Link

Minggu, 29 Maret 2015

Senyum di Puncak Tsukuba

Dear Dreamers!


Di penghujung petualangan saya di Jepang, Dr. Yamazaki memberi saya sebuah hadiah spesial: tur mendaki Gunung Tsukuba a.k.a Tsukuba-san. Saya sudah menunggu kesempatan ini karena Tsukuba-san merupakan salah satu tempat wisata populer di Tsukuba. Awal musim semi menjadi waktu yang baik untuk ke gunung.

Pukul 09.00, Dr. Yamazaki dan keluarga beliau menjemput saya di Ninomiya House. Kami menempuh perjalanan selama satu setengah jam untuk menuju Tsukuba-san. Sepanjang perjalanan, kami berbincang-bincang tentang banyak hal seputar rencana kepulangan saya.

Takahashi-kun, putra Dr. Yamazaki berbicara kepada saya. Saya hanya menatapnya dengan senyum menggantung. Saya tidak paham apa yang dia ucapkan.

"He wants to talk with you, but in Japanese (dia pengen ngobrol sama kamu, tapi dalam bahasa Jepang)," kata Dr. Yamazaki melihat kebingungan saya.

Saya menatapnya lagi lalu tersenyum. Duuuh, di saat anak kecil ingin mengajak saya mengobrol dalam bahasa Jepang dan saya tidak mengerti, di situ saya merasa sedih T_T.

"Kyo wa Tsukuba-san ni ume matsuri desu (hari ini di Tsukuba-san ada festival ume)," kata Takahashi-kun.

"Aaa...sou desuka?" jawab saya antusias. Saya mencoba mengerahkan kemampuan terbaik saya untuk berbicara dengan bahasa Jepang, kendati hasilnya bisa diprediksi.

"Saya pikir festivalnya sudah berakhir minggu lalu," kata saya kepada istri Dr. Yamazaki. Dulu, saya sempat menerima selebaran dari Ninomiya House tentang penyelenggaraan Ume Matsuri. Sayangnya, berhubung saya tidak punya teman untuk ke sana, jadi saya urung mengikuti festival tersebut.

Puncak gunung Tsukuba yang kokoh mencuat di hadapan kami. Gunung Tsukuba merupakan salah satu gunung terkenal di Jepang dan sering disandingkan dengan Gunung Fuji. Tingginya hanya 877 meter. Kita dapat menggunakan mobil hingga lereng pertengahan Tsukuba-san, selanjutnya kita bisa mendaki hingga ke puncak selama satu setengah jam atau naik cable car hanya 10 menit. Tsukuba-san memiliki dua puncak, yakni Nantaisan (puncak laki-laki) dan Jotaisan (puncak perempuan).

Tsukuba-san merupakan gunung yang memiliki kisah religius bagi masyarakat Jepang. Beribu tahun yang lalu, seorang dewa turun dari surga dan meminta izin kepada dua gunung untuk membiarkannya menginap. Gunung Fuji menolak dengan penuh keangkuhan, namun Gunung Tsukuba menerima dengan rendah hati tamu kehormatannya dan memberikan kedua puncaknya. Kedua puncak itu di masa depan menjadi cikal bakal dua dewa, yakni Izanagi-no-Mikoto (laki-laki) dan Izanami-no-Mikoto (perempuan). Keduanya lalu menikah dan melahirkan Jepang dan dewa-dewa lainnya. Gunung Tsukuba selalu diberkahi dengan kesuburan dan pemandangan indah yang diibaratkan masa muda yang menyenangkan, berbeda dengan Gunung Fuji yang berdiri dengan dingin dan angkuh sendirian.

Kami tiba di lereng Tsukuba san pukul 10.40. Dari sini kami memulai pendakian. Hari ini cukup banyak siswa sekolah yang melakukan pendakian.

"Sekarang ini banyak siswa sekolah dasar dan menengah pertama yang sedang berlibur. Takahashi sudah ikut pendakian tiga kali bersama rombongan sekolahnya," kata Mrs. Yamazaki. Saya menggumam paham. Hari ini Takashi-kun menjadi pemandu kami.

"Saya dan Dr. Yamazaki baru kali ini pergi bersama," kata beliau lagi lalu tertawa.

Saya dan Takahashi-kun
Gerbang pendakian
Jalan pendakian
Mendaki Tsukuba-san tidaklah begitu sulit. Sepanjang perjalanan ada ratusan (atau bahkan ribuan) anak tangga yang terbuat dari kayu maupun tangga alami dari batu-batuan gunung. Berbeda dengan kebanyakan gunung di Jepang, Tsukuba-san merupakan gunung yang sudah tidak aktif dan terdiri dari batuan non vulkanik seperti Granit dan Gabro. Cuaca yang cerah mendukung kegiatan pendakian. Kami banyak bertemu sesama pengunjung selama mendaki ke puncak.

Sepanjang perjalanan, kami banyak menemukan situs-situs religius seperti kuil kecil dan batu yang dihormati. Saat saya melewati sebuah batu berbentuk terowongan, Dr. Yamazaki menjelaskan ke saya, "Batu ini dipercaya merupakan batas antara dunia saat ini dan alam setelah kematian. Jadi, setelah melewati batu ini kamu akan memasuki alam arwah. Be careful." Beliau tertawa di akhir penjelasan.

Batu pembatas dunia manusia dan dunia arwah
Kuil kecil di salah satu sisi gunung
Ada juga batu yang dipercaya ketika kita melewatinya, maka kita seperti terlahir kembali. "Batu ini diumpamakan seperti rahim seorang ibu. Jadi ketika melewatinya, kita seperti terlahir kembali. Terlahir dengan semangat baru," jelas Dr. Yamazaki.

Batu 'terlahir kembali'
Ada lagi batu-batu yang diumpamakan menyerupai benda atau hewan tertentu, seperti kapal dan babi. Ada juga kawasan legendaris bernama Benkei-nanamodori (Benkei kembali tujuh kali). Benkei adalah seorang pendeta legendaris yang mencoba mencapai puncak Tsukuba san. Pendakian pertamanya berhasil mencapai puncak, namun setelah itu ia mencoba sampai tujuh kali namun gagal mencapai ke puncak. Di tempat itulah ia merasa takut dan menyesal karena selalu gagal sampai ke puncak.

Benkei-nanamodori
Batu mirip kapal

Beberapa ratus meter menuju puncak, kami dapat melihat bunga-bunga kecil berwarna ungu yang mulai bermekaran. "Bunga ini merupakan bunga khas di Tsukuba san. Dahulu orang-orang menggunakannya sebagai perekat di makanan. Pekan depan akan lebih banyak yang bermekaran," jelas Mrs. Yamazaki.


Setelah mendaki selama kurang lebih 80 menit, kami tiba di puncak gunung (sayangnya saya tidak tahu apakah itu Nantaisan atau Jotaisan). Sebuah kuil dengan ornamen berwarna emas berdiri di puncak gunung. Saya menatap takjub sekeliling saya.



Subhanallah, akhirnya saya sampai di tempat ini. Pemandangan alam Tsukuba terhampar dengan indahnya. Sebuah meja batu seperti kompas terpahat di salah satu sudut gunung. 

"Kalau cuaca sangat cerah, kita bisa melihat Fuji-san dan Tokyo di kejauhan. Sayang hari ini agak berawan," kata Dr. Yamazaki.

Saya pun berdiri di puncak gunung dan menatap pemandangan menakjubkan di sekeliling saya. Di satu sisi, saya sangat kagum dengan keindahannya. Namun di satu sisi, phobia saya pada ketinggian membuat imajinasi saya bergerak liar. Bagaimana kalau ada yang dorong saya, bagaimana kalau tiba-tiba ada gempa, atau bagaimana kalau saya terpeleset? Pikiran-pikiran itu seketika membuat lutut saya gemetaran. What an absurd moment -_-


Puncak Tsukuba-san

Bersama Dr. Yamazaki
Foto sama Ayana-chan di tugu Tsukuba-san
Puas menikmati puncak Tsukuba-san, kami turun kembali ke starting point menggunakan cable car. Hanya butuh waktu sekitar sepuluh menit untuk sampai ke bawah. Dari Tsukuba-san Dr. Yamazaki dan keluarga beliau mengajak saya melihat Ume Matsuri yang berakhir hari ini.



Ratusan pohon Ume memamerkan kecantikannya masing-masing. Wangi bunga Ume tercium tipis tersapu semilir angin.

"Tempat ini merupakan salah satu dari seratus pemandangan terbaik di Kanto," kata Mrs. Yamazaki. Kanto merupakan salah satu areal geografis di pulau Honshu yang meliputi Tokyo dan prefektur Gunma, Tochigi, Ibaraki, Saitama, Chiba, dan Kanagawa. Kami juga mencicipi sup khas Ume Matsuri yang terbuat dari campuran bunga Ume dan rumput laut.





Dari Ume Matsuri, kami menikmati santap siang di restoran Soba. Karena saat farewell party sudah mencicipi Soba, saya memutuskan menjajal udon untuk makan siang hari ini.

Udon
Sambil menunggu pesanan tiba, saya menyaksikan tayangan liga baseball pelajar yang ditayangkan di tv.

"Di Jepang, baseball merupakan olahraga yang paling populer. Dulu, baseball bahkan lebih terkenal dari sepakbola. Namun sekarang keduanya relatif sama-sama populer. Setiap pergantian musim semi biasanya diadakan liga baseball antar pelajar," kata Mrs. Yamazaki.

"Bagaimana dengan di Indonesia?" tanya Dr. Yamazaki.

"Mmm...sepertinya tidak sepopuler sepak bola. Mungkin pelajar di kota-kota besar banyak juga memainkan baseball," jawab saya.

Seorang pria paruh baya menatap ke arah kami lalu berkata, "Indonesia kara?"

Saya terkejut menatap pria itu, lalu mengangguk. "Hai, Indonesia kara kimashita."

Pria itu lalu berceloteh cukup panjang. Saya tidak dapat menangkap maksudnya, namun Mrs. Yamazaki dan Dr. Yamazaki beberapa kali menanggapi ucapannya. Di akhir dia menatap saya lalu berkata, "Ganbare."

"Apa yang pria itu katakan?" tanya saya pada Mrs. Yamazaki penasaran.

"Dia bilang, wajahmu mirip dengan orang-orang Indonesia yang dia temui. Di perusahaan tempat dia bekerja, banyak pemagang yang berasal dari Indonesia," jelas Mrs. Yamazaki. Saya menganggukkan kepala mengerti.

Perjalanan pulang terasa cepat berlalu. Rasa kantuk mulai menyerang saya.

"Fahmi, kamu sudah mengunjungi JAXA belum?" tanya Dr. Yamazaki.

"Sudah, tapi saya tidak masuk ke dalam, hanya foto di depan roket," jawab saya lalu terkekeh.

"Sayang sekali. Kalau begitu sekarang ayo kita ke JAXA. Kita masih ada waktu sekitar satu jam," kata Dr. Yamazaki.

Kami pun tiba di parkiran JAXA. Saya, Mrs. Yamazaki, Takashi-kun, dan Ayana-chan berjalan terlebih dahulu ke museum.

"Saya pikir ada tiket masuk untuk ke sini," kata saya sambil berjalan.

"No, it's free. Semua orang bisa mengakses museum di sini," kata Mrs. Yamazaki.

Museum JAXA terbagi atas beberapa gedung. Gedung pertama yang kami masuki adalah gedung informasi dan Planet Cube, tempat pembelian souvenir. Gedung selanjutnya adalah showroom miniatur wahana-wahana antariksa yang berhasil dikonstruksi oleh JAXA, antara lain roket, satelit, dan stasiun luar angkasa atau international space centre (ISS). Untuk yang pengen lebih tau tentang JAXA, silahkan baca artikel saya yang ini.




Suasana museum

Roket ciptaan JAXA
Saya merasa terpukau dengan isi museum ini. Beragam miniatur wahana luar angkasa terpajang dengan apik lengkap dengan penjelasan dalam bahasa Jepang dan Inggris. Pengunjungnya pun dari berbagai kalangan, mulai dari anak-anak sekolah dasar hingga bapak-bapak dan ibu-ibu turut meramaikan museum. Saya bisa melihat dengan jelas besarnya perhatian institusi ini agar masyarakat Jepang bisa 'melek' ilmu pengetahuan, terutama pengetahuan antariksa.




Kunjungan ke JAXA menjadi akhir petualangan saya hari ini. Dr. Yamazaki lalu mengantar saya pulang.

"Terima kasih banyak atas waktunya hari ini," ucap saya kepada keluarga Dr. Yamazaki. Saya menyalami Mrs. Yamazaki dengan hangat.

"Sampai ketemu lagi. Have a safe trip," kata Mrs. Yamazaki ramah.

"Takahashi sangat ingin ke Sumbawa. Mungkin dia akan ke sana nanti," kata Dr. Yamazaki menimpali.

"Ah, really? Wah... Anda juga harus ke Sumbawa. Kami akan sangat senang menyambut Anda," kata saya kepada Mrs. Yamazaki.

Saya pun melambaikan tangan perpisahan seiring mobil Dr. Yamazaki meninggalkan Ninomiya House.

Alhamdulillah, saya merasa sangat bersyukur dan bahagia bisa menikmati akhir pekan terakhir saya bersama keluarga Dr. Yamazaki. Saya akan sangat merindukan mereka. Sampai ketemu lagi yaaa... Mata ne :')

NB: Thank you very much for taking very nice pictures (Dr. Yamazaki, Mrs. Yamazaki, Takahashi-kun, Ayana-chan) :)

References:
http://gyw.japan-photocontest.jp/pref08/in/000169.html
http://www.bokunoblog.com/2009/07/mendaki-gunung-tsukubajapan.html
http://www.japantimeline.jp/id/ibaraki/tsukuba_city/mt.tsukuba/
http://www.japantimeline.jp/id/ibaraki/tsukua-city/tsukuba_space_center/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar