Link

Senin, 05 Januari 2015

Menimba Ilmu di Negeri Samurai

Dear Dreamers!

Apa kabar semuanya? Semoga selalu dalam keadaan sehat dan dalam limpahan kasih sayang-Nya, aamiin.

Baiklah, episode ini akan memulai rangkaian petualangan saya ke negara Jepang. Sebuah perjalanan yang menjadi alasan utama hadirnya blog ini di tengah Dreamers semua.

Tak terasa, waktu terus berganti, hari demi hari, berganti bulan, merangkai sebuah lorong waktu menuju tahun yang baru. 2015. Januari. Inilah waktu bagi saya untuk meninggalkan tanah kelahiran saya untuk beberapa saat lamanya. Menunaikan titah negara yang dititipkan melalui kaki bukit Olat Maras. Memberi sebuah kehormatan bagi seekor elang muda untuk mengepakkan sayapnya lebih tinggi, melintasi cakrawala Sang Khalik menuju sebuah peradaban dunia yang belum terjamah sebelumnya—hanya tersentuh kerlingan mata melalui layar kaca.

Perjalanan kali ini terasa lebih berat. Ini bukanlah perjalanan pertama saya ke luar negeri. Saya telah menatap sejenak hiruk pikuk Hong Kong melalui bandara internasionalnya—walau hanya sekadar transit. Amerika telah saya jamahi selama 10 hari, menikmati karya-Nya yang agung dalam dua bentuk kota berparas menawan: Boston dan New York. Namun perjalanan itu saya lalui bersama rekan-rekan dan dosen saya. Ada banyak sosok yang bisa saya ajak berbagi uneg-uneg tatkala di perjalanan.

Menjelajahi dunia seorang diri pun pernah saya lakukan. Namun saat itu, saya menjelajahi sudut dunia yang masih menjadi wilayah teritori negara ini: Surabaya dan Bali. Dua tempat di mana saya tak perlu khawatir akan kendala linguistik karena kami berkomunikasi dengan bahasa ibu yang sama.

Namun berbeda dengan perjalanan yang akan saya lalui kali ini. Jepang, sebuah negara yang sangat tak asing bagi saya. Namun menjadi sebuah paranoid bagi saya tatkala saya harus menyusurinya seorang diri, dengan karakter masyarakat Jepang yang sangat bangga pada bahasa ibu mereka—tanpa kompromi pada bahasa internasional apapun di luar sana. Sementara saya sendiri masih berjuang keras agar lidah saya tidak kaku mengucap sepatah dua patah kata dalam bahasa Jepang, tidak merasa awut-awutan saat harus dihadapkan pada aksara kana maupun kanji yang belum saya kuasai dengan sempurna. Rupanya pelajaran Bahasa Jepang yang saya enyam selama tiga tahun di SMA masih belum cukup ampuh untuk menumbuhkan rasa percaya diri saya.

Maka dalam dua minggu tersisa, saya kebut semua hal yang harus saya persiapkan: mengatur jadwal UAS saya yang dimajukan menjadi akhir tahun—seharusnya tanggal 5-17 Januari—berburu semua keperluan yang akan saya bawa selama tiga bulan ke Jepang, belajar bahasa Inggris, mempelajari beberapa paper dari Bu Febri, dan kursus kilat bahasa Jepang. Banyak masukan dan nasehat yang saya terima dari orang-orang di sekeliling saya. Ibu dan ayah saya tak jemu mengingatkan saya agar tidak meninggalkan shalat. Sensei Syamsul—guru bahasa Jepang saya—selalu mengingatkan agar selalu bersikap jujur dan menikmati semua kegiatan selama di Jepang. Beliau juga tak lupa mengingatkan saya agar berhati-hati memilih makanan, karena di Jepang tidak ada label halal untuk makanan yang dijual.

Demikian juga dari Pak Arief dan Bu Dwi. “Nanti di sana, yang terutama harus dilakukan adalah mempelajari etika dan budaya kerja orang Jepang saat berada di lab, karena Fahmi tidak akan mengerjakan riset untuk skripsi, tesis, atau disertasi seperti mahasiswa-mahasiswa sebelumnya,” Pak Arief memberi saya nasehat. Bu Dwi juga mengingatkan saya agar tetap meng-update kabar selama di sana.

Hari demi hari berlalu tanpa terasa. Hari ini, 2 Januari 2015, saya mengemasi semua ‘amunisi’ yang akan saya bawa untuk menantang masa depan saya selama di Tsukuba. Keluarga, kerabat, dan sahabat-sahabat saya setia menemani hingga detik terakhir sebelum saya benar-benar meninggalkan rumah.

“Baik-baik di sana, ya. Jangan lupa shalat,” pesan Ibu sambil mendekap saya erat.


Bus travel pun melaju perlahan, meninggalkan kerumunan orang-orang yang saya sayangi diiringi lambaian tangan dan rapalan doa untuk perjalanan saya. Inilah titik terberat dalam petualangan saya selama ini. Berpisah jauh dari orangtua, kerabat, dan sahabat selama seperempat tahun bukanlah perkara mudah bagi seorang ‘first timer’ seperti saya. Namun saya yakin, di balik perpisahan yang berat ini, saya akan menemukan banyak keindahan di luar sana, aamiin.

Spoiler foto2 persiapan:

Berantakan menjelang keberangkatan



Tidak ada komentar:

Posting Komentar