Dear Dreamers!
Tak terasa,
sudah dua minggu saya mengikuti masa training di RS Kanker Dharmais. Inilah
hari terakhir saya mengikuti masa training. Rasanya agak berat untuk melalui
hari ini, karena besok dan seterusnya saya tidak kembali lagi ke sini, hiks.
Pagi-pagi setelah sarapan, saya menuju ke counter Dunkin Donuts untuk membeli cemilan
bagi para staf di Litbang, seperti pesan Bu Febri. Saya memasuki lab yang masih
kosong. Hari ini saya memulai tugas dari Bu Febri: panen sel hari ketiga.
Rasanya aneh juga bekerja sendirian, padahal biasanya ada suara bising
centrifuge, celotehan Kak Safar and the Gank—sekarang akhirnya saya tau anggota
gank-nya Kak Safar: ada Kak Ade, Kak Bayu, dan Kak Arya. Sayangnya saya justru
tau di saat-saat akhir—ataupun riuhnya Pak Didin dan Bu Dewi di sela-sela aktivitas
nge-lab. Untungnya Kak Rizky datang, jadi setidaknya saya nggak kesepian di
lab.
Sambil menulis
label microtube, Kak Rizky bertanya banyak hal tentang Sumbawa. Ceritanya, saat
kami presentasi di @america, Kak Rizky datang dan sempat ngobrol-ngobrol dengan
saya. Nah, saat itu ada Sultan berdiri di sebelah kami. Kak Rizky ngiranya
beliau staf Kedutaan—emang wajahnya mirip bule sih, hehehe—dan kaget begitu tau
beliau adalah Sultan Sumbawa. Kak Rizky buru-buru minta foro bareng, xixixi.
Pukul 10.30,
Pak Arief datang dan meminta saya dan Kak Rizky keluar sebentar. Ternyata Pak
Arief minta tolong Kak Rizky untuk foto bareng saya di depan tulisan ‘Litbang’
Dharmais. Setelah itu, Pak Arief mengajak saya keluar. Di pelataran Dharmais
ternyata sudah menunggu Bu Yanti. Jadilah kami bertiga berjalan-jalan naik
busway. Beberapa saat kemudian, kami tiba di Central Park. Hah?! Central
Park!!! Itu loh, mall yang pernah saya liat di tv!!! *histeris dalam hati. Kami
menuju ke sana melewati jembatan penyeberangan yang di bawahnya mengalir sebuah
sungai, namun airnya keruh. Kemudian pak Arief bertanya, “Kenapa air sungai di
Jakarta kotor, sedangkan di Jepang bersih?” Saya sih jawabnya karena masyarakat
Jakarta belum disiplin membuang sampah, kemudian fasilitas kebersihannya masih
sedikit. Ternyata masih ada jawaban lain. “Karena di Jepang, air limbah tidak
dibuang ke sungai, tapi diolah secara khusus. Jadi, orang Jepang punya dua
macam pembayaran air, pertama air bersih, kedua untuk mengolah air limbah.
Jadi, air selokan atau sungai ya hanya air hujan.”
Kami lalu
memasuki area mall dan berjalan di sepanjang koridor yang ada food court-nya.
Aroma masakan tercium di mana-mana, membuat perut berdendang hebat, huhuhu.
“Fahmi mau makan apa?” tanya Pak Arief. Saya lalu menoleh dan agak kebingungan.
Hah? Akhirnya saya cuma jawab “Apa aja deh Pak.” Bu Yanti lalu tertawa sambil
melihat saya, “Kalo dibilang apa aja ntar ujung-ujungnya makan nasi goreng.”
Kami lalu
berhenti di sebuah restoran Betawi. Hah, jadi kami ke sini buat makan siang???!!
Mimpi apa gue semalam?! Alhamdulillah, senangnya :’D
Karena saya
nggak tau mau pesan apa, akhirnya Bu Yanti merekomendasikan Lontong Cap Go Meh
untuk saya. Sambil menunggu hidangan, kami berfoto bersama, lalu diselingi
beberapa perbincangan kecil tentang makanan di Sumbawa, dan kekhasan lainnya.
Kata Bu Yanti, “Paling tidak, ada satu kekhasan daerah yang kamu kuasai, ya
tarian, masakan, aksara. Itu jadi nilai plus kamu sebagai anak daerah.
Nilai-nilai budaya harus tetap dipegang, karena di Indonesia yang paling bisa
dijual ya budayanya.”
Dari Pak Arief
sendiri, saya dan teman-teman yang akan berangkat ke Boston mendapat satu tugas
lagi, yaitu mempelajari Satera Jontal—aksara Sumbawa—dan menggunakannya dalam
perkenalan diri saat di Boston nanti.
Karena
makanannya belum jadi, saya lalu shalat Jumat dulu di P8. Saya sempat tersesat
mencari lokasi shalat Jumat dan bertanya ke beberapa orang—saking besarnya
Central Park untuk ukuran orang yang jarang ke mall. Di sini, lantai lift-nya
nggak pake angka, tapi pake kode-kode gitu. Misalnya, P untuk ‘Parking’, ‘GM’
untuk ‘Ground Mall’, dll. Usai shalat Jumat, saya bergegas menuju restoran.
Ternyata Pak Arief sudah duluan. Akhirnya saya makan siang bareng Bu Yanti, itu
pun Bu Yanti sebenarnya udah selesai. Pukul 14.00 kami kembali ke Dharmais.
Foto bersama Pak Arief di Litbang RS Kanker Dharmais |
Foto bersama Pak Arief dan Bu Yanti (lagi hangout di Central Park) |
Saya segera
melanjutkan panen sel. Bu Febri belum datang rupanya. Beliau sudah pesan
kemarin kalau datang agak terlambat karena ada pekerjaan di kantor. Tak lama
kemudian, Kak Rizky pamit duluan mau ketemu Pak Arief di Kuningan. Well, saya
ngelab sendiri lagi, huhu. Tapi masih ada gank-nya Kak Safar sih, hehehe.
Tepat saat
saya menyelesaikan panen sel, Bu Febri datang. Donat yang tadi pagi saya beli
lalu diberikan ke Bu Yanti untuk semua staf. Setelah itu, saya membungkus sampel
yang dipanen dengan klip plastik, lalu membersihkan water bath yang kami
gunakan selama pengolahan sampel.
Setelah itu,
saya membantu Bu Febri membungkus sampel untuk dibawa Pak Arief. Pukul 17.00,
kami meninggalkan Litbang RS Kanker Dharmais. Saya sempat pamitan ke Pak Didin,
Bu Rini, Bu Yanti, Kak Safar, dan Kak Bayu.
Akhirnya masa
training saya usai. Rasanya ada yang aneh saat meninggalkan lab ini. Besok,
saya tidak akan memencet bel lagi di depan pintu, menunggu Mas Angga bukain
pintu. Nggak akan ketemu Pak Kasman di ruang cuci lagi. Nggak bisa menyaksikan
keramaian di lab lagi, celotehan Bu Dewi dan Pak Didin, Kak Safar and the gank
yang sering mondar mandir di lab, Bu Rini yang pernah manggil saya Eko, hihihi. Bu Yanti yang selalu manggil saya dengan embel-embel ‘anak SMP’ (si Indah juga
sempat kena getahnya pas datang ke Dharmais, hahaha. Sampai Bu Yanti bilang, ”Pak
Arief di Sumbawa ngajarin mahasiswa atau anak SMP sih?”), Bu Riska, Bu Hening.
Nggak akan ngelewatin koridor ‘L’-nya Litbang lagi. Nggak bisa makan di gang
sebelah Dharmais lagi. Huft, semuanya meninggalkan kenangan yang sangat
membekas di hati.
Eits, cerita
belum usai guys, hihihi. Saya bantuin Bu Febri ngangkat box dry ice berisi
sampel ke tempat suami beliau di RS Harapan Kita (sebelah Dharmais) di lantai
2—suami istri kerjanya sebelahan kantor, lantainya sama pula lantai 2, xixixi.
Lumayan berat sih, ada sekitar 10 kilo-an. “Harusnya ada Rizky nih yang
bantuin,” kata Bu Febri.
Usai mengantar
box dry ice, saya juga minta tolong box OpenPCR saya dilakban lagi sebelum
dibawa pulang. Well, ini menjadi akhir perjumpaan saya dengan Bu Febri. Satu
hal yang saya sesalkan, lupa minta foto. *Aaaarrrrrgggghhh!!! Pasti ada momen
lain J
*optimis. Makasih banyak ya Bu atas semua ilmu dan pengalamannya. Saya harus belajar lebih banyak lagi setelah ini.
Is it the end?
No, It’s not. Masih ada kisah lain yang perlu saya bagikan. Stay terus ya di
sini J
Hang out di restoran Betawi Central Park |
Bu Yanti :) |
Foto sama Pak Arief |
Tempat shalat Jumat di P8 |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar