Link

Rabu, 20 Agustus 2014

Day 2: Learning by Practice

Dear Dreamers! Ini hari kedua saya mengikuti training di Dharmais. Jadwal hari ini adalah membantu riset Bu Febri, sekalian saya juga latihan menggunakan beberapa peralatan standar laboratorium sambil mempelajari etika di lab.

Pagi ini ada pengambilan sampel darah untuk keperluan riset, dan Bu Febri meminta kesediaan saya menjadi donatur, alias donor darah. Asiiikkk!!! Saya sempat merasa putus asa karena divonis tidak bisa mendonorkan darah saya (at least karena berat saya kurang dari 50 kg, hihihi). Selain saya, Pak Arief, Bu Any (istri Pak Arief), serta Bu Febri sendiri ikut ‘mengorbankan’ diri. Sampel darah yang dibutuhkan sekitar 15 mL. Awalnya saya sempat deg-degan, karena saya memang tidak suka jarum suntik. Akhirnya, selama proses donor, saya nggak berani melihat tangan saya yang sedang ditusuk, hehehe. Rasanya nggak terlalu sakit sih sebenarnya, cuma ya malas aja liat jarum suntik *ngeles.

Sampel darah sudah siap, selanjutnya kami mulai mengerjakan protokol kerja (karena ini riset yang sedang berjalan, jadi saya tidak bisa memberitahu prosesnya secara detail. Mohon dimaklumi J). Dalam project selama dua hari ini, saya belajar cara menggunakan pH meter, stirrer, centrifuge (alatnya lumayan besar dan tutupnya agak berat), tube heater, laminar air flow, microtube (yang ini sudah pernah di kampus), water bath, serta mikroskop. Kebanyakan alat-alat yang saya temui di sini adalah alat yang belum pernah saya gunakan, sehingga saya perlu menyesuaikan diri dalam menggunakan alat-alat tersebut. Yang paling susah sih saat menggunakan mikroskop untuk menghitung sel. Waduuuuh, susahnya poooollll! Semenjak SMP saya memang tidak terlalu mahir menggunakan mikroskop, selain juga karena dalam pelajaran Biologi dulu saat SMP dan SMA, penggunaan mikroskop dalam praktikum tidak terlalu intens. Yang bikin sulit adalah karena lensa okulernya untuk kedua mata atau sepasang. Saya sangat kesulitan menentukan fokus mata saya, akibatnya sel yang kelihatan pun jumlahnya menjadi dinamis, hahaha. Hasil perhitungan saya jadi kacau balau. Kata Bu Febri, untuk pemula hal tersebut wajar, jadi perlu diperbanyak latihan.

Selain alat, saya juga ‘berkenalan’ dengan beberapa bahan yang digunakan dalam riset, seperti PBS, lymphoprep, RPMI. Saya juga diajarkan beberapa etika dasar dalam laboratorium. Misalnya, alas yang digunakan di dalam lab bukan alas kaki yang digunakan di luar wilayah lab. Ini untuk menjaga agar kawasan lab tetap steril. Kemudian, dalam menggunakan laminar air flow, terlebih dahulu lampu UV dinyalakan 1-2 jam sebelum digunakan. Jam tangan tidak boleh digunakan saat bekerja di dalam laminar. Di Dharmais sendiri, para staf yang bekerja terlebih dahulu mengikuti masa training sebelum diizinkan bekerja di laboratorium, jadi saya sangat beruntung bisa training di sini J tapi tentu saya harus ekstra hati-hati dalam bekerja.

Nggak hanya bekerja di Lab, saya juga berkenalan dengan banyak orang keren di sini, antara lain Pak Didin (PJ Laboratorium Biologi Molekuler), Bu Hening dan Bu Rini (PJ Laboratorium Kultur Jaringan), Bu Yanti, Bu Dewi, Pak Kasman (petugas di ruang cuci alat dan sterilisasi), Mas Angga (OB Bagian Litbang) dan yg lainnya. Meskipun staf yang bekerja di sini umumnya sudah senior, tapi mereka semua tetap berjiwa muda, gaul, dan kocak. Makanya, Lab RS Dharmais tidak pernah sepi dari lelucon para staf.

Pukul 16.00 saya selesai nge-lab. Pak Arief lalu memanggil saya ke ruangan beliau dan diminta membuka sebuat dus paket. Ternyata isinya adalah PCR! Mesin PCR sangat penting untuk memperbanyak DNA yang nantinya dapat digunakan dalam berbagai keperluan riset, terutama saat ini untuk keperluan riset tim Sumbawagen dalam mengikuti kompetisi iGEM. Saya pun kebagian jatah mempelajari manual cara merakit mesin PCR. Semangat Fahmi!!! :D

Another Side of Jakarta Society

Saya akhirnya meninggalkan RS Dharmais sekitar pukul  17.00. sepanjang perjalanan pulang saya kepikiran dengan peristiwa yang saya lihat saat berangkat tadi pagi. Entah di daerah mana, saya mendapati sebuah adegan tak lazim. Saya melihat seorang pemuda sedang marah-marah di tengah jalan, padahal saat itu jalanan sedang sangat ramai. Sepertinya karena motornya diserempet pengendara lain. Namun yang membuat dahi saya berkerut adalah cara orang tersebut melampiaskan amarahnya. Ia marah-marah di tengah keramaian pada seorang bapak yang usianya sudah senja. Cara bicaranya membuat saya mengelus dada. Padahal, dilihat dari penampilannya, kedua orang itu tampak seperti bapak dan anak, namun pemuda itu malah berkata seperti ini (dari sekian banyak ‘cuap-cuap’-nya yang saya dengar), “Kalo motor gue rusak gimana? Emang elu bisa ganti apa!?” Si bapak hanya bisa menerima cercaan pemuda itu dengan wajah serba salah. Yang bikin saya kesal, ini orang sama sekali nggak peduli seramai apa di sekitarnya, dia tetap saja marah-marah, padahal si Bapak udah minta maaf berkali-kali. Rasanya miris sekali melihat pemandangan seperti ini, di mana rasa hormat dan saling menghargai sudah mulai pudar. Saya berharap pemuda-pemuda seperti itu tidak banyak berkeliaran di Indonesia. Kalaupun memang sesorang melakukan salah kepada kita, melampiaskan emosi ‘pol-polan’ di depan umum seperti itu tentu bukan hal yang baik.

Oke Dreamers, that’s all for my story today. See u tomorrow ;)

Komponen mesin PCR yang akan saya rakit
Habis ngedonor :D
Jalanan Jakarta di sore hari




Tidak ada komentar:

Posting Komentar