Link

Jumat, 29 Agustus 2014

Hari Berpisah

Dear Dreamers!

Tak terasa, sudah dua minggu saya mengikuti masa training di RS Kanker Dharmais. Inilah hari terakhir saya mengikuti masa training. Rasanya agak berat untuk melalui hari ini, karena besok dan seterusnya saya tidak kembali lagi ke sini, hiks.

Pagi-pagi setelah sarapan, saya menuju ke counter Dunkin Donuts untuk membeli cemilan bagi para staf di Litbang, seperti pesan Bu Febri. Saya memasuki lab yang masih kosong. Hari ini saya memulai tugas dari Bu Febri: panen sel hari ketiga. Rasanya aneh juga bekerja sendirian, padahal biasanya ada suara bising centrifuge, celotehan Kak Safar and the Gank—sekarang akhirnya saya tau anggota gank-nya Kak Safar: ada Kak Ade, Kak Bayu, dan Kak Arya. Sayangnya saya justru tau di saat-saat akhir—ataupun riuhnya Pak Didin dan Bu Dewi di sela-sela aktivitas nge-lab. Untungnya Kak Rizky datang, jadi setidaknya saya nggak kesepian di lab.

Sambil menulis label microtube, Kak Rizky bertanya banyak hal tentang Sumbawa. Ceritanya, saat kami presentasi di @america, Kak Rizky datang dan sempat ngobrol-ngobrol dengan saya. Nah, saat itu ada Sultan berdiri di sebelah kami. Kak Rizky ngiranya beliau staf Kedutaan—emang wajahnya mirip bule sih, hehehe—dan kaget begitu tau beliau adalah Sultan Sumbawa. Kak Rizky buru-buru minta foro bareng, xixixi.

Pukul 10.30, Pak Arief datang dan meminta saya dan Kak Rizky keluar sebentar. Ternyata Pak Arief minta tolong Kak Rizky untuk foto bareng saya di depan tulisan ‘Litbang’ Dharmais. Setelah itu, Pak Arief mengajak saya keluar. Di pelataran Dharmais ternyata sudah menunggu Bu Yanti. Jadilah kami bertiga berjalan-jalan naik busway. Beberapa saat kemudian, kami tiba di Central Park. Hah?! Central Park!!! Itu loh, mall yang pernah saya liat di tv!!! *histeris dalam hati. Kami menuju ke sana melewati jembatan penyeberangan yang di bawahnya mengalir sebuah sungai, namun airnya keruh. Kemudian pak Arief bertanya, “Kenapa air sungai di Jakarta kotor, sedangkan di Jepang bersih?” Saya sih jawabnya karena masyarakat Jakarta belum disiplin membuang sampah, kemudian fasilitas kebersihannya masih sedikit. Ternyata masih ada jawaban lain. “Karena di Jepang, air limbah tidak dibuang ke sungai, tapi diolah secara khusus. Jadi, orang Jepang punya dua macam pembayaran air, pertama air bersih, kedua untuk mengolah air limbah. Jadi, air selokan atau sungai ya hanya air hujan.”

Kami lalu memasuki area mall dan berjalan di sepanjang koridor yang ada food court-nya. Aroma masakan tercium di mana-mana, membuat perut berdendang hebat, huhuhu. “Fahmi mau makan apa?” tanya Pak Arief. Saya lalu menoleh dan agak kebingungan. Hah? Akhirnya saya cuma jawab “Apa aja deh Pak.” Bu Yanti lalu tertawa sambil melihat saya, “Kalo dibilang apa aja ntar ujung-ujungnya makan nasi goreng.”

Kami lalu berhenti di sebuah restoran Betawi. Hah, jadi kami ke sini buat makan siang???!! Mimpi apa gue semalam?! Alhamdulillah, senangnya :’D

Karena saya nggak tau mau pesan apa, akhirnya Bu Yanti merekomendasikan Lontong Cap Go Meh untuk saya. Sambil menunggu hidangan, kami berfoto bersama, lalu diselingi beberapa perbincangan kecil tentang makanan di Sumbawa, dan kekhasan lainnya. Kata Bu Yanti, “Paling tidak, ada satu kekhasan daerah yang kamu kuasai, ya tarian, masakan, aksara. Itu jadi nilai plus kamu sebagai anak daerah. Nilai-nilai budaya harus tetap dipegang, karena di Indonesia yang paling bisa dijual ya budayanya.”

Dari Pak Arief sendiri, saya dan teman-teman yang akan berangkat ke Boston mendapat satu tugas lagi, yaitu mempelajari Satera Jontal—aksara Sumbawa—dan menggunakannya dalam perkenalan diri saat di Boston nanti.

Foto bersama Pak Arief di Litbang RS Kanker Dharmais

Foto bersama Pak Arief dan Bu Yanti (lagi hangout di Central Park)
Karena makanannya belum jadi, saya lalu shalat Jumat dulu di P8. Saya sempat tersesat mencari lokasi shalat Jumat dan bertanya ke beberapa orang—saking besarnya Central Park untuk ukuran orang yang jarang ke mall. Di sini, lantai lift-nya nggak pake angka, tapi pake kode-kode gitu. Misalnya, P untuk ‘Parking’, ‘GM’ untuk ‘Ground Mall’, dll. Usai shalat Jumat, saya bergegas menuju restoran. Ternyata Pak Arief sudah duluan. Akhirnya saya makan siang bareng Bu Yanti, itu pun Bu Yanti sebenarnya udah selesai. Pukul 14.00 kami kembali ke Dharmais.

Saya segera melanjutkan panen sel. Bu Febri belum datang rupanya. Beliau sudah pesan kemarin kalau datang agak terlambat karena ada pekerjaan di kantor. Tak lama kemudian, Kak Rizky pamit duluan mau ketemu Pak Arief di Kuningan. Well, saya ngelab sendiri lagi, huhu. Tapi masih ada gank-nya Kak Safar sih, hehehe.

Tepat saat saya menyelesaikan panen sel, Bu Febri datang. Donat yang tadi pagi saya beli lalu diberikan ke Bu Yanti untuk semua staf. Setelah itu, saya membungkus sampel yang dipanen dengan klip plastik, lalu membersihkan water bath yang kami gunakan selama pengolahan sampel.

Setelah itu, saya membantu Bu Febri membungkus sampel untuk dibawa Pak Arief. Pukul 17.00, kami meninggalkan Litbang RS Kanker Dharmais. Saya sempat pamitan ke Pak Didin, Bu Rini, Bu Yanti, Kak Safar, dan Kak Bayu.

Akhirnya masa training saya usai. Rasanya ada yang aneh saat meninggalkan lab ini. Besok, saya tidak akan memencet bel lagi di depan pintu, menunggu Mas Angga bukain pintu. Nggak akan ketemu Pak Kasman di ruang cuci lagi. Nggak bisa menyaksikan keramaian di lab lagi, celotehan Bu Dewi dan Pak Didin, Kak Safar and the gank yang sering mondar mandir di lab, Bu Rini yang pernah manggil saya Eko, hihihi. Bu Yanti yang selalu manggil saya dengan embel-embel ‘anak SMP’ (si Indah juga sempat kena getahnya pas datang ke Dharmais, hahaha. Sampai Bu Yanti bilang, ”Pak Arief di Sumbawa ngajarin mahasiswa atau anak SMP sih?”), Bu Riska, Bu Hening. Nggak akan ngelewatin koridor ‘L’-nya Litbang lagi. Nggak bisa makan di gang sebelah Dharmais lagi. Huft, semuanya meninggalkan kenangan yang sangat membekas di hati.

Eits, cerita belum usai guys, hihihi. Saya bantuin Bu Febri ngangkat box dry ice berisi sampel ke tempat suami beliau di RS Harapan Kita (sebelah Dharmais) di lantai 2—suami istri kerjanya sebelahan kantor, lantainya sama pula lantai 2, xixixi. Lumayan berat sih, ada sekitar 10 kilo-an. “Harusnya ada Rizky nih yang bantuin,” kata Bu Febri.

Usai mengantar box dry ice, saya juga minta tolong box OpenPCR saya dilakban lagi sebelum dibawa pulang. Well, ini menjadi akhir perjumpaan saya dengan Bu Febri. Satu hal yang saya sesalkan, lupa minta foto. *Aaaarrrrrgggghhh!!! Pasti ada momen lain J *optimis. Makasih banyak ya Bu atas semua ilmu dan pengalamannya. Saya harus belajar lebih banyak lagi setelah ini.


Is it the end? No, It’s not. Masih ada kisah lain yang perlu saya bagikan. Stay terus ya di sini J

Hang out di restoran Betawi Central Park

Bu Yanti :)
Foto sama Pak Arief
Tempat shalat Jumat di P8

Tidak ada komentar:

Posting Komentar