Dear Dreamers!!
Ini hari pertama saya mulai magang di NIMS. Usai mandi dan sarapan, saya meninggalkan apartemen pukul 08.40, kemudian berjalan kaki selama 10 menit menuju kantor NIMS di Sengen. Cuaca yang cukup dingin memaksa saya melangkah cepat-cepat.
Pukul 09.00, Dr. Yamazaki menemui saya di pos jaga. Beliau kemudian memberikan saya kartu nama selama bertugas di NIMS. Kartu nama ini ternyata tidak hanya berfungsi sebagai pengenal, tapi juga untuk mengakses segala ruangan yang menggunakan sensor pendeteksi.
Kartu nama |
Saya lalu diajak ke ruangan saya di lantai 4. Saya mendapat jatah satu kubikel yang dulunya ditempati Bu Febri. Setelah itu, saya diajak ke gedung laboratorium, sekitar 5 menit berjalan kaki dari gedung kantor. Di sana, saya dikenalkan kepada Minowa-sensei, pengelola laboratorium tempat saya akan bertugas. Saya juga dikenalkann kepada staf beliau, antara lain Li-sensei, Morita-sensei, dan Takemura-sensei. Kemudian saya diajak ke laboratorium kultur sel dan jaringan, dan beberapa laboratorium umum yang digunakan bersama.
"Di sini, segala fasilitas yang ada digunakan secara bersama-sama, jadi kamu bisa gunakan meja yang mana saja. Tapi, jangan letakkan barang pribadi di atas meja. Silhakan letakkan di dalam laci dan beri catatan," kata Dr. Yamazaki.
Alat-alat yang digunakan di lab-lab ini sudah cukup banyak yang akrab bagi saya, seperti mikropipet, mikrotube, microcentrifuge, inkubator, shaker, clean bench, lemari asam, dan yang lainnya. Di lab, saya bertemu dengan Mr. Chen dari Taiwan. Ia sudah hampir setahun berada di sini. "Kamu di sini tiga bulan? Tiga bulan tidak akan lama! Saya sudah hampir setahun di sini, dan bulan depan saya harus pamit," kata Mr. Chen.
Kami lalu kembali ke ruang kerja. Di sini saya bertemu Chiaki-sensei, salah satu peneliti doktoral, Yuko-san, Mr. Shin (mahasiswa Tiongkok asal Australia), kemudian Mr. Arun Manoharan dari India.
"Doctoral student?" tanya Chiaki-sensei. Kemudian Dr. Yamazaki menjelaskan kalau saya baru mahasiswa S1 tahun kedua. Chiaki sensei tampak sangat terkejut.
"S1? Aaa.. sugoi (hebat)! 19 tahun ya? Wahh...," kata Chiaki-sensei antusias. Saya hanya tertawa kikuk diperlakukan seperti itu.
Selanjutnya, saya diajarkan Dr. Yamazaki cara men-setting LAN kantor untuk mengakses email khusus yang digunakan mengirim data-data pekerjaan. Selain LAN, ada juga fasilitas Wifi untuk akses internet. Di sini, setiap data sangat dilindungi dari kebocoran dan hal-hal semacamnya. Proteksi ruangan juga diperketat. Setiap ruangan diberi password khusus yang hanya bisa diakses karyawan ruangan tersebut.
Waktu menunjukkan pukul 12.00. Waktu istirahat hingga satu jam ke depan. "You will stay here? It's lunch time," kata Mr. Arun kepada saya sebelum meninggalkan ruangan.
"Is it okay to stay here? Saya bawa makanan kok," kata saya lagi.
"Oh, nggak papa. Kamu bisa makan di sini. Saya mau pulang dulu ke Ninomiya mengambil makan siang. Kamu tinggal di Ninomiya House?" tanya Mr. Arun
"Ya, Saya di kamar 3407."
"Benarkah? Saya di 3406," kata Mr. Arun terkejut.
"Benarkah? Okay, berarti kita tetangga," kata saya tersenyum riang.
Saya kemudian menanyakan ruang ibadah di sini, namun sayang Mr. Arun tidak tau. "Coba kamu tanya resepsionis di lantai 1, mungkin mereka bisa menunjukkan tempatnya," kata beliau kemudian pamit.
Saya pun berjalan ke lantai 1, namun karena jam istirahat, maka tidak ada orang di sana. Saat naik ke lantai 4, saya bertemu Dr. Yamazaki di pintu. "Ah, do you want to go lunch, or pray?"
"May I pray first?" tanya saya.
"Well, that's okay. Ayo saya antar ke sana," kata Dr. Yamazaki
Ternyata pray room ada di lantai 7. Sayangnya, saat kami tiba, ternyata pintunya terkunci. Usut punya usut, ternyata harus daftar dulu agar bisa mengakses kunci ruangan. Saya pun didaftarkan Dr. Yamazaki, namun butuh satu jam untuk bisa mengakses ruang itu, sementara waktu istirahat sudah hampir habis.
"Kalau begitu, saya shalat di sudut sana saja, is it okay?" tanya saya sambil menunjuk salah satu sudut yang agak lapang. Dr. Yamazaki mengijinkan saya mengakses ruangan.
Usai shalat, Dr. Yamazaki mengajak saya ke Cafetaria. "Bagus juga kalau kamu ke kafetaria, tapi jangan setiap hari, nanti bisa boros," ujar beliau. Kami pun memesan nasi ayam pedas. Meskipun namanya nasi ayam pedas, namun kenyataannya di lidah saya berasa seperti nasi ayam pedas manis, atau malah mungkin manis asam, hehehe.
"Kurang pedas ya? Untuk orang Jepang, ini sudah pedas," kata Dr. Yamazaki, seolah bisa membaca pikiran saya. Saya hanya tersenyum menanggapi ucapan beliau.
Sistem pemesanan di sini sudah otomatis. Di depan kafetaria sudah dipajang daftar menu yang disajikan. Kemudian, kita memasukkan sejumlah uang di mesin otomatis, kemudian memesan makanan kita di situ. Selanjutnya akan keluar kupon berisi daftar pesanan serta koin kembalian (jika kebetulan uangnya bukan uang pas). Selanjutnya, kupon tersebut diserahkan ke palayan dapur, lalu pesanan kita disajikan. Selain nasi ayam pedas, kami juga diberi sup miso, sup yang terbuat dari kedelai fermentasi dan ditambahkan aneka sayuran. "Bagi orang Jepang, ini menjadi hidangan wajib setiap makan," ujar Dr. Yamazaki.
Usai makan siang, kami mengantar nampan makan ke bagian cuci piring. Di sini, piring makan dibilas dengan mesin khusus yang memancarkan air, untuk membilas sisa-sisa makanan. Selanjutnya, piring diluncurkan ke wadah besar tempat peralatan makan akan disabun. Sayangnya, saya kelepasan meluncurkan piring saya ke luncuran sampah makanan, bukan ke bak pencucian. Saya buru-buru inta maaf sambil melihat piring saya bergabung dengan sampah makanan. "Daijoubu desu ne," (nggak apa-apa) ujar seorang pelayan wanita saat melihat ekspresi saya.
Saya lalu diajak Dr. Yamazaki ke ruangan administrasi untuk mengambil fee bulan ini. Kami kemudian kembali ke ruang kerja. Saya melihat seorang wanita duduk di meja sebelah kiri saya. Kami pun berbincang tentang perjalanan saya ke Jepang. Saya juga menceritakan banyak hal, terutama budaya Jepang yang menarik bagi orang Indonesia.
"Di Indonesia, banyak orang suka manga, seperti One Piece dan Naruto. Kalau saya lebih suka Doraemon," ujar saya sambil tersenyum.
