Dear Dreamers!
Apa kabar
semuanya? Semoga selalu dalam keadaan sehat dan dalam limpahan kasih
sayang-Nya, aamiin.
Baiklah, episode
ini akan memulai rangkaian petualangan saya ke negara Jepang. Sebuah perjalanan
yang menjadi alasan utama hadirnya blog ini di tengah Dreamers semua.
Tak terasa, waktu
terus berganti, hari demi hari, berganti bulan, merangkai sebuah lorong waktu
menuju tahun yang baru. 2015. Januari. Inilah waktu bagi saya untuk meninggalkan
tanah kelahiran saya untuk beberapa saat lamanya. Menunaikan titah negara yang
dititipkan melalui kaki bukit Olat Maras. Memberi sebuah kehormatan bagi seekor
elang muda untuk mengepakkan sayapnya lebih tinggi, melintasi cakrawala Sang
Khalik menuju sebuah peradaban dunia yang belum terjamah sebelumnya—hanya
tersentuh kerlingan mata melalui layar kaca.
Perjalanan kali
ini terasa lebih berat. Ini bukanlah perjalanan pertama saya ke luar negeri.
Saya telah menatap sejenak hiruk pikuk Hong Kong melalui bandara
internasionalnya—walau hanya sekadar transit. Amerika telah saya jamahi selama
10 hari, menikmati karya-Nya yang agung dalam dua bentuk kota berparas menawan:
Boston dan New York. Namun perjalanan itu saya lalui bersama rekan-rekan dan
dosen saya. Ada banyak sosok yang bisa saya ajak berbagi uneg-uneg tatkala di
perjalanan.
Menjelajahi dunia
seorang diri pun pernah saya lakukan. Namun saat itu, saya menjelajahi sudut
dunia yang masih menjadi wilayah teritori negara ini: Surabaya dan Bali. Dua
tempat di mana saya tak perlu khawatir akan kendala linguistik karena kami
berkomunikasi dengan bahasa ibu yang sama.
Namun berbeda
dengan perjalanan yang akan saya lalui kali ini. Jepang, sebuah negara yang
sangat tak asing bagi saya. Namun menjadi sebuah paranoid bagi saya tatkala
saya harus menyusurinya seorang diri, dengan karakter masyarakat Jepang yang
sangat bangga pada bahasa ibu mereka—tanpa kompromi pada bahasa internasional
apapun di luar sana. Sementara saya sendiri masih berjuang keras agar lidah saya
tidak kaku mengucap sepatah dua patah kata dalam bahasa Jepang, tidak merasa
awut-awutan saat harus dihadapkan pada aksara kana maupun kanji yang belum saya
kuasai dengan sempurna. Rupanya pelajaran Bahasa Jepang yang saya enyam selama
tiga tahun di SMA masih belum cukup ampuh untuk menumbuhkan rasa percaya diri
saya.
Maka dalam dua
minggu tersisa, saya kebut semua hal yang harus saya persiapkan: mengatur
jadwal UAS saya yang dimajukan menjadi akhir tahun—seharusnya tanggal 5-17
Januari—berburu semua keperluan yang akan saya bawa selama tiga bulan ke
Jepang, belajar bahasa Inggris, mempelajari beberapa paper dari Bu Febri, dan
kursus kilat bahasa Jepang. Banyak masukan dan nasehat yang saya terima dari
orang-orang di sekeliling saya. Ibu dan ayah saya tak jemu mengingatkan saya
agar tidak meninggalkan shalat. Sensei Syamsul—guru bahasa Jepang saya—selalu
mengingatkan agar selalu bersikap jujur dan menikmati semua kegiatan selama di
Jepang. Beliau juga tak lupa mengingatkan saya agar berhati-hati memilih makanan,
karena di Jepang tidak ada label halal untuk makanan yang dijual.
Demikian juga
dari Pak Arief dan Bu Dwi. “Nanti di sana, yang terutama harus dilakukan adalah
mempelajari etika dan budaya kerja orang Jepang saat berada di lab, karena
Fahmi tidak akan mengerjakan riset untuk skripsi, tesis, atau disertasi seperti
mahasiswa-mahasiswa sebelumnya,” Pak Arief memberi saya nasehat. Bu Dwi juga mengingatkan saya agar tetap meng-update kabar selama di sana.
Hari demi hari
berlalu tanpa terasa. Hari ini, 2 Januari 2015, saya mengemasi semua ‘amunisi’
yang akan saya bawa untuk menantang masa depan saya selama di Tsukuba.
Keluarga, kerabat, dan sahabat-sahabat saya setia menemani hingga detik
terakhir sebelum saya benar-benar meninggalkan rumah.
“Baik-baik di
sana, ya. Jangan lupa shalat,” pesan Ibu sambil mendekap saya erat.
Bus travel pun
melaju perlahan, meninggalkan kerumunan orang-orang yang saya sayangi diiringi
lambaian tangan dan rapalan doa untuk perjalanan saya. Inilah titik terberat
dalam petualangan saya selama ini. Berpisah jauh dari orangtua, kerabat, dan
sahabat selama seperempat tahun bukanlah perkara mudah bagi seorang ‘first
timer’ seperti saya. Namun saya yakin, di balik perpisahan yang berat ini, saya
akan menemukan banyak keindahan di luar sana, aamiin.
Spoiler foto2 persiapan:
Berantakan menjelang keberangkatan |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar