Dear Dreamers!
Hari ini
adalah hari kepulangan saya ke Sumbawa. Perjalanan di Jakarta selama dua minggu
menjadi pengalaman yang sangat berharga bagi saya. Semoga saya bisa menjadi
orang yang lebih baik setelah pulang dari sini.
Anyway, hari
ini saya memesan tiket keberangkatan pukul 05.00. Harapannya sih saya bisa
sampai Sumbawa lebih cepat, jadi bisa istirahat dan bergabung dengan
teman-teman FTB esok harinya. But the disaster begins. Saya udah set alarm agar
terbangun pukul 03.00, and I did it. Tapi entah bagaimana ceritanya, saya
terlelap lagi, dan tiba-tiba kakak saya