Link

Minggu, 07 September 2014

Saya Belum Disiplin

Dear Dreamers!

Hari ini adalah hari kepulangan saya ke Sumbawa. Perjalanan di Jakarta selama dua minggu menjadi pengalaman yang sangat berharga bagi saya. Semoga saya bisa menjadi orang yang lebih baik setelah pulang dari sini.

Anyway, hari ini saya memesan tiket keberangkatan pukul 05.00. Harapannya sih saya bisa sampai Sumbawa lebih cepat, jadi bisa istirahat dan bergabung dengan teman-teman FTB esok harinya. But the disaster begins. Saya udah set alarm agar terbangun pukul 03.00, and I did it. Tapi entah bagaimana ceritanya, saya terlelap lagi, dan tiba-tiba kakak saya membangunkan dan waktu telah menunjukkan pukul 04.00.

Tanpa basa basi lagi, kami langsung tancap gas ke bandara. Perlu setengah jam bagi kami untuk tiba di sana. Dari parkiran—ada sekitar 200an meter dari pelataran bandara—saya berjuang sekuat tenaga untuk mengejar pesawat saya. Parahnya, saking buru-burunya, saya tidak sadar kalau saya salah antrian check-in. Saya ngantri di terminal 1B—dan saya baru sadar saat sudah hendak masuk bandara. Kami kembali berlarian hingga terminal 1A. saat sudah di dalam, saya segera check-in. Namun sayangnya, saya terlambat. “Mohon maaf, untuk pesawat ke Lombok sudah tidak bisa. Silahkan reschedule saja,” ucap petugas pada saya. Seketika langit rasanya runtuh.

Saya tidak punya waktu untuk bereaksi apa-apa lagi. Yang ada di kepala saya hanya satu: apa pun yang terjadi, saya harus sampai di Sumbawa hari ini. Saya segera me-reschedule jadwal pesawat saya, and it means I have to pay a new ticket. Saya menemui kakak saya lagi di pelataran bandara, dan menjelaskan keadaannya. Ia lalu memberi saya fee untuk reschedule, dan meminta saya menghubungi orangtua kami. Saya lantas kembali ke dalam untuk reschedule. Alhamdulillah, saya dapat pesawat pukul 09.00. Setelah memberitahu kepastian keberangkatan saya, kakak saya pamit pulang.

Selama menunggu pesawat, kepala saya dipenuhi perasaan kecewa pada diri saya sendiri. Ternyata saya masih belum disiplin terhadap diri saya sendiri. Sejak awal saya sudah tahu, berangkat dengan pesawat subuh itu penuh resiko, harus siap bangun pagi-pagi. Kenyataannya, saya tidak berhasil menghadapi resiko yang saya ciptakan sendiri. Akibatnya, saya jadi merepotkan banyak orang. Saya jadi mengocek kantong kakak saya lebih dalam, harus mengatur ulang jadwal bus travel (Alhamdulillah bisa dimundurkan), dan tentu saja jadi tiba lebih lama. Yang kedua, saya gagal mengantisipasi kemungkinan saya bangun terlambat. Sebenarnya sejak awal, saya bisa saja memesan tiket pukul 09.00, jadi bisa lebih nyantai berangkatnya. Tapi nasi sudah menjadi bubur.

Ini menjadi pelajaran yang sangat berharga buat saya. Ada begitu banyak kesempatan berharga dalam hidup kita, namun akan lewat begitu saja ketika kita tidak siap untuk mengambilnya. Nah, salah satu cara agar kita siap dalam menghadapi setiap kesempatan adalah dengan berdisiplin dalam segala hal. Disiplin mengatur waktu, disiplin mengerjakan tugas, disiplin menata diri, disiplin menjalankan aturan, dan banyak lagi. Kedisiplinan merupakan tanda bahwa kita menghargai waktu. Ketika kita tidak bisa menggunakan waktu yang kita miliki dengan baik, akibatnya apa yang kita rencanakan tidak dapat berjalan dengan baik. Maka kesempatan yang datang pun akan berlalu begitu saja.

Well, but it’s not over. Saya nggak bisa hanya termangu menyesali kesalahan saya terus menerus, kan? Maka saya melanjutkan perjalanan saya, meninggalkan Jakarta pukul 09.00, dan tiba di rumah pukul 20.30. Artinya apa? Oke, mungkin satu kesempatan telah berlalu karena ketidaksiapan kita. But it’s not the end of life. Kita harus siap lagi untuk mengejar kesempatan berikutnya. Menurut saya, cara terbaik untuk membayar ketidaksiapan kita di masa lalu adalah dengan mendapatkan sebuah kesempatan di masa sekarang. So, just be ready for every chances that come to you.

Semoga menjadi pelajaran berharga untuk kita semua, terutama saya pribadi.

Kisah Seorang Pengusaha Emas dan Nasihat Seorang Ibu

Ada hikmah di balik peristiwa. Saya percaya dengan kalimat itu. Maka, dalam perjalanan pulang, saya bertemu dengan orang-orang yang memberikan ‘kuliah’ gratis pada saya.

Saat di atas kapal, saya melihat seorang pria berusia 30-an sedang mondar mandir di anjungan kapal di area nakhoda. Sepertinya dia sedang mencari seseorang, tapi tidak ketemu-ketemu. Akhirnya, pria itu menghampiri saya yang kebetulan sedang sendiri juga. Kami basa basi sejenak, saling menanyakan asal, mau pergi ke mana, and so on.

Kemudian mengalirlah cerita-cerita menarik dari pria tersebut. Sebutlah namanya Kang Asep. Ia berasal dari Cirebon, dan sedang ada urusan bisnis di Taliwang. Rupanya ia seorang pengusaha emas. Ia menuturkan, selepas sekolah, ia ‘kabur’ bersama seorang pengusaha asing ke Australia. Di sana, ia belajar cara memurnikan emas. Kemudian, ia kembali ke Indonesia dua tahun setelahnya, dan mulai mengembara mencari logam mulia tersebut. Yang membuat saya tertarik, ia tidak berkeja di perusahaan, namun merintis usahanya sendiri bersama beberapa orang temannya. Dari usaha sendiri tersebut, ia bisa mendapatkan hasil puluhan juta, bahkan ratusan juta dalam satu kali penjualan.

“Kalo jadi pegawai mah, paling banyak saya dikasih belasan juta, padahal kalo kita bisa jual sendiri, itu bisa sampai ratusan juta. Pernah aku ditawarin kerja di Lombok, dikasih belasan juta lah per bulan, tapi aku ndak mau. Kerja terikat kayak gitu, gaji kita nggak naik naik, bos kita makin kaya. Ya mending cari sendiri aja. Memang sih penghasilan jadi ndak tetap, tapi di situ asiknya. Kita jadi bisa ngatur uang sendiri,” tutur Kang Asep.

Ada pelajaran berharga yang saya petik dari kisah Kang Asep. “Rezeki itu udah ada yang atur lah. Saya walaupun ndak kuliah, tapi buktinya bisa pegang uang banyak. Banyak orang yang ndak selesai sekolah bisa jadi orang kaya. Ya semuanya balik lagi ke usaha kita juga, berani usaha sampai seberapa jauh. Yang penting kita suka dengan kerjaan kita, rezeki ya tinggal datang. Saya sih udah nggak punya waktu buat iri sama orang lain, misalnya orang itu uangnya lebih banyak dari saya. Saya balikin lagi ke diri saya, ‘kamu mau nggak kalo harus kayak dia? Bisa ndak?’”

Dari Kang Asep saya belajar arti kerja keras dan penghargaan kepada diri sendiri. Ketika kita bisa menghargai setiap usaha yang kita lakukan, maka semua akan berjalan dengan rasa syukur.

Lain lagi ‘kuliah’ yang saya temui di atas bus travel. Anggaplah nama beliau Ibu Aminah. Beliau duduk di sebelah kiri saya. Kami sempat berbincang sejenak, menanyakan tujuan masing-masing. Sepanjang perjalanan dari Poto Tano hingga Sumbawa, Bu Aminah bertutur kisah dengan seorang bapak di sebelah kiri beliau. Awalnya saya tidak begitu tertarik untuk ikut menyimak, namun kemudian saya menyadari, ada banyak pelajaran hidup yang beliau tuturkan.

Well, saya nggak bisa menguraikan satu-satu saking banyaknya. Jadi, Bu Aminah ini seorang pedagang di Seketeng, memiliki beberapa orang anak dan mempekerjakan beberapa karyawan. Bu Aminah banyak bercerita tentang jalan bisnis beliau, bagaimana mendidik anak, memberdayakan karyawan, dan sebagainya. Pelajaran yang saya petik dari ‘kuliah’ beliau adalah selalu melibatkan Tuhan dalam setiap langkah kita. “Allah itu tahu semua yang kita kerjakan, walaupun kita bilang tidak ada orang yang lihat, tapi kita jangan lupa kalau Allah Maha Melihat, Maha Mengetahui. Jadi kita akan malu sendiri kalau mau berbuat jahat, karena tahu ada yang melihat.”

Yang kedua, selalu bersikap jujur. Tidak hanya dalam berdagang, dalam setiap hal sikap jujur harus dijunjung tinggi. Ketika kita bersikap jujur, maka akan banyak orang yang mempercayai kita. Imbasnya, akan ada banyak orang yang ingin bersama kita, misalnya dalam kerja sama usaha, mengerjakan suatu project, dan sebagainya.

Kemudian yang ketiga, selalu menghargai orang lain. “Kalau sama karyawan, saya ndak bisa menjadikan mereka sebagai bawahan yang disuruh-suruh. Saya anggap mereka semua seperti anak saya. Sambil bekerja, mereka saya didik. Kalau ada makanan ya saya bagikan. Terutama sekali saya ingatkan masalah agama. Alhamdulillah, mereka betah kerja sama saya. Yang tadinya jarang shalat sekarang jadi rajin. Sebab, saya bisa berhasil juga karena kerja keras mereka. Kalau ndak ada mereka, saya ndak akan bisa apa-apa sendirian.”

Seketika saya teringat dengan teman-teman saya. Sudahkah saya bersikap baik kepada mereka? Apakah saya telah menjadikan mereka sebagai bagian dari keluarga yang harus saya perhatikan?

Seketika itu juga saya tersadar, dan saya bersyukur karena dalam situasi yang tidak menguntungkan pagi tadi, Allah masih mengingatkan saya dengan penuh kasih sayang. Saya tidak harus mengalami kecelakaan atau sakit untuk mengintrospeksi diri. Saya merasa bersyukur karena dalam perjalanan ini, saya bisa belajar dari pengalaman orang lain yang mungkin akan saya alami juga. Ada ‘kuliah’ tambahan yang bisa saya peroleh dalam perjalanan ini. Dalam hati saya berdoa, semoga Kang Asep dan Bu Aminah selalu diberi kelancaran dalam usaha mereka, aamiin.


Oke Dreamers, itu dia kisah saya hari ini. See you next time J

My big bro and his office
Kosan tempat saya nginap
Suasana kapal






Tidak ada komentar:

Posting Komentar