Dear Dreamers!
Saya mengayuh sepeda di bawah siraman cahaya mentari pagi. Beberapa orang yang saya lalui tampak berjalan sambil menenteng gulungan yang cukup besar. Tampak seperti lembaran vynil untuk backdrop.
Mencapai perempatan NIMS Sengen, saya membelokkan sepeda ke kiri, lalu melajukan sepeda ke arah Seiyu. Yup, pagi ini tujuan saya bukan kantor, melainkan sebuah gedung di sebelah JST Takezono House. Epochal Tsukuba. International Congress Center.
Hari ini adalah hari pertama MANA International Symposium 2015, mengangkat tema 'Nano Revolution for The Future'. Dr. Yamazaki menyarankan saya mengikuti acara ini, karena ada banyak pembicara yang diundang dalam kegiatan ini. Saya juga bisa melihat poster-poster para peneliti yang sedang mengerjakan proyeknya di NIMS. Yaaah, hitung-hitung menambah wawasan lah. Saya mencermati jadwal kegiatan yang berlangsung tanggal 11-13 Maret. Dr. Yamazaki menyarankan saya mengikuti acara pembukaan di pagi hari, kemudian mengikuti sesi pagi hingga makan siang. Selanjutnya saya bisa mengikuti sesi poster di sore hari. Lalu di hari kedua, saya bisa mengikuti sesi setelah makan siang karena topiknya lebih ke biologi.
Jadilah pagi ini saya berangkat ke Epochal Tsukuba. Saya sempat celingak celinguk mencari ruangan konferensi. Pada akhirnya, saya mengikuti ke mana keramaian menuju, karena hanya acara simposium MANA yang diselenggarakan hari itu. Saya juga terbantu karena panitia memasang sejumlah banner menuju ke lokasi acara di lantai tiga.
Kerumunan telah menyeruak saat saya tiba. Saya bergegas menuju ke sudut penitipan jaket, lalu berjalan ke meja registrasi, tak jauh dari tempat penitipan jaket.
"Have you registered before?" tanya petugas ramah saat melihat saya datang dengan wajah kebingungan.
"Not yet," jawab saya singkat.
"Okay, just put your ID card here," kata petugas mempersilahkan saya. Saya pun menempelkan sejenak ID card saya di mesin pendeteksi.
"Okay, finish," kata petugas lalu memberikan saya buku simposium.
Saya tersenyum menerima buku tersebut lalu segera masuk ke ruangan. Saya berdiri sejenak di sudut ruangan, mencari tempat duduk yang nyaman. Saya memilih duduk di bagian tengah ruangan, agak di belakang karena bagian depan sudah nyaris penuh.
Buku simposium |
Pukul 09.00 acara pun dimulai. Suara pembawa acara yang berbicara dalam bahasa Inggris dengan aksen Jepang yang kental membuka acara pembukaan. Acara pun dibuka oleh Prof. Sukekatsu Oshioda, Presiden NIMS. Selanjutnya adalah sambutan-sambutan dari MEXT (Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Olahraga, Sains, dan Teknologi Jepang), WPI (World Premiere International), dan MANA (International Center for Materials Nanoarchitectonics) NIMS. Dalam sambutan-sambutan tersebut banyak disampaikan pencapaian-pencapaian yang telah diraih oleh NIMS, antara lain berhasil mempublikasi 2.850 paper hingga Desember 2014, dan 85 di antaranya masuk 'world-top-1% most-cited papers'. Artinya, hasil publikasi NIMS masuk dalam kategori 'elit' dunia dan banyak dijadikan rujukan dalam penelitian. Selain itu, secara kualitas, paper yang dipublikasi oleh MANA dapat disejajarkan dengan institusi pendidikan dunia, seperti MIT, UC Berkeley, dan Harvard University. Selain itu juga disampaikan rencana pengembangan ke depan untuk terus menjadikan NIMS sebagai institusi riset berkelas dunia.
Suasana simposium |
Saya mengangguk lalu tersenyum. "Tentu. Tapi jam makan siang nanti saya harus kembali ke lab untuk menyelesaikan eksperimen, baru kembali ke sini."
"That's okay," kata Dr. Yamazaki.
Usai sesi materi, acara kembali diistirahatkan untuk makan siang. Saya kembali ke kantor untuk shalat Dzuhur, makan siang, dan melanjutkan eksperimen pengukuran aktivitas luciferase.
Acara kembali dilanjutkan. Seharusnya ada empat topik yang akan diikuti peserta, namun salah satu pembicara berhalangan hadir. Saya tidak terlalu paham dengan sesi pertama ini karena topiknya bukan seputar biologi ataupun biomaterial.
Usai sesi materi, acara kembali diistirahatkan untuk makan siang. Saya kembali ke kantor untuk shalat Dzuhur, makan siang, dan melanjutkan eksperimen pengukuran aktivitas luciferase.
Pukul 16.15 saya menyelesaikan eksperimen. Saya menatap gulungan kertas hasil pengukuran dengan bahu lemas. Hasilnya belum sesuai ekspektasi awal, namun demikian kuantifikasinya cukup bagus.
Saya menuju Epochal pukul 17.15 untuk menghadiri sesi poster. Para peserta telah memadati ruang poster. Di sisi koridor, berbagai jenis anggur, alkohol, dan aneka makanan menghampar di meja. Saya pun membolak balik buku simposium, melihat mana kira-kira poster yang bisa saya kunjungi.
Sampel eksperimen hari ini |
Sesi poster |
Saya akhirnya memulai kunjungan ke poster PS-5 milik Pak Amel. Beliau menjadi satu-satunya peneliti Indonesia dalam sesi poster ini. Sayang, si bapak tak nampak saat saya berdiri di depan poster beliau.
Saya kembali membuka buku simposium. Langkah saya lalu mengarah ke ruangan poster Nano-Life PL-13. Pemilik poster tengah menjelaskan sesuatu dalam bahasa Jepang. Saya menunggu hingga ia selesai dengan pengunjung ke sekiannya. Saya kemudian menyapanya dengan ramah.
"So, is this your poster?" tanya saya berbasa basi pada Nakagawa-san. Senang sekali saat melihat namanya menjadi salah satu presenter poster kali ini. Tadi pagi, saya sempat berpapasan dengannya usai foto bersama.
"Jangan lupa mampir ke poster saya," pesannya pagi tadi.
Nakagawa-san menjelaskan proyeknya kepada saya, dengan topik 'Apoptopic Cell Membrane-inspired Nanomaterials for Anti-inflammatory Therapy'. Dalam proyek ini, Nakagawa-san fokus mengembangkan metode sintesis baru membran sel apoptotik (sel yang mengalami kematian secara terprogram yang terjadi sangat sistematis) yang terinspirasi polimer dan mendemonstrasikan efek anti-inflamatori menggunakan makrofag. Proyek ini pada aplikasinya dapat menjadi salah satu metode terapi berbagai penyakit serius seperti gagal jantung, autoimunitas, dan Alzheimer.
"Bagaimana kira-kira aplikasinya ke manusia nantinya?" tanya saya.
"Perkiraan saya adalah dengan menginjeksi ke organ yang mengalami kerusakan atau terserang penyakit. Namun masalahnya adalah, untuk pengobatan Alzheimer, saya belum bisa memperkirakan metode terapinya, mengingat organ yang terserang adalah otak dan sistem saraf," kata Nakagawa-san.
"Proyek ini sudah selesai seluruhnya?"
"Belum sih sebenarnya. Kira-kira sudah 80%. Selanjutnya saya ingin menguji sekresi sitokin pada sistem ini menggunakan ELISA. Untuk kelanjutan proyeknya, saya masih harus diskusi dengan Yamazaki-sensei," kata Nakagawa-san lalu tertawa kecil.
"Baiklah, terima kasih. Sukses untuk peroyek Anda," kata saya lalu pamit ke poster lainnya.
Seorang wanita bercadar tampak tengah berdiri di ujung ruangan, memandangi kerumunan pengunjung poster. Saya pun menghampiri posternya. Sekilas saya membaca judul poster itu. The Interactions between nano-films of various TiO2 crystalline phases and human Osteosarcoma cell line.
"Hi, may I get a brief explanation of your project?" tanya saya seraya menghampiri poster wanita itu.
"Sure," jawabnya ramah. "Secara sederhana, proyek ini mencoba menguji bagaimana pengaruh implantasi implan tulang terhadap perkembangbiakan sel dan peningkatan fungsinya, contohnya osteoblast. Implan yang digunakan adalah nanofilm TiO2 dengan beragam fase kristal dan diuji ke Osteosarcoma cell line. Hasilnya adalah, interaksi nanofilm tersebut dengan sel menghasilkan perubahan dalam perkembangan selular sel pada variasi waktu tertentu. Fase rutile (bentuk alami TiO2) menunjukkan peningkatan perkembangan selular paling tinggi di fase awal, namun fase amorphoruss (bentuk non-kristal TiO2) menunjukkan peningkatan perkembangan selular tertinggi dari waktu ke waktu," jelas wanita itu.
"Bagaimana aplikasi proyek ini ke depannya?" tanya saya.
"Lebih lanjut proyek ini akan berperan penting dalam aplikasi material tersebut dalam rekayasa jaringan dan teknologi implan pada aplikasi medis," jelasnya lagi.
"Ah, sangat menarik melihat perkembangan proyek ini nantinya," kata saya lalu tersenyum.
"Thank you. By the way, where do you come from?" tanya wanita itu.
"I come from Indonesia. You?"
"I come from Egypt. My name is Shima," kata wanita itu.
"Fahmi," balas saya sambil memperlihatkan kartu nama.
Kami mengobrol banyak tentang kehidupan masing-masing selama di Jepang. Ms. Shima saat ini sedang menempuh studi PhD di Waseda University, dan melakukan risetnya di NIMS. Untuk proyek ini, beliau membutuhkan waktu sekitar enam bulan, dan masih akan melanjutkan penyelesaian proyek ini.
"Saya berharap bisa merampungkan riset saya segera," ujar beliau.
"Mmm, sorry I want to ask you something. Selama tinggal di Jepang, bagaimana Anda menjalani kehidupan sebagai seorang muslim?" tanya saya penasaran.
"Well, di sini sangat menyenangkan. Saya bisa beribadah dengan baik. Orang-orang sangat menghargai keberadaan saya. Jauh lebih baik dibandingkan dengan negara Barat. Di Jepang, orang tidak menyukaimu bukan karena agamamu, tapi jika kamu terlihat berbeda dengan mereka. Tapi, selama kamu bisa menjelaskan mengapa kamu berbeda, semua akan baik-baik saja. Mereka bisa menerima itu," kata Ms. Shima.
"Bagaimana dengan komunitas warga Mesir? Saya beberapa kali bertemu orang Mesir selama di Jepang. Di Sengen, saat ke Tokyo juga."
"Yah, di sini cukup banyak orang Mesir, tapi tidak sebanyak orang Indonesia."
Saya tersenyum. "Saya juga tidak menyangka akan bertemu banyak orang Indonesia di sini. Saat mengetahui ada banyak orang Indonesia di Tsukuba, yang bisa saya ucapkan hanya 'Alhamdulillah'."
Ms. Shima tersenyum. "Alhamdulillah, syukurlah kalau begitu,"
"Menurut Anda sendiri, bagaimana fasilitas riset yang ada di NIMS?"
"So much better. Bahkan dibandingkan dengan laboratorium kampus di Jepang, fasilitas NIMS jauh lebih baik. Karena itu, ini kesempatan yang sangat luar biasa untuk kamu bisa magang di sini," kata beliau.
Usai berbincang-bincang, saya pamit melanjutkan kunjungan poster. Waktu sudah menunjukkan sepuluh menit menuju pukul tujuh. Langkah saya terhenti di sudut lain ruangan, ke sebuah poster yang dijaga pria berwajah bule dengan tinggi menjulang. Saya menyapanya lalu tersenyum. Ia menjelaskan topik riset yang dilakukan.
"Dalam riset ini, saya dan rekan tim saya mendemonstrasikan bagaimana boron-nitride nanotubes (BNNTs) dapat digunakan sebagai nanocarrier untuk contoh obat, curcumin. Curcumin merupakan agen terapi potensial, misalnya anti-inflamatori, properti oksidan dan mikrobial. Nanotube dilarutkan dalam larutan curcumin, kemudian aktivitas curcumin dianalisis. Hasilnya, curcumin mampu mengaktifkan makrofag, sedangkan aktivitas curcumin yang tidak tergabung dalam nanotube menjadi tertahan," ujar Mr. Jukka Niskanen, sang pemilik poster, menjelaskan ke saya.
"That's interesting. Selanjutnya, apa rencana Anda untuk proyek ini?" tanya saya.
"Well, proyek ini belum sepenuhnya selesai. Sayangnya, Jumat ini saya harus kembali ke Kanada karena kontrak saya telah usai," jawabnya lalu tertawa kecil.
"Aaahh...sayang sekali. Anda berencana kembali ke sini tidak?" tanya saya.
"Tentu. Tahun depan saya akan mengajukan aplikasi untuk Post-Doc, jadi saya rasa masih ada peluang melanjutkan proyek ini," katanya lalu tersenyum.
"Well, thank you so much for your explanation. Good luck for you," ujar saya lalu pamit.
Sesi poster telah usai. Sebenarnya tidak terlalu banyak yang berhasil saya pahami, karena riset yang dilakukan levelnya sangat spesifik dan belum pernah saya pelajari sebelumnya. Namun demikian, saya dapat melihat bagaimana mereka bekerja keras untuk proyek yang mereka lakoni. Setiap orang tampak bersemangat dan antusias. Saya merasa bersyukur bisa berada di sini. Paling tidak, kalau belum kecipratan ilmunya, semoga semangat dan passion mereka bisa tertular ke saya untuk lebih menikmati setiap proses dalam proyek riset, aamiin.
Nakagawa-san dan posternya |
"Hi, may I get a brief explanation of your project?" tanya saya seraya menghampiri poster wanita itu.
"Sure," jawabnya ramah. "Secara sederhana, proyek ini mencoba menguji bagaimana pengaruh implantasi implan tulang terhadap perkembangbiakan sel dan peningkatan fungsinya, contohnya osteoblast. Implan yang digunakan adalah nanofilm TiO2 dengan beragam fase kristal dan diuji ke Osteosarcoma cell line. Hasilnya adalah, interaksi nanofilm tersebut dengan sel menghasilkan perubahan dalam perkembangan selular sel pada variasi waktu tertentu. Fase rutile (bentuk alami TiO2) menunjukkan peningkatan perkembangan selular paling tinggi di fase awal, namun fase amorphoruss (bentuk non-kristal TiO2) menunjukkan peningkatan perkembangan selular tertinggi dari waktu ke waktu," jelas wanita itu.
"Bagaimana aplikasi proyek ini ke depannya?" tanya saya.
"Lebih lanjut proyek ini akan berperan penting dalam aplikasi material tersebut dalam rekayasa jaringan dan teknologi implan pada aplikasi medis," jelasnya lagi.
"Ah, sangat menarik melihat perkembangan proyek ini nantinya," kata saya lalu tersenyum.
"Thank you. By the way, where do you come from?" tanya wanita itu.
"I come from Indonesia. You?"
"I come from Egypt. My name is Shima," kata wanita itu.
"Fahmi," balas saya sambil memperlihatkan kartu nama.
Kami mengobrol banyak tentang kehidupan masing-masing selama di Jepang. Ms. Shima saat ini sedang menempuh studi PhD di Waseda University, dan melakukan risetnya di NIMS. Untuk proyek ini, beliau membutuhkan waktu sekitar enam bulan, dan masih akan melanjutkan penyelesaian proyek ini.
"Saya berharap bisa merampungkan riset saya segera," ujar beliau.
"Mmm, sorry I want to ask you something. Selama tinggal di Jepang, bagaimana Anda menjalani kehidupan sebagai seorang muslim?" tanya saya penasaran.
"Well, di sini sangat menyenangkan. Saya bisa beribadah dengan baik. Orang-orang sangat menghargai keberadaan saya. Jauh lebih baik dibandingkan dengan negara Barat. Di Jepang, orang tidak menyukaimu bukan karena agamamu, tapi jika kamu terlihat berbeda dengan mereka. Tapi, selama kamu bisa menjelaskan mengapa kamu berbeda, semua akan baik-baik saja. Mereka bisa menerima itu," kata Ms. Shima.
"Bagaimana dengan komunitas warga Mesir? Saya beberapa kali bertemu orang Mesir selama di Jepang. Di Sengen, saat ke Tokyo juga."
"Yah, di sini cukup banyak orang Mesir, tapi tidak sebanyak orang Indonesia."
Saya tersenyum. "Saya juga tidak menyangka akan bertemu banyak orang Indonesia di sini. Saat mengetahui ada banyak orang Indonesia di Tsukuba, yang bisa saya ucapkan hanya 'Alhamdulillah'."
Ms. Shima tersenyum. "Alhamdulillah, syukurlah kalau begitu,"
"Menurut Anda sendiri, bagaimana fasilitas riset yang ada di NIMS?"
"So much better. Bahkan dibandingkan dengan laboratorium kampus di Jepang, fasilitas NIMS jauh lebih baik. Karena itu, ini kesempatan yang sangat luar biasa untuk kamu bisa magang di sini," kata beliau.
Ms. Shima dan poster beliau |
"Dalam riset ini, saya dan rekan tim saya mendemonstrasikan bagaimana boron-nitride nanotubes (BNNTs) dapat digunakan sebagai nanocarrier untuk contoh obat, curcumin. Curcumin merupakan agen terapi potensial, misalnya anti-inflamatori, properti oksidan dan mikrobial. Nanotube dilarutkan dalam larutan curcumin, kemudian aktivitas curcumin dianalisis. Hasilnya, curcumin mampu mengaktifkan makrofag, sedangkan aktivitas curcumin yang tidak tergabung dalam nanotube menjadi tertahan," ujar Mr. Jukka Niskanen, sang pemilik poster, menjelaskan ke saya.
"That's interesting. Selanjutnya, apa rencana Anda untuk proyek ini?" tanya saya.
"Well, proyek ini belum sepenuhnya selesai. Sayangnya, Jumat ini saya harus kembali ke Kanada karena kontrak saya telah usai," jawabnya lalu tertawa kecil.
"Aaahh...sayang sekali. Anda berencana kembali ke sini tidak?" tanya saya.
"Tentu. Tahun depan saya akan mengajukan aplikasi untuk Post-Doc, jadi saya rasa masih ada peluang melanjutkan proyek ini," katanya lalu tersenyum.
"Well, thank you so much for your explanation. Good luck for you," ujar saya lalu pamit.
Mr. Jukka Niskanen dan poster beliau |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar