Link

Rabu, 28 Januari 2015

Dua Hari, Dua Rasa

Dear Dreamers!

Selama dua hari ini, saya merampungkan project lab dari Dr. Yamazaki. Kalau ditanya apakah bisa atau tidak, Alhamdulillah saya akan menjawab 'bisa'. Tapi kalau ditanya 'lancar nggak?' Beuh... butuh waktu cukup lama untuk berpikir mencari jawabannya, hahaha.

Anyway, ada dua hal menarik yang saya temukan saat saya baru saja beranjak dari peraduan saya yang dingin (beneran dingin, brrr!!!). Pagi hari saya dua hari ini diisi hal yang sangat istimewa. Dimulai pagi hari kemarin, saat sedang memasak untuk sarapan dan bekal makan siang. Kaki saya limbung beberapa saat. Saya terdiam. Pisau saya letakkan di tatakan. Kaki saya bergetar kian keras. Bukan, bukan hanya kaki saya. Kaca pintu balkon juga bergetar. Gemuruh terdengar perlahan, diikuti getaran piring, sendok, dan peralatan dapur lainnya.


Gempaaaa!!! Saya hanya memekik dalam hati. Tanpa menunggu lebih lama, saya merunduk di sudut kamar. Tak ada kata lain yang terlontar dari lisan selain dzikir menyebut nama-Nya. Goncangan itu terus berlanjut hingga dua menit kemudian, lalu berangsur pelan dan akhirnya lenyap entah ke mana.

Saya bergegas membuka pintu balkon, hendak melihat situasi di luar. Nihil. Kenyataannya, tak ada satupun orang yang berlari keluar rumahnya untuk menyelamatkan diri. Saya tertawa konyol. Kalau ini Indonesia, tak butuh waktu lama bagi saya untuk mendengar suara gaduh tetangga berlari ke halaman rumah masing-masing. Namun masyarakat di sini tampak anteng-anteng saja.

Sesampainya di kantor, saya menanyakan peristiwa pagi itu ke Kohara-san dan Yuko-san.

"Kalian merasakan ada gempa nggak tadi pagi?" tanya saya saat makan siang di kafetaria.

"Mmm. Tadi pagi memang ada gempa," kata Kohara-san santai.

"Gempa yang cukup besar sepertinya. Saya baru pertama kali merasakan gempa di sini."

"Tidak terlalu besar," kata Yuko-san menimpali.

Saya terperangah. "Eh? Padahal tadi pagi lumayan besar lho gempanya, dan lumayan lama."

"Kami sudah terbiasa dengan gempa seperti itu. Bagi kami, itu seperti gempa kecil. Apakah di Indonesia tidak ada gempa?" kata Yuko-san lagi.

"Di Indonesia juga ada gempa, tapi tidak terlalu sering kalau di daerah saya."

"Mmm. Kalau di sini kami sudah terbiasa dengan gempa," kata Yuko-san lalu tersenyum.

Saya hanya tertegun menatap kedua wanita itu. Tampaknya masyarakat Jepang sudah dididik untuk bersahabat dengan goncangan dari dalam bumi. Saya baru ingat, kalau Jepang memang negara yang sangat rawan gempa. Gempa bisa terjadi kapan saja, baik kecil hingga yang mencapai angka di atas 5 SR. Namun, mereka tidak gentar dengan bencana tersebut. Seolah sadar akan kedaan alam negaranya, mereka tetap tanggap dan tenang saat terjadi bencana. Tak heran bila jumlah korban jiwa dapat diminimalisir.

Jika kemarin saya dikejutkan gempa di pagi hari, lain cerita dengan pagi ini. Lagi, saya tengah memasak saat bingkisan dari langit turun menjejaki tanah. Saya memang terbiasa menoleh ke arah balkon ketika memasak, karena dari balkon pemandangan gedung-gedung kota Tsukuba tampak dengan jelas.

Pagi ini, saya menolehkan pandangan dengan terkesima. Gumpalan putih kecil turun bergerombol dari langit, seperti gumpalan-gumpalan kecil kapas. Saya berlari lalu membuka pintu kaca balkon. Angin berhembus cukup kencang, menyambut tubuh saya yang seketika menggigil. Saya memandang gumpalan itu dari dekat. Salju.

Beberapa kali Kohara-san dan Dr. Yamazaki menanyakan apakah saya melihat salju, dan saya selalu menjawab tidak. Namun pagi ini, saya bisa dengan gembira menjawab 'ya'!

Saya pun kembali menceritakannya kepada senior saya. "Yuko-san, tapi pagi Anda melihat salju kan?" tanya saya saat makan siang. Kafetaria sudah agak sepi karena kami baru makan saat jam istirahat hampir habis. Pekerjaan di lab hari ini cukup banyak. Saya menyelesaikan tahap akhir Luciferase Assay, sementara Kohara-san membantu Yuko-san mengerjakan ELISA.

"Ah, iya. Tadi pagi salju turun. Tapi tidak lama, dan sedikit," komentar Yuko-san.

"Mmm...iya juga sih, hehehe."

"Tapi, menurut ramalan cuaca, hari Jumat akan turun salju cukup banyak," kata Kohara-san memberitahu kami.

"Oiya? Waaah....!" mata saya berbinar-binar. "Hmm... baiklah, mari kita tunggu hari Jumat," ucap saya lagi.

Yuko-san lalu pamit duluan karena harus lanjut mengerjakan eksperimen.

"Fahmi-san, saya mau tanya sesuatu. Kamu... berdoa lima kali sehari?" tanya Kohara-san usai makan.

Saya menatap Kohara-san lalu tersenyum, heran. "Iya, benar. Saya berdoa lima kali sehari. Pertama saat sebelum matahari terbit, lalu siang seperti sekarang, kemudian sore hari, lalu antara sore dan malam, dan malam hari,"

"Ooh, itu berdoanya di waktu Jepang?"

"Mmm. Memang ada perbedaan dengan waktu di Indonesia. Waktu kami berdoa salah satunya ditentukan posisi matahari juga. Di Jepang, karena sedang musim dingin, malam datangnya lebih cepat, jadi waktunya berdekatan.  Kalau saat musim panas, jarak waktunya akan lebih panjang," saya mencoba menjelaskan dengan bahasa sesederhana mungkin. Sulit juga menjelaskannya. Kohara-san mengangguk-angguk di akhir penjelasan saya.

"Kohara-san, kalau Anda berdoanya kapan?" tanya saya.

"Saya? Hmm... kalau orang Jepang biasanya ke kuil di awal tahun baru. Tiga hari pertama di awal tahun kami ke kuil untuk berdoa. Kemudian kami akan mengambil surat dari Tuhan, isinya seperti ramalan nasib, apakah tahun ini nasib kami baik atau tidak."

"Selama tiga hari itu, apa yang orang lakukan setelah ke kuil?" tanya saya lagi.

"Nani o shimasen (tidak melakukan apa-apa)," jawab beliau.

"Ooh," saya hanya mengangguk. Kirain kayak di Indonesia, setiap hari besar keagamaan ada acara makan-makan, hehehe.

"Bagaimana dengan upacara adat?" tanya saya sambil membereskan kotak bekal.

"Hmm...kalau upacara adat sangat banyak di Jepang," kami lalu berjalan kembali ke ruang kerja. "Tanggal 3 bulan depan, kami akan melakukan suatu ritual adat. Upacaranya seperti pengusiran iblis. Jadi, seseorang akan mengenakan topeng iblis, kemudian kami akan melemparnya dengan kedelai supaya iblis itu menjauh. Kemudian kami memanggil kebahagiaan agar datang ke rumah kami," kata Kohara-san riang.

"Lalu, siapa yang menjadi iblisnya?"

"Biasanya para ayah," jawab Kohara-san. Saya lalu tertawa.

"Bagaimana dengan Hanami (musim bunga)?" tanya saya saat di lift.

"Ah, Hanami. Biasanya Hanami ada saat bulan April. Di bulan April bunga Sakura bermekaran. Kami sekeluarga lalu pergi piknik sambil menikmati keindahan Sakura," kata Kohara-san dengan mata berbinar.

"Waaah...bulan April ya..." kata saya setengah bergumam.

Kohara-san melihat saya lalu berujar, "Tenang saja. Biasanya bunga Sakura sudah mulai muncul di akhir Maret, jadi kamu masih bisa melihatnya."

"Pasti sangat indah," kata saya sambil menerawang.

"Ya, sangat indah! Semua orang Jepang sangat menyukai Sakura karena dia sangat cantik," kata Kohara-san.

Saya menyimpan harapan tersebut dalam hati. Semoga saya beruntung bisa menyaksikan keindahan bunga kebanggaan masyarakat Jepang itu di penghujung petualangan saya nanti, aamiin...

Sore hari habis ngelab


Tidak ada komentar:

Posting Komentar