapak-bapak, sedangkan saya, Mas Alif, dan Mas Joko terduduk saja di depan tv.
"Ini film apa?" tanya Mbak Ane (panggilan Mbak Maryane) lalu nimbrung bersama kami. Saat diberitahu Pak Amel filmnya film sedih, Mbak Ane lantas komplain, "Yah, jangan film sedih dong, saya datang pengen senang-senang."
Maka film pun berganti ke Saint Seiya. Kalau yang ini saya sempat nonton animenya, walaupun tidak sampai selesai. Di tengah-tengah film, ibu-ibu mempersilahkan kami mengambil makan siang.
Perut saya yang sudah kelaparan menjelang stadium akhir segera mendekat ke sumber makanan. Menu siang ini adalah nasi putih, sayur asam, tumis kerang, bala-bala (mudah-mudahan saya nggak salah nama), ayam goreng, dan tak lupa sambal. Selain itu, ada pula makanan kecil seperti jelly, donat, buah-buahan, serta aneka minuman. Saya kembali bergabung di depan tv sambil menyantap masakan Indonesia di piring saya. Walaupun dibilang seadanya (kata Bu Ira), namun bagi saya ini sudah makanan mewah, sekaligus perbaikan gizi, hahaha.
Usai makan siang, para senior berganti topik dari film menjadi sesi curhat. Siang ini Mbak Ane berkonsultasi dengan ibu-ibu dan bapak-bapak. Saya mendengar sesi curhat ini sambil membayangkan bagaimana ketika saya ada di posisi itu.
Di tengah sesi diskusi, seorang wanita berwajah oriental masuk ke Salon. Bu Ira pun menyapanya.
"Where are you from?" tanya Bu Ira.
"I`m from Korea," jawab wanita tersebut.
"Ah, annyeong haseyo. Gwaenchanayo?" tanya Bu Ira yang langsung disambut ledakan tawa kami semua.
Bu Ira lalu mengajak gadis itu berkeliling Salon sejenak, sebelum ia berlalu meninggalkan kami.
Banyak pelajaran berharga yang saya dapatkan dalam sesi sharing ini, terutama tentang sistem kerja di Jepang.
"Kalo kamu memang kurang sreg sama sistem kerjanya, bilang aja dari awal. 'Saya mau kerjain project ini, tapi jangan push saya karena saya punya batasan'. Saya juga dulu gitu kok. Saya nggak bisa kerja di lab sampai malam gitu. Jadi, saya bilang 'kasih saya deadline, nanti saya selesaikan dengan cara saya'," Bu Atie memberi masukan.
"Saya dikasih nasehat sama Ibu saya, 'Kamu kerjain aja semaksimal yang kamu bisa. Kalo memang nggak bisa selesai atau hasilnya kurang memuaskan, ya itu karena kita punya batasan. Yang paling penting jangan sampai lupa sama Allah'," Bu Ira menimpali.
Begitulah, acara friend's gathering ini menjadi semacam ajang untuk saling menyemangati dan saling menguatkan sebagai sesama perantau. Pukul 17.00, kami menyudahi acara dengan foto bersama.
Oleh-oleh dari bapak-bapak dan ibu-ibu PPI. Terima kasih! |
Oke deh Dreamers, sekian dulu kisah hari ini. See you!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar