Link

Jumat, 09 Januari 2015

Shalat Jumat Pertama di Tsukuba

Dear Dreamers!

Pagi ini hati saya berseri-seri usai mengurus registrasi untuk sepeda baru saya, pinjaman dari Pak Cepi semalam. Ini hari pertama saya ke NIMS dengan sepeda. Rasanya seru juga. Di Tsukuba, pengendara sepeda sama dengan pejalan kaki, jadi bisa menggunakan trotoar untuk mengendarai sepeda.

Efek pertama naik sepeda langsung terasa. Kaki saya mulai pega-pegal, hehehe (gara-gara sudah lama nggak sepedaan). Tapi pagi ini lebih baik dibanding semalam, saat saya dan Pak Cepi harus menerjang angin yang lumayan kencang untuk berbelanja ke Marumo. Kedua, saya tidak lagi masuk melalui pintu utama, melainkan melalui pintu samping yang dekat dengan parkir sepeda. Biasanya saya mengakses pintu itu hanya saat ke lab. "Ohayou gozaimasu," sapa saya pada seorang karyawan yang sedang mengompa sepedanya saat saya tiba di parkiran.

Sesampainya di ruangan, ternyata Dr. Yamazaki sudah ada di kubikel beliau. Kemudian Kohara-san, Yoshida-san, Yuko-san, dan yang lainnya mulai berdatanga. Satu wajah baru memasuki ruangan kami, seorang wanita muda berusia pertengahan 20-an. Saya pun memperkenalkan diri.

"Hajimemashite, watashi wa Yuka-san desu. Douzo yoroshiku onegaishimasu," ujar Yuka-san sambil menunjukkan kartu namanya.

Yuka-san kemudian kembali ke mejanya dan membagikan kami kue tahun baru kepada kami semua. "Arigatou gozaimasu," saya tersenyum lalu mengambil kue pemberian Yuka-san.

Kue tahun baru dari Yuka-san
"Fahmi-san, jam berapa kamu akan shalat hari ini?" tanya Kohara-san.

Semalam saya mengirim email ke Dr. Yamazaki, ingin minta izin shalat Jumat bersama Bapak-bapak mahasiswa Indonesia yang sedang riset di NIMS. Alhamdulillah, saya diberi izin.

"Ah, saya akan pergi dari jam 11.45 sampai 01.15," jawab saya.

Dr. Yamazaki lalu menghampiri saya. "Ah, bagaimana? Kamu bilang mau pergi shalat siang ini?"

Saya mengangguk sambil tersenyum.

"Ah, tentu saja kamu boleh pergi. Apakah setiap minggu?"

"Ya, tapi hanya hari Jumat jadwalnya seperti itu. Thank you very much," jawab saya lagi. Saya bersyukur orang-orang di sini cukup toleran dengan jadwal shalat umat muslim. Setidaknya untuk shalat Jumat masih diizinkan meninggalkan kantor. Saya tadinya sudah siap-siap hanya shalat Dzuhur di praying room jika tidak diizinkan keluar.

Pagi ini, Kohara-san mengajarkan saya cara melakukan passaging cells. Passaging cells adalah pemindahan sel kultur ke medium baru setelah jumlah pertumbuhannya cukup untuk melakukan eksperimen selanjutnya. Idealnya, passaging cells bisa dilakukan saat jumlah sel mencapai 80%-90% menutupi dasar labu sel kultur. Jika jumlahnya di atas 90% maka kurang baik untuk pertumbuhan sel itu sendiri karena ruang pertumbuhannya sudah sangat sedikit.

Kami melakukan passaging cell untuk sel 293 yang diisolasi dari ginjal embrio manusia. Usai melakukan passaging cells, saya melakukan penggantian medium untuk sel RAW 264 yang saya kultur kemarin.

"Hai, kyou anata wa zenbuu owarimashita. So, you can go pray (Sekarang kamu sudah selesai. Jadi, kamu bisa pergi shalat," kata Kohara-san.

Kami keluar dari lab kultur sel, kemudian saya membantu Kohara-san mencuci labu yang digunakan untuk menampung limbah cair hasil eksperimen.

"Hai, arigatou gozaimasu. Kamu boleh kembali ke ruangan sekarang, saya masih ada beberapa pekerjaan," kata Kohara-san sambil tersenyum.

"Hai, otsukare sama deshita," ucap saya sambil membungkukkan badan.

Karena hari ini saya Jumatan, jadi saya ke kafetaria lebih pagi. Tepat pukul 11.45 saya tiba di lobi utama. Saat hendak keluar, seseorang memanggil saya. Pak Cepi. "Kita nunggu di sini dulu aja, bentar lagi mereka datang. Di luar samui (dingin)," kata Pak Cepi.

Habis dari lab
Seorang diri di kafetaria
Tak lama kemudian, mobil Pak Alfian tiba. Di dalam mobil sudah ada 5 pria lainnya yang ikut melaksanakan ibadah shalat Jumat.

Perjalanan berlangsung heboh. Sepertinya bapak-bapak dan mas-mas di sekeliling saya ini sudah punya jam terbang kelas kakap dalam dunia studi internasional. Berkali-kali mereka membahas Jepang, Korea, harga tiket transportasi umum, kampus, uang bulanan riset, harga mobil, mahalnya transportasi di Jepang dibandingkan Korea, 'buang' mobil yang tetap harus bayar (kalo kata Pak Alfian buang mobil di Korea malah dibayar soalnya dianggap besi bekas), dan hal-hal sejenisnya. Saya hanya sesekali menanggapi dengan senyum atau tertawa kecil.

Sekitar 20 menit kemudian, kami tiba di sebuah bangunan yang bentuknya mirip rumah tradisional Jepang. Turun dari mobil, saya baru berkenalan dengan semuanya. Ada Mas Tiar, Mas Alif, Mas Joko, Pak Alfian, dan Pak Amel. 

"Pak Amel ya? Waaaahh, mohon maaf banget ya Pak saya salah nyebut," Saat Pak Amel menjabat tangan saya, buru-buru saya minta maaf. Dulu saat pertama kenalan, saya kira beliau perempuan, akhirnya saya panggil 'Mbak'. Mungkin bapak-bapak yang lain pada ngakak di tempat saat membaca pesan saya di chat Facebook.

Kami pun memasuki bangunan berbentuk rumah Jepang tersebut. Dari dalam, sayup-sayup terdengar suara azan berkumandang. Saya masuk ke toilet dulu sebelum wudhu. Kalau di sini memang tidak ada gayung, tapi ada semacam ceret kecil yang disediakan di atas kloset. Klosetnya juga seperti di modifikasi, jadi saat kita menekan flush, keran di atas kloset akan mengalirkan air ke kendi, jadi bisa digunakan istinja'.

Toilet masjid Tsukuba
Saya kemudian mengambil air wudhu. Saya menghela napas lega saat menyentuh air hangat yang keluar dari keran. Saya lalu memasuki masjid satu-satunya di Tsukuba ini. Bangunan ini ternyata memang sebuah rumah yang disulap menjadi masjid. Saat itu, khatib berwajah khas timur tengah sedang menyampaikan khotbah dalam bahasa Inggris beraksen timur tengah. Tidak ada mimbar di sini, hanya sebuah stand mic. Ukuran masjid ini juga sebenarnya tidak terlalu besar untuk disebut masjid, mungkin 100 orang sudah kapasitas maksimal.

Suasana di dalam masjid
Namun yang membuat masjid ini istimewa, ada beragam wajah khas yang mengisinya. Ada beragam ras, warna kulit, dan asal daerah yang berbeda-beda, namun semua datang untuk satu tujuan yang sama: memenuhi panggilan Ilahi.

Adalah sebuah barang mewah bagi umat muslim ketika ingin melaksanakan shalat berjamaah di suatu daerah yang mayoritas penduduknya bukan muslim. Saya bersyukur hari ini bisa mendapatkan barang mewah tersebut. Ini kali pertama bagi saya menunaikan ibadah shalat berjamaah di Tsukuba, sementara di hari-hari biasa hanya saya seorang di kamar apartemen maupun praying room kantor.

Usai shalat, saya menghampiri mahasiswa Indonesia lain yang sedang berkumpul di depan masjid.

"Itu apa Pak, ramai-ramai gitu?" tanya saya pada Mas Alif (sebenarnya saya agak bingung hendak memanggil Pak atau Mas kepada senior-senior saya ini, jadi saya gunakan keduanya saja) saat melihat kerumunan pria sedang berdesak-desakan di sebuah ruangan mirip gudang di halaman depan masjid.

"Oh, itu tempat jual daging halal. Tiap Jumat memang tetap ada di sini. Jadi potongnya pake 'bismillah'," kata Mas Alif. 

"Nggak pake pisau ya, Lif?" canda Pak Cepi.

"Nggak, pake bismillah langsung 'wuuussshh..'," kata Mas Alif lagi, disambung tawa kami bertiga.

Kerumunan jamaah yang hendak membeli daging halal
Saya memperhatikan kawasan masjid kecil ini. 'Assalamu'alaikum' seolah menjadi bahasa universal bagi setiap insan di tempat ini. Mereka tidak membedakan diri dengan siapapun, meskipun secara fenotip mereka sangat mencolok perbedaannya. Saya merasa takjub menjadi jamaah masjid ini. Walaupun tidak sebesar masjid-masjid di Indonesia, namun masjid ini menyatukan anak-anak Adam yang terpencar ke berbagai belahan bumi. Selain orang Indonesia, saya pun menangkap sosok-sosok orang Malaysia, Tiongkok, Jepang, India, orang-orang Barat, dan orang-orang Timur Tengah ikut memakmurkan masjid ini.

Pak Cepi dkk masih asyik membahas masalah studi dan riset mereka; Pak Cepi yang harus extend sampai bulan Juni, Mas Tiar yang tidak direpotkan paper, Mas Alif yang temannya pernah salah mengira lengkuas sebagai daging ayam. Saya menjadi pendengar setia mereka yang sudah banyak makan asam garam menjadi pelajar perantau di negeri orang, jauh lebih dulu dari kehadiran saya saat ini.

Masjid Tsukuba tampak luar
"Kalo saranku sih Kang, mending selesein dulu deh baru pulang. Orang Indonesia di Tohoku yang pada pulang nasibnya jadi nggak jelas. Waktu itu ada dua orang yang pulang, satu katanya mau balik tapi nggak ada kabar, satunya lagi nggak pamit," kata Mas Tiar pada Pak Cepi.

Pak Alfian lalu menghampiri kami. "Fahmi dikasih ijin sampai jam berapa?"

"Sampai setengah dua Pak," jawab saya.

Pak Alfian lalu mengajak kami meninggalkan masjid.

"Fahmi suka main bulutangkis nggak?" tanya Pak Amel saat akan masuk mobil.

"Suka Pak," jawab saya singkat.

"Kalau mau, besok ikut kita aja main bulutangkis."

"Wah, beneran nih? Wah mau banget Pak! Udah lama saya nggak main, tapi ya gitu Pak... saya sih nggak jago-jago amat," kata saya terkekeh.

"Nggak, kita nggak perlu yang jago kok, yang penting ada orang buat main, hahaha," kata Pak Amel lagi.

Sepanjang perjalanan pulang, saya menyimak celotehan tentang Mas Joko yang baru berbelanja barang-barang baru, kecoa-kecoa yang mengintai rumah masing-masing, barang diskonan, dan lain-lain. Terlihat asyiknya persahabatan di antara mereka terjalin, bahkan saat berbicara dengan saya yang baru ditemui pertama kali pun terkesan akrab. Sepertinya nasib sesama anak perantauan memang membuat hubungan sebagai sesama anak bangsa menjadi kian erat.

Saya pun diantar hingga depan lobi utama. "Terima kasih Pak atas tumpangannya. Assalamu'alaikum," kata saya sambil menutup pintu mobil.

***

Dr. Yamazaki menghampiri saya saat sedang mengecek email. "Fahmi, saya sarankan kamu membuat resume eksperimen yang sudah kamu lakukan, karena mulai pekan depan kamu akan melakukannya sendiri."

"Ah, iya. Saya sedang menyelesaikannya," jawab saya sambil tersenyum.

"Oh iya, bagaimana rencana kedatangan Prof. Arief?"

"Beliau akan tiba di Tsukuba hari Minggu pagi. Saya diminta menjemput beliau pukul 10.45 di Tsukuba Center. Ah, itu waktu saya tiba di sana juga."

"Ah, oke."

Saya mengangguk. "Mmm... Dr.Yamazaki, kira-kira bagaimana saya bisa ke sana?"

"Aaah... itu... sebentar," Dr. Yamazaki meminta saya membuka peta Tsukuba. "Kamu jalan kaki saja dari jembatan di dekat sini, di depan pintu kecil NIMS, lurus saja. Kira-kira 15 sampai 20 menit dari Ninomiya House," kata Dr. Yamazaki sambil menunjuk peta.

"Ah, baiklah, terima kasih. Nanti saya akan kabari lagi, mungkin saya juga direncanakan bertemu Dr. Suwarti hari Minggu."

"Oke, kabari saya nanti. Baiklah Fahmi, saya harus kembali bekerja. See you," kata Dr. Yamazaki lalu meninggalkan saya.

Pukul 18.00, saat saya sedang membereskan barang, Shino-san memasuki ruangan. "Are you waiting for Dr. Yamazaki (kamu nungguin Dr. Yamazaki)?" tanya Shino-san menatap saya.

"Mmm....actually no. I'm still finishing my resume for experiment today (mmm.... sebenarnya nggak sih. Saya lagi nyelesaiin rangkuman eksperimen hari ini)," jawab saya lalu tersenyum.

"Oh, begitu. Berapa lama kamu di sini?"

"Sekitar 3 bulan, sampai 31 Maret."

"Wah... sebentar sekali," gumam Shino-san. Saya hanya tersenyum kecil.

"Apa rencanamu selama di sini? Apakah kamu hanya akan menghabiskan waktumu di Tsukuba?"

"Ng...sebenarnya saya ada rencana sih mau ke Tokyo, cuma saya kayaknya perlu ngatur jadwal dulu," ujar saya berpikir sejenak.

"Jangan cuma ke Tokyo. Tokyo bisa kapan saja," kata Shino-san menyarankan.

"Hmm... begitu. Any recommendation?"

"Cobalah ke Onsen. Pemandian air panas sangat menyenangkan di musim dingin, cuma ya agak mahal sih," kata Shino-san lagi.

"Oh, gitu. Well, I'll think about that. Thank you," ucap saya. Tak lama setelah itu saya pamit pulang.

Di ruang kerja
Sepulang dari NIMS, saya mengantar rice cooker pinjaman dari Bu Ira. Saya bawakan madu sebagai ucapan terima kasih. "Aaah, kamu nggak usah repot-repot. Makasih ya," kata Bu Ira sambil mengajak saya masuk. Lagi, saya diberi buah tangan sebelum beranjak.

"Ya ampun Ibu, makasih banyak ya, maaf saya jadi ngerepotin gini," ujar saya sungkan.

"Udah nggak papa, kebetulan saya juga banyak dikasih."

"Oh iya Bu, di sini dapat Indomie di supermarket mana?" tanya saya penasaran.

"Oh, itu pesan langsung dari rumah orang Indonesia, tapi agak jauh dari sini. Saya sama Pak Cepi biasanya pesan borongan sih, habis itu kita bagi-bagi. Tapi di sini harganya mahal, sekitar 80 atau 90 Yen (sekitar Rp9.000-Rp10.000)."

"Hah? Masya Allah, mahalnya..." saya mengelus dada mengetahui harga Indomie di sini. Kalau di Indonesia bisa dapat 4 bungkus tuh.

"Itu dia, makanya saya kalo makan Indomie kalo bener-bener pengen aja, atau kalo lagi malas masak, soalnya sayang harganya," kata Bu Ira tertawa. "Sebenarnya ada sih mi halal di sini, tapi produk dari Thailand. Kalo menurut saya sih mi Indonesia mah yang terenak sedunia," kata Bu Ira lagi. Saya pun mengacungkan ibu jari pertanda setuju. Mi Indonesia tetap yang paling enak!

Oleh-oleh dari Bu Ira
Well, malam ini saya mau istirahat panjang. Besok hari libur pertama saya. Sampai jumpa besok! :)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar