Dear Dreamers!
Hingga menjelang siang, saya masih berkutat di depan layar laptop. Tidak ada jadwal eksperimen hari ini, hanya merangkum laporan eksperimen dan melanjutkan final report seperti sebelumnya.
Telepon kantor saya berbunyi. Layar mungil berwarna dasar kuning di telepon itu menampilkan nama Dr. Yamazaki.
"Fahmi, are you still in the lab?" suara Dr. Yamazaki terdengar di seberang.
"No, I'm in the office now."
"Ah, okay. Please come to lobby now. I'm waiting for you."
Dr. Yamazaki, Kaizuka-sensei, dan Kohara-san telah menunggu saya di tengah lobi. Kami lalu keluar melalui pintu samping menuju parkiran. Kami berempat berangkat menggunakan mobil Dr. Yamazaki menuju ke sebuah restoran.
Hari ini, Dr. Yamazaki mengadakan farewell party untuk saya. Kami akan makan siang di sebuah restoran soba yang telah berusia 160 tahun. Letaknya cukup jauh, sekitar 25 menit menggunakan mobil.
Awalnya, Kohara-san telah membicarakan hal ini dengan saya. "Can you eat unagi?" tanya beliau saat itu.
Karena saya tidak mengerti, saya pun buru-buru membuka google translate. "Aaahh, unagi? Hai, dekiru. Demo, I never eat it before," kata saya setelah mengetahui bahwa yang dimaksud adalah 'belut'. Akhirnya, pilihan pun jatuh ke restoran soba.
Hamparan sawah kering menyambut kedatangan kami di restoran bernama Sobaya itu. Bangunannya tampak sangat tradisional dan berumur tua. Di sebelah restoran itu terdapat sebuah kincir air besar yang telah berlumut. Kincir air ini digunakan untuk menumbuk tepung yang digunakan untuk membuat soba saat belum ditemukan listrik. Hingga kini, kincir air itu masih berfungsi.
Bangunan restoran Sobaya |
Kincir air tradisional |
Memasuki restoran, saya dibuat terkagum dengan interiornya yang sangat tradisional, mengingatkan saya pada setting film-film zaman kerajaan. Di sini saya akhirnya bisa melihat sosok tikar Jepang bernama 'tatami'. Tatami terbuat dari jerami dan kerap ditemukan di rumah-rumah tradisional Jepang sebagai alas lantai. "Saat musim dingin, tatami membuat suhu di dalam ruangan menjadi lebih hangat," kata Yuko-san. Selain kami, Yoshikawa-sensei dan Yuka-san juga ikut menghadiri acara ini.
Tatami, tikar khas Jepang |
Ocha menjadi menu pembuka kami. Asap tebal mengepul dari gelas ocha, mengurungkan niat saya untuk langsung mencicipinya. Setelah menunggu beberapa saat, saya menyeruput teh tradisional Jepang itu. Rasa hangat langsung menjalar ke tenggorokan saya.
Kami lalu sibuk memilih menu. Tidak banyak pilihan menu soba yang ditawarkan. Saya pun memilih Ten Mori Soba, sesuai rekomendasi Dr. Yamazaki. Ten Mori Soba adalah soba dingin yang dihidangkan bersama tempura sebagai pelengkapnya. Sambil menunggu pesanan datang, Dr. Yamazaki menjelaskan beberapa hal tentang restoran ini.
"Restoran ini telah ada sejak 160 tahun lalu. Namun, lokasi awalnya bukan di sini. Kemudian suatu hari, pemiliknya membangun restoran yang baru di sini," jelas beliau.
Pesanan kami datang. Dr. Yamazaki mengajarkan saya cara memakan soba dingin. "Pertama, ambil sedikit soba, kemudian celupkan sebagian ke dalam kara jiru (saus soba), lalu soba dimakan sambil diseruput. Oh iya, kamu bisa menambahkan wasabi ke dalam kara jiru," jelas Dr. Yamazaki.
"Kemudian ini ten-tsuyu, saus untuk tempura. Celupkan sebagian tempura ke dalam ten-tsuyu sebelum dimakan," kata Dr. Yamazaki lagi.
Saya pun mencicipi satu persatu. Sesuai namanya, rasa dingin menjalar ke bibir saya saat mencicipi soba. Adonan tepung yang lembut bersampur dengan rasa gurih kara jiru, menciptakan paduan rasa yang khas. Tempura yang disajikan adalah udang, dan jamur. Di tengah suasana makan, suara 'sluuurrpp' menyeruput soba terdengar nyaring di dalam restoran.
Ten Mori Soba |
Suasana makan siang |
Kami berbincang-bincang sejenak sebelum meninggalkan restoran. Saat semua bangkit untuk sesi foto, Dr. Yamazaki menahan langkah kami. "Tunggu sebentar. Kita belum mendengar pidato Fahmi-san."
Semua lalu kembali duduk di posisi masing-masing, lalu menatap saya dengan penuh minat.
"Speech?" tanya saya tersenyum heran.
"Ya, speech. Bukan tentang soba-nya, hahaha. Kami ingin mendengar kesanmu selama tinggal di Jepang," kata Dr. Yamazaki.
Saya menatap wajah-wajah mereka satu persatu, lalu tersenyum kecil. "Baiklah," kata saya lalu menarik napas dalam.
"Pertama, saya merasa ini adalah sebuah keajaiban. Tidak ada yang menyangka saya akan berada di sini sekarang. Yah, saya baru tahun kedua dan dari sebuah kampus baru. Ini seperti mimpi yang menjadi kenyataan," saya mengawali pidato saya.
"Saya merasa takjub dengan orang Jepang. Orang Jepang sangat semangat, bekerja keras untuk karir mereka. Saya pernah membaca tentang semangat bushido, dan itu sangat luar biasa. Saya merasa bahagia bisa berada di sini. Saya belajar bagaimana mengerjakan sebuah eksperimen, belajar budaya kerja orang Jepang. Laboratorium di sini sangat hebat. Banyak peralatan canggih yang bahkan belum pernah saya lihat sebelumnya," ujar saya lalu tersenyum.
"Saya merasa bahagia bisa berada di antara Anda semua. Orang-orang di sini sangat baik, ramah, dan suka menolong. Saya tidak merasa takut berada di Jepang, meskipun saya hanya bisa sedikit berbicara dengan bahasa Jepang. Saya yakin orang lain akan membantu saya mengatasi masalah yang saya hadapi."
Suara saya mulai terdengar bergetar. Saya tersenyum, menatap wajah-wajah yang telah saya akrabi selama tiga bulan terakhir. "Saya merasa ini adalah tiga bulan tersingkat dalam hidup saya. Saat ini, orang-orang mulai bertanya kapan saya akan pulang. Namun saya meminta mereka untuk tidak bertanya, karena waktu akan terus berjalan, tidak dapat berhenti. Dan sekarang, tidak terasa tiga bulan hampir berlalu."
"Saya akan sangat merindukan anda semua. Terima kasih atas kesempatan yang luar biasa ini. Semoga Tuhan selalu memberkati anda semua, selalu diberikan kesuksesan. Saya berharap bisa kembali lagi dan bertemu lagi dengan anda semua. All I can say is 'doumo arigatou gozaimasu."
Air mata saya tak kuasa terbendung seiring tubuh saya membungkuk memberi hormat. Ini adalah momen yang paling emosional bagi saya, saat harus mengucapkan 'selamat tinggal' pada apa yang telah saya akrabi. Tsukuba, saya akan sangat merindukan kota ini, dan juga orang-orangnya .
Tepuk tangan mengiringi usainya pidato saya.
"Terima kasih, Fahmi. Tentu saja kami sangat senang jika kamu bisa kembali lagi," kata Dr. Yamazaki. Saya tersenyum mengiyakan.
Kami lalu membereskan barang untuk pulang. Sebelum pulang, saya diajak ke lantai dua restoran untuk melihat sebuah mesin tenun tradisional yang berusia sebaya dengan restoran ini. Saya juga diajak melihat kompor tradisional Jepang, dan dibuat kagum dengan desain tangga tradisional yang dibuat serupa laci bertumpuk. "Di Jepang, lahan sangat sempit. Jadi, semua bidang dibuat agar efektif dan efisien. Salah satunya dengan membuat laci di tangga-tangga," kata Dr. Yamazaki.
Mesin tenun |
Kompor tradisional |
Tangga tradisional Jepang |
Kami lalu berfoto bersama sebelum pulang. Terima kasih banyak atas momen spesial hari ini. Doumo arigatou gozaimasu. Watashi wa minnasama o aishite imasu :')
Foto bersama Dr. Yamazaki, Kohara-san, dan Yuko-san, grup riset saya selama internship |
Ki-ka: Dr. Yamazaki, saya, Kohara-san, Yuko-san, Kaizuka-sensei |
Ki-ka: Dr. Yamazaki, Yoshikawa-sensei, saya, Kohara-san, Yuko-san, Yuka-san |
ファーミ-先輩 bikin ngiler pergi kesana haha
BalasHapusNice story, by the way..
Pergi aja Dhan, hahaha
HapusThanks a lot for visiting my blog :)