Link

Sabtu, 10 Januari 2015

Mini Tur Kota Tsukuba

Dear Dreamers!

Pagi ini, saya cukup enggan beranjak dari selimut tebal saya di tempat tidur. Waktu sudah menunjukkan pukul 07.45. Usai mengerjakan shalat subuh yang sangat terlambat, saya turun ke pembuangan sampah untuk menyetor limbah saya selama satu pekan ini.

Tak terasa sudah seminggu saya berada di Tsukuba. Satu minggu yang penuh keajaiban dan keberkahan. Tidak seperti yang saya banyangkan saat berada di Indonesia, saya bertemu banyak orang yang sangat menyenangkan dan tidak ragu untuk membantu saya setiap ada kesulitan. Satu-satunya hal yang masih membuat saya kelabakan adalah cuaca dingin di sini. Sebenarnya cuaca di sini tidak sedingin yang saya perkirakan, namun angin yang kencang kerap kali membuat saya menggigil, bahkan wajah saya rasanya seperti tersayat saat diterpa angin musim dingin.

Saya lalu sarapan dan mencuci piring-piring kotor yang telah menumpuk sejak semalam. Waktu menunjukkan pukul 09.20. Saya bergegas berkemas dan mengambil sepeda di parkiran. Hari ini, saya janjian dengan Pak Amel untuk bertemu di gerbang utama NIMS Sengen. Seperti yang saya ceritakan sebelumnya, kami akan bermain bulutangkis hari ini. Yippie!


Perjalanan kami tempuh menggunakan sepeda selama sekitar 20 menit. Ternyata jaraknya jauh juga, apalagi saya baru naik sepeda lagi setelah bertahun-tahun dimanjakan sepeda motor. Dalam perjalanan, kami melewati banyak tempat penting di Tsukuba, seperti Dayz Town, University of Tsukuba, Seibu, Tsukuba Center, dan Museum Sains Tsukuba.

Kami pun tiba di GOR tempat kami akan bermain. Ada banyak orang Indonesia yang sedang bermain futsal saat saya dan Pak Amel memasuki GOR, sedangkan di sisi lainnya ada sekelompok mahasiswa Jepang yang sedang berlatih bola voli.

Seiring berakhirnya sesi futsal, satu persatu anggota pemain bulutangkis tiba di GOR. Saya berkenalan dengan mereka satu persatu. Ada Mas Dion (kenshuusei alias pemagang di Tsukuba selama hampir 3 tahun), Mas Ardi (mahasiswa dari Lombok), Mas Zainal (Presiden PPI Ibaraki), Mas Dendi, Mas Rizki, Mas Rudi, Mbak Fani (4 orang terakhir mahasiswa di Tsukuba), Pak Davi, dan banyak lagi (saya nggak bisa ingat semuanya, hehehe. Maaf ya bapak-bapak).

Saya tak bisa mengungkapkan kegembiraan saya saat mengayunkan raket lagi di lapangan bulutangkis. Sudah setahun lebih saya tidak menginjakkan kaki di GOR untuk bermain bulutangkis, palingan juga main bulutangkis di sebelah rumah sama si Alfin, adik saya. Gara-garanya saya jadi ketagihan main terus, hahaha.


Suasana di GOR


Mahasiswa Jepang yang sedang main voli
Saya sempat berbincang-bincang dengan Mas Zainal, seputar kedatangan saya ke sini dan kehidupan mahasisa Indonesia di Tsukuba.

Pukul 13.00 kami menyudahi sesi latihan hari ini. "Fahmi mainnya lumayan tuh, bisa kayaknya ikut turnamen," kata Pak Amel saat kami di pinggir lapangan.

"Ah, masa Pak? Waduh, saya mah nggak jago-jago amat mainnya. Emang di sini ada turnamennya ya?"

"Iya, ntar sekitar pertengahan Maret. Coba aja," kata beliau lagi.

Saya mengangguk. "Iya deh, saya liat dulu. Oh iya Pak, harga shuttlecock di sini berapa?"  tanya saya lagi. Saat bermain tadi, saya terlalu kencang melambungkan shutlecock, hingga shuttlecok-nya nyangkut di besi langit-langit GOR. Ternyata setelah saya perhatikan, banyak shuttlecock yang bernasib serupa.

"Oh, di sini shuttlecock agak mahal, Mi. Harganya sekitar 3.000-4.000 Yen, makanya kita patungan 500 Yen setiap 4 kali pertemuan, kalo nggak gitu nggak bisa main," kata Pak Amel. Walaaah... kalo di Sumbawa uang segitu cukup buat beli 4 slop shuttlecock paling bagus. Sayang, Sumbawa tak sama dengan Tsukuba.

Usai merapikan lapangan, saya menjalankan shalat Dzuhur. Di sini, saat menggunakan lapangan, kita bawa net sendiri, dari pihak GOR tiang net-nya sudah disediakan, jadi setiap main pasang sendiri, rapikan sendri. Satu lapangan bisa digunakan untuk bermain bulutangkis, futsal, voli, dan lainnya. Tak heran di atas lahan yang sama ada banyak garis pembatas berwarna-warni yang kerap kali membingungkan saya menentukan posisi bola masuk atau keluar.

Usai bermain bulutangkis, kami janjian ke kedai sushi. Pak Amel harus menemani istri beliau karena tadi pagi berangkat menggunakan bus. Saya pun ditemani Mas Dion dan Mas Rudi ke kedai sushi. Sebelumnya kami singgah dulu di apartemen Mas Rudi.

"Wah, nyetok Indomie-nya banyak banget Mas," kata saya saat melihat bungkus-bungkus Indomie tertumpuk rapi di salah satu rak.

"Kalo mau ambil aja," kata Mas Rudi.

"Dengan senang hati," kata saya riang.

Oleh-oleh dari Mas Rudi
Kami pun berbincang-bincang sejenak. "Jadi sampai ke sini gimana ceritanya?" tanya Mas Dion. Seperti rekaman kaset, saya pun menceritakan dari awal bagaimana saya bisa sampai di sini, dan mengakhirinya dengan senyum kikuk.

"Wah, hebat dong. Nanti selama di sini sering-sering main aja Mas. Manfaatkan waktu dengan sebaik-baiknya," kata Mas Dion.

Pukul 13.45 kami berangkat ke kedai sushi, sekitar 15 menit dari apartemen Mas Rudi. Di Tsukuba banyak didirikan bangunan apartemen, mulai dari yang cuma dua lantai sampai yang menjulang tinggi seperti hotel berbintang. Mungkin harga rumah di sini sangat mahal, jadi banyak yang lebih memilih tinggal di apartemen.

"Di sini lalu lintasnya agak kacau. Mobil kadang-kadang suka berhenti mendadak saat ada sepeda, padahal udah diliat kita mau nyeberang. Lalu lintas di Ibaraki itu yang palng kacau ketiga se-Jepang," kata Mas Rudi saat kami akan menyeberang.

"Tapi separah-parahnya di sini nggak kayak di Indonesia kok," kata Mas Rudi menimpali.

Angin kencang menerpa kami sepanjang perjalanan, membuat kayuhan sepeda saya bertambah payah. Kami tiba di kedai sushi. Sudah ada Pak Amel, Teh Puti (istri Pak Amel), Meisya (putri Pak Amel dan Teh Puti), dan Mbak Fani. Mas Rudi lalu memesan meja untuk kami. Tak lama kemudian kami berpindah dari ruang tunggu ke meja nomor 64 dan 65 di ujung ruangan.

Kedai sushi ini menggunakan sistem reservasi otomatis. Di setiap meja tersedia satu piranti layar sentuh untuk memesan menu, kemudian pesanan tamu akan dijalankan di sebuah rel khusus menggunakan mobil-mobilan hingga ke meja pemesan. 

Pesan makanan

Mobil pengantar pesanan
Saya yang duduk semeja dengan Mas Rudi, Mbak Fani, dan Teh Puti, banyak mendapat cerita seputar kehidupan di sini, menyaksikan adu gombal Mas Rudi dan Mbak Fani, serta menerima kuliah singkat tentang kalori dari Mas Rudi. "Aku kan anak gizi, sebenarnya farmasi sih tapi dapat mata kuliah gizi, jadi kalo makan apa-apa harus lihat kalori dulu," katanya bangga.

Teh Puti, Mbak Fani, dan Mas Rudi terus menambah pesanan. Aneka jenis sushi, udon, dan hidangan lainnya menghampiri meja kami.  Saya hanya memesan 3 jenis sushi dan memutuskan berhenti.

"Dikit banget makannya. Ini aku aja udah lima," kata Mbak Fani melihat tumpukan piring saya yang terlalu rendah.

"Coba deh liat di sebelah," kata Mas Rudi. Saya pun melihat tumpukan piring seperti bangunan bertingkat dari meja di sebelah kami, yang dipisahkan rel mobil pengantar pesanan. "Di sini standar makannya ya segitu. Kamu banyak ngemil deh biar cepat nambah berat badan," kata Mas Rudi. Saya mengaminkan dengan segenap hati, karena semua orang berpesan yang sama kepada saya.

Makan sushi semeja dengan Mas Rudi, Mbak Fani, dan Teh Puti
Roll shrimp sushi pesanan saya
Mas Rudi juga berceloteh tentang tempat belanja barang-barang murah, salah satunya Shimamura, tempat belanja pakaian, sepatu, dan aksesoris. "Di sana banyak sell, apalagi pas pergantian musim banyak diskon," katanya berpromosi. Mbak Fani dan Teh Puti tampak berbinar-binar bahagia. Akhirnya, dari kedai susi, saya mengikuti Mbak Fani, Mas Dion, dan Mas Rudi ke Shimamura. Kami Kami bertiga menuntun sepeda karena Mbak Fani tidak membawa sepeda.

Perjalanan kami ke Shimamura berlangsung ramai dengan celotehan ketiga senior saya ini. Saya menyimak dan sesekali menanggapi. Tapi kebanyakan sih adu gombalan, hehehe. Ada juga cerita tentang tumpukan salju setinggi 30 centimeter. "Aku sampai kepleset lho pas naik sepeda, padahal sepeda ini kan bannya udah termasuk bagus ya. Trus motor juga ada yang kepleset," kata Mas Dion.

"Waktu itu juga aku dorong sepeda setengah mati di salju. Besoknya bus nggak jalan," timpal Mas Rudi.

Kami pun sampai di Shimamura. Banyak juga barang diskonan dengan harga tak sampai 2.000 Yen, yang mungkin jika di Indonesia harganya bisa melonjak hingga dua kali lipat. Mbak Fani kelihatan bingung menentukan pilihan, jadi sesekali kami memberi komentar pada kandidat barang-barang yag akan dibeli.

Lagi milih barang
Senja menyambut kami sepulang dari Shimamura, padahal waktu baru menunjukkan pukul 17.00. Setelah berdiskusi sejenak, saya memutuskan ikut hang out bersama ketiga senpai saya. 

"Emang biasa nongkrong gini ya?" tanya saya.

"Ya gitu deh. Kita biasa nongkrong bareng, cari tempat makan. Yah, mumpung masih bujang, hahaha," kata Mas Dion.

"Bujang-Bujang Bahagia kalo gitu," kata saya lagi. Kami lalu tertawa berbarengan.



Jalan ke Seibu
"Kita sih biasa, anak-anak malam, hahaha. Kalo musim dingin mah jam segini udah malam. Musim panas jam 8 aja masih terang," kata Mbak Fani saat menyeberang jalan.

Kami pun tiba di Seibu, mall di kota Tsukuba. Tujuan kami ke sini adalah makan es krim. Kami pun terdampar di kursi Chatime. Saya menunggu Mbak Fani memesan Chatime, sedangkan Msa Dion dan Mas Rudi pergi mencari es krim.

Kami pun berbincang-bincang lagi. "Eh, itu si Ami tuh," kata Mas Dion tiba-tiba. Ketiganya lalu memanggil sosok bernama Ami yang berjalan dari arah belakang saya. Seorang gadis berkerudung abu-abu menghampiri kami.

"Mau ke mana Mi?" tanya Mbak Fani.

"Mau belanja. Kalian ngapain di sini?" tanya Mbak Ami.

"Habis main bulutangkis, trus makan sushi, ke Shimamura, trus nongkrong di sini deh," kata Mas Dion sambil tertawa.

"Yuk, nongkrong sama kita aja," kata Mbak Fani. Saya pun berkenalan dengan Mbak Rahmi, yang dipanggil Ami oleh ketiga senpai saya.

Mbak Rahmi dan Mas Rudi lalu terlibat pembicaraan seputar sidang tesis mereka yang baru usai, dan saling menanyakan rencana mengambil S-3.

"Loe nggak tes IELTS Rud?" tanya Mbak Rahmi.

"Tanggal 25 gue ngambil iBT TOEFL, mau ke Belanda gue, Leiden," kata Mas Rudi.

"Aaah, gue kemarin nggak sempat belajar, IELTS gue cuma 6," keluh Mbak Rahmi.

"Wis, ukuran nggak belajar 6 mah bagus Mbak," kata saya mengomentari.

"Kalo di Indonesia, mungkin 6 udah wah ya. Tapi, untuk ukuran mahasiswa yang kuliah di luar negeri, 6 itu rendah, soalnya setiap hari kan terbiasa berkomunikasi dengan bahasa Inggris," Mbak Fani menjelaskan ke saya.

"Nih, senpai yang baik lagi menjelaskan. Kalo yang ini senpai yang galak," kata Mas Rudi sambil menujuk Mbak Fani, kemudian Mbak Rahmi. "Kalo aku sama Dion senpai yang main-main, hahaha," kemudian mereka berdua tertawa.

"Masa kemarin ada yang bilang 'Kak Fani galak' ke gue. Gue langsung kayak 'nyeesss' gitu," rengut Mbak Fani.

Mbak Rahmi pun menanyakan banyak hal ke saya, seperti 'di sini kerjain apa', 'dari kampus mana', 'jurusannya apa', dan 'kok bisa sampai sini'. "Tuh kan, senpai galak ya kayak gini," kata Mas Rudi. Saya menjawab pertanyaan Mbak Rahmi satu persatu, persis seperti jawaban ke orang-orang sebelumnya. "Berarti kamu lucky-nya bagus," komentar Mbak Rahmi di akhir cerita saya.

Kami lalu terlibat perbincangan seru yang entah bagaimana ceritanya seketika menyudutkan Mbak Rahmi.

"Eh, kok jadi bahas itu sih? Udah ah gue belanja dulu," kata Mbak Rahmi lalu hendak bangun dari kursi.

"Eh, nggak bisa, Harus dijawab dulu," kata Mas Rudi menahan Mbak Rahmi.

Tak lama kemudian, seorang pria dipanggil oleh kelima senpai saya. Pria itu lalu menghampiri kami dan mengambil satu kursi lagi. "Kenalin, ini Mas Isa," kata Mas Rudi memperkenalkan Mas Isa ke saya. Kami berenam lalu patungan memesan paket ayam KFC.

Dari kiri depan: Mas Dion, Mbak Fani, Mas Isa, Mbak Rahmi, Mas Rudi, saya
Sambil melahap ayam goreng pesanan kami, pembicaraan terus berlanjut. Mbak Rahmi berusaha mengalihkan topik, namun sayangnya Mas Rudi tidak mau mengalah, dan terus mengembalikan topik pembicaraan. Saya tertawa menyaksikan pembicaraan sengit para senpai saya.

Pukul 19.30, kami mengakhiri tongkrongan kami si Seibu. Mas Dion, Mas Rudi, dan Mbak Fani mengantar saya hingga Tsukuba Center. "Dari sini sudah tau jalan pulangnya kan?" tanya Mas Dion. Saya mengangguk mantap sambil melihat rute yang saya lewati tadi pagi bersama Pak Amel.

Suasana di Tsukuba Center sangat menakjubkan di malam hari. Lampu berwarna warni menghiasi tiap pohon di sekitar Tsukuba Center. Alunan musik 'Hanabi' dari Mr. Child menggelayut di pendengaran saya.

Suasana malam di Tsukuba Center




Inilah saatnya berpisah. "Sampai ketemu lagi ya," kata Mas Dion, Mas Rudi, dan Mbak Fani. Saya melambaikan tangan lalu mengayuh sepeda menjauhi ketiganya.

Hari yang sangat menyenangkan. Setidaknya dengan berkumpul bersama mereka, saya bisa mengobati rasa kangen pada Indonesia. Saya bersyukur bisa mengenal mereka semua saat berada di sini. Ini juga menjadi media silaturrahmi dengan sesama pelajar Indonesia yang sedang terdampar di negeri orang, mencari ilmu sebanyak-banyaknya untuk membangun masa depan yang lebih baik di negeri sendiri.

Well, itu dia petualangan saya hari ini. Sampai ketemu lagi ya! :)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar