Link

Rabu, 21 Januari 2015

I Did It!

Dear Dreamers!

Saya mengayuh sepeda di bawah langit mendung kota Tsukuba. Sesampainya di kantor, saya berpapasan dengan Yuko-san di lift.

"Bagaimana ELISA-mu kemarin?" tanya Yuko-san membuka percakapan.

"Well, saya memulainya dengan baik kemarin," ujar saya lalu tersenyum.

"Kamu harus mengajarkannya ke saya nanti. Saya belum pernah melakukannya," kata Yuko-san lagi. Saya menanggapinya dengan tawa kecil.

Dr. Yamazaki dan Kohara-san  sudah di ruang kerja saat kami masuk. Dr. Yamazaki meminta saya melanjutkan ELISA dan mengikuti Kohara-san melakukan eksperimen. "Lab biasanya tutup jam 7. Tapi jangan khawatir, kalau ada apa-apa tanya saja Takemura-san. Beliau biasanya di lab hingga jam 8 malam," kata Dr. Yamazaki.

"Baiklah, terima kasih banyak," jawab saya lalu tersenyum.

Saya lalu berangkat ke lab bersama Kohara-san dan Yuko-san.

"Mungkin saat kamu pulang nanti hujan akan turun, atau mungkin salju," kata Yuko-san saat kami berjalan ke lab.

"Benarkah? Wah, saya harus pinjam payung lagi," ujar saya setengah bergumam.

"Hmm...begitulah," kata Yuko-san lagi.

"Fahmi-san, biasanya kamu kalau belanja, pergi ke mana?" tanya Kohara-san/

"Hmm, minggu pertama saya diajak Dr. Yamazaki ke Kasumi. Selanjutnya saya belanja di Seiyu. Mungkin bulan depan saya mau ke Hanamasa untuk mencari daging halal," kata saya sambil merapatkan jaket, berusaha menghalau angin yang kian menusuk.

Pembicaraan beralih ke telur. Saya baru tau kalau ternyata orang Jepang suka makan telur mentah. Karena itulah di setiap kemasan telur tercantum tanggal kadaluarsa telur, yang biasanya hanya satu minggu. "Itu bagaimana maksudnya?" tanya saya bingung.

Kohara-san lalu tertawa. "Dulu Rizky-san juga pernah bertanya hal yang sama. Jadi tanggal itu maksudnya untuk menandakan kapan telur itu masih bisa dimakan mentah. Jika sudah lewat tanggal kadaluarsa, telurnya sudah tidak bisa dimakan mentah lagi, tapi masih bisa dimasak," jelas Kohara-san.

"Oh, gitu ya. Saya sempat khawatir dengan telur yang saya beli," ujar saya sambil mengingat stok telur di kulkas.

"Fahmi-san, kamu tau tidak CpG ODN 2006x3 PD?" tanya Kohara-san saat kami tiba di lab.

"Mmm, Saya pernah dengar dari dr. Febri," jawab saya.

"Hari ini kita akan melakukan eksperimen dengan CpG ODN," kata Kohara-san ringan.

"Eeeeh...?" saya menggumam dengan nada yang ditinggikan di bagian akhirnya, seperti gaya bicara tokoh-tokoh anime. Yuko-san tertawa mendengar gumaman saya.

"Wow, caramu mengucapkannya persis seperti orang Jepang," ujar beliau sambil menahan tawa.

"Kohara-san memberi tanda 'tenang' saat membuka pintu lab. Di dekat papan tulis, saya melihat Mr. Chen sedang melakukan presentasi di hadapan beberapa orang, rekan kerja satu tim beliau. Kami berjalan pelan agar tidak mengganggu konsentrasi mereka.

"Hari ini kita akan melakukan stimulasi sel. Untuk melakukan eksperimen ini, kita akan menyiapkan nanopartikel dan CpG ODN, yang akan distimulasi ke sel 293," Kohara-san menjelaskan setengah berbisik.

Saya lalu mengikuti rangkaian eksperimen, mulai dari membuat larutan nanopartikel, menyiapkan CpG ODN, melakukan stimulasi ke sel 293, dan menguji efisiensi penempelan partikel menggunakan nanodrop. Di sela-sela eksperimen, saya membuat stok medium untuk keperluan passaging cells saya.

Mr. Chen lalu masuk dan bergabung dengan kami.

"Aah," Kohara-san meringis.

"Doushite? Anata no kodomo (kenapa? anak Anda)?" tanya saya dari clean bench.

"Iie (tidak)."

"Aah, anata no kodomo no kurasu (aah, kelas anak Anda)," tebak saya lagi.

"Hai. Besok kelas anak saya libur gara-gara influenza," keluh Kohara-san. "Mungkin saya tidak bisa masuk besok," lanjut beliau.

"Aaaaahh...." saya, Yuko-san, dan Kohara-san mengeluh kompak.

"Ada apa?" tanya Mr. Chen melihat kami keheranan. Kohara-san lalu memberitahukan Mr. Chen mengenai masalah anak beliau.

"Aah, wakatta (saya ngerti). Bawa saja anakmu kemari. Ajarkan dia cara mengkultur sel dan sebagainya. Anakmu pasti bangga mempunyai ibu hebat sepertimu," kata Mr. Chen. Saya tak kuasa menahan tawa. Dasar Mr. Chen.

"Huuuh, kalau begitu lebih baik saya minta tolong kamu saja yang mengurusnya," kata Kohara-san lalu tertawa.

Usai melakukan stimulasi, saya melanjutkan tes ELISA saya hingga menjelang jam makan siang.

Saat kembali ke kantor, Mr. Arun menawarkan saya nanas yang dibumbui lada. "Cobalah, ini bagus untuk menghangatkan tenggorokan," tawar Mr. Arun.

Saya pun mencicipinya sedikit. Rasanya agak aneh. "Hmm....saya suka nanasnya. Terima kasih," ujar saya lalu tersenyum. "Entahlah, mungkin karena saya tidak terbiasa dengan rasanya," lanjut saya.

Nanas dan lada. Silahkan dicoba sendiri ya :D
Usai shalat Dzuhur, saya bergegas ke kafetaria. Yuko-san dan Kohara-san sudah di sana, ditambah Mr. Arun.

Saat saya tiba, Kohara-san sedang menaruh sesuatu di kotak bekal Mr. Arun. Seperti kedelai dengan lendir-lendir lengket.

Kohara-san kemudian menaruhnya juga di sendok saya. "Ini namanya natto, makanan tradisional Jepang dari kedelai yang difermentasi. Coba dimakan pakai nasi."

Saya pun mencicipinya sedikit dengan nasi. Saat kedelai 'berlendir' itu lumer di lidah saya, seketika saya merindukan satu bagian dari kehidupan saya di Indonesia.

"Kalian tau, makanan ini membuat saya teringat pada tempe," ucap saya dengan mata berbinar. Ya, rasa natto hampir sama dengan tempe mentah. Mungkin kalau natto digoreng rasanya akan mirip sekali dengan tempe.

"Mmm, benar. Rasanya mungkin hampir mirip tempe," komentar Kohara-san.

Natto
Kemudian saya diberi satu makanan lagi, bentuknya seperti kurma. "Ini namanya ume mochi. Tadi Yoshida-san yang memberinya," kata Kohara-san.

"Di dalamnya ada biji, buang dulu bijinya. Makan sedikit dulu, saya khawatir kamu tidak suka rasanya," kata Yujo-san.

Saya pun mencicipinya sedikit. Rasanya kecut, dan teksturnya mirip seperti buah 'goal' alias bidara. "Mmm... rasanya mirip seperti buah di Sumbawa, dan saya suka," ujar saya riang. Syukurlah makanan-makanan baru ini tidak mendapat demo dari indra pengecap saya. 

Ume mochi
Usai makan siang, saya lanjut menyelesaikan ELISA. Hingga saya tiba pada tahap saya melakukan kesalahan: menambahkan substrat TMB. Substrat akan bereaksi dengan enzim sinyal yang bertautan dengan antibodi spesifik, sehingga akan menimbulkan sinyal yang dapat dideteksi yaitu perubahan warna sampel. Penambahan substrat menjadi krusial karena larutan substrat ini sensitif cahaya, sehingga harus diminimalkan dari kontak dengan cahaya.

Kali ini saya berhasil. Larutan sampel saya mulai berubah warna menjadi biru.


"Bagaimana, bisa?" tanya Morita-sensei yang sedang melihat saya mengetuk-ngetuk plate.

"Yokatta (syukurlah), berhasil sensei," jawab saya gembira.

Saya lalu menambahkan stop solution dari asam kuat. Seketika larutan sampel berubah menjadi kuning cerah. Saya lalu menganalisis hasilnya dengan microplate reader.

Saya berniat meminta tolong Morita-sensei lagi. Namun, saya putuskan mencobanya sendiri. Meskipun awalnya sedikit ragu-ragu, Alhamdulillah saya berhasil menjalankan alatnya hingga selesai. Saya menyimpan hasil analisis sampel saya, lalu mematikan mesin pembaca, membereskan peralatan saya, dan meninggalkan ruang lab. 

Hasil akhir tes ELISA saya hari ini
Alhamdulillah tes ELISA saya selesai dengan baik!

Hujan masih mengguyur langit Tsukuba tatkala saya pulang. Terpaksa saya kembali meninggalkan sepeda saya di parkiran kantor. Kemungkinan besok pagi masih hujan, kata Kohara-san saat di lab. Saya menyesapi rintik-rintik air es sambil melamunkan apa yang akan saya masak saat tiba di apartemen nanti.

Well, itulah kisah saya hari ini. Eksperimen lab hari ini mengajarkan saya untuk tidak patah semangat menghadapi kegagalan saat melakukan percobaan. Yang terpenting terus berusaha dan mencoba sebaik yang kita bisa. Ganbatte!

Usai menambahkan stop solution

Tidak ada komentar:

Posting Komentar