Saya pun menanyakan nama beliau, karena sedari tadi kami belum berkenalan. Betapa terkejutnya saya mengetahui beliau adalah Akemi Hoshikawa sensei, yang selama saya menulis email ke beliau selalu saya panggil 'Mr'.
"Saya benar-benar minta maaf untuk hal itu," ujar saya sambil membungkuk.
"Udah, nggak papa. Saya tidak terlalu mempermasalahkan itu," ujar beliau sambil mengibaskan tangan. Usai berbicara cukup lama, saya pamit ke toilet.
Tak terasa, waktu telah menunjukkan pukul 18.15. Saya masih berkutat dengan bahan bacaan yang diberikan Dr. Yamazaki.
"Fahmi, kamu masih di sini?" tanya Dr. Yamazaki menghampiri saya, lalu menatap jam dinding. "Kamu boleh pulang kalau sudah jam 6, tapi kalau masih mau di sini tidak apa-apa. Itu nanti dibaca di rumah saja."
Saya hanya tersenyum mengiyakan. Sambil membereskan barang, Dr. Yamazaki kemudian melambaikan tangan meninggalkan ruangan. "See you tomorrow," ujar beliau sambil melambaikan tangan.
Saya pun berpamitan dengan karyawan lain yang masih ada di ruangan, kemudian bergegas pulang. Jalanan basah kuyup, tampaknya tadi sore hujan.
Sesampainya di Ninomiya House, saya singgah dulu di kamar 2303, kamarnya Bu Ida, staf BPPT yang tinggal di Ninomiya.
Tak lama setelah menekan bel, Bu Ida menyambut saya dengan hangat, seperti menyambut keluarga yang datang dari jauh. Sama seperti Chiaki-sensei, Bu Ida juga terkejut mengetahui saya masih mahasiswa S1. "Wah, sugoi! Hebat loh kamu, biasanya yang masuk sana mahasiswa senior atau peneliti. Di NIMS banyak orang Indonesia loh. Mungkin nanti kalau ada kegiatan bisa ikut gabung juga," kata Bu Ida.
Niat saya datang ke sini untuk meminjam rice cooker, namun Bu Ida memberi saya lebih banyak 'oleh-oleh', seperti buah, mie, bahkan daging ayam halal. Saya merasa tidak nyaman karena diberi terlalu banyak. "Udah nggak papa, ambil aja. Maaf ya cuma bisa bantu segini. Kebetulan sebentar lagi saya balik ke Indonesia," ujar Bu Ida yang sudah hampir 2 tahun tinggal di sini.
Sebelum saya pamit, Bu Ida mengajak saya keluar untuk menunjukkan apartemen Pak Cepi, salah satu mahasiswa doktoral yang juga magang di NIMS. "Nanti kalo ada perlu apa-apa jangan sungkan-sungkan ya. Harus semangat!" kata Bu Ida lagi.
Kami pun kembali ke apartemen Bu Ida, kemudian membawa barang-barang saya. "Terima kasih banyak Bu atas bantuannya. Assalamu'alaikum," ucap saya pamit.
Subhanallah, besar sekali bantuan yang saya terima hari ini. Ternyata saat berada di luar negeri seperti ini, ketemu orang Indonesia tidak ada bedanya dengan ketemu keluarga sendiri, sama seperti saat saya bertemu Pak Sukidi, Mas Putro, dan Pak Ahmad di Boston dulu. Semoga rasa persaudaraan seperti ini akan terus ada di antara sesama masyarakat Indonesia. Filosofi 'Bhinneka Tunggal Ika' haruslah kita pegang teguh. Inilah modal terbesar kita untuk bisa menjadi bangsa yang besar.
Oke Dreamers, sekian kisah saya hari ini. Semoga ada hikmah yang bisa diambil. Sampai jumpa :)
Pemandangan dari gedung kantor |
Kota Tsukuba di malam hari |
Rice cooker pinjaman dari Bu Ida |
'Oleh-oleh' dari Bu Ida hari ini |
Coklat hadiah tahun baru dari Dr. Yamazaki |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar