Dear Dreamers! Ini hari kedua saya mengikuti training di
Dharmais. Jadwal hari ini adalah membantu riset Bu Febri, sekalian saya juga
latihan menggunakan beberapa peralatan standar laboratorium sambil mempelajari
etika di lab.
Pagi ini ada pengambilan sampel darah untuk keperluan riset,
dan Bu Febri meminta kesediaan saya menjadi donatur, alias donor darah.
Asiiikkk!!! Saya sempat merasa putus asa karena divonis tidak bisa mendonorkan
darah saya (at least karena berat saya kurang dari 50 kg, hihihi). Selain saya,
Pak Arief, Bu Any (istri Pak Arief), serta Bu Febri sendiri ikut ‘mengorbankan’
diri. Sampel darah yang dibutuhkan sekitar 15 mL. Awalnya saya sempat
deg-degan, karena saya memang tidak suka jarum suntik. Akhirnya, selama proses
donor, saya nggak berani melihat tangan saya yang sedang ditusuk, hehehe.
Rasanya nggak terlalu sakit sih sebenarnya, cuma ya malas aja liat jarum suntik
*ngeles.
Sampel darah sudah siap, selanjutnya kami mulai mengerjakan
protokol kerja (karena ini riset yang sedang berjalan, jadi saya tidak bisa
memberitahu prosesnya secara detail. Mohon dimaklumi J). Dalam project selama dua
hari ini, saya belajar cara menggunakan pH meter, stirrer, centrifuge (alatnya
lumayan besar dan tutupnya agak berat), tube heater, laminar air flow,
microtube (yang ini sudah pernah di kampus), water bath, serta mikroskop.
Kebanyakan alat-alat yang saya temui di sini adalah alat yang belum pernah saya
gunakan, sehingga saya perlu menyesuaikan diri dalam menggunakan alat-alat
tersebut. Yang paling susah sih saat menggunakan mikroskop untuk menghitung
sel. Waduuuuh, susahnya poooollll! Semenjak SMP saya memang tidak terlalu mahir
menggunakan mikroskop, selain juga karena dalam pelajaran Biologi dulu saat SMP
dan SMA, penggunaan mikroskop dalam praktikum tidak terlalu intens. Yang bikin
sulit adalah karena lensa okulernya untuk kedua mata atau sepasang. Saya sangat
kesulitan menentukan fokus mata saya, akibatnya sel yang kelihatan pun
jumlahnya menjadi dinamis, hahaha. Hasil perhitungan saya jadi kacau balau.
Kata Bu Febri, untuk pemula hal tersebut wajar, jadi perlu diperbanyak latihan.
Selain alat, saya juga ‘berkenalan’ dengan beberapa bahan
yang digunakan dalam riset, seperti PBS, lymphoprep, RPMI. Saya juga diajarkan
beberapa etika dasar dalam laboratorium. Misalnya, alas yang digunakan di dalam
lab bukan alas kaki yang digunakan di luar wilayah lab. Ini untuk menjaga agar
kawasan lab tetap steril. Kemudian, dalam menggunakan laminar air flow,
terlebih dahulu lampu UV dinyalakan 1-2 jam sebelum digunakan. Jam tangan tidak
boleh digunakan saat bekerja di dalam laminar. Di Dharmais sendiri, para staf
yang bekerja terlebih dahulu mengikuti masa training sebelum diizinkan bekerja
di laboratorium, jadi saya sangat beruntung bisa training di sini J tapi tentu saya harus
ekstra hati-hati dalam bekerja.
Nggak hanya bekerja di Lab, saya juga berkenalan dengan
banyak orang keren di sini, antara lain Pak Didin (PJ Laboratorium Biologi
Molekuler), Bu Hening dan Bu Rini (PJ Laboratorium Kultur Jaringan), Bu Yanti,
Bu Dewi, Pak Kasman (petugas di ruang cuci alat dan sterilisasi), Mas Angga (OB
Bagian Litbang) dan yg lainnya. Meskipun staf yang bekerja di sini umumnya
sudah senior, tapi mereka semua tetap berjiwa muda, gaul, dan kocak. Makanya,
Lab RS Dharmais tidak pernah sepi dari lelucon para staf.
Pukul 16.00 saya selesai nge-lab. Pak Arief lalu memanggil
saya ke ruangan beliau dan diminta membuka sebuat dus paket. Ternyata isinya
adalah PCR! Mesin PCR sangat penting untuk memperbanyak DNA yang nantinya dapat
digunakan dalam berbagai keperluan riset, terutama saat ini untuk keperluan
riset tim Sumbawagen dalam mengikuti kompetisi iGEM. Saya pun kebagian jatah
mempelajari manual cara merakit mesin PCR. Semangat Fahmi!!! :D
Another Side of Jakarta Society
Saya akhirnya meninggalkan RS Dharmais sekitar pukul 17.00. sepanjang perjalanan pulang saya
kepikiran dengan peristiwa yang saya lihat saat berangkat tadi pagi. Entah di
daerah mana, saya mendapati sebuah adegan tak lazim. Saya melihat seorang
pemuda sedang marah-marah di tengah jalan, padahal saat itu jalanan sedang
sangat ramai. Sepertinya karena motornya diserempet pengendara lain. Namun yang
membuat dahi saya berkerut adalah cara orang tersebut melampiaskan amarahnya.
Ia marah-marah di tengah keramaian pada seorang bapak yang usianya sudah senja.
Cara bicaranya membuat saya mengelus dada. Padahal, dilihat dari penampilannya,
kedua orang itu tampak seperti bapak dan anak, namun pemuda itu malah berkata
seperti ini (dari sekian banyak ‘cuap-cuap’-nya yang saya dengar), “Kalo motor
gue rusak gimana? Emang elu bisa ganti apa!?” Si bapak hanya bisa menerima cercaan
pemuda itu dengan wajah serba salah. Yang bikin saya kesal, ini orang sama
sekali nggak peduli seramai apa di sekitarnya, dia tetap saja marah-marah,
padahal si Bapak udah minta maaf berkali-kali. Rasanya miris sekali melihat
pemandangan seperti ini, di mana rasa hormat dan saling menghargai sudah mulai
pudar. Saya berharap pemuda-pemuda seperti itu tidak banyak berkeliaran di
Indonesia. Kalaupun memang sesorang melakukan salah kepada kita, melampiaskan
emosi ‘pol-polan’ di depan umum seperti itu tentu bukan hal yang baik.
Oke Dreamers, that’s all for my story today. See u tomorrow
;)
Komponen mesin PCR yang akan saya rakit |
Habis ngedonor :D |
Jalanan Jakarta di sore hari |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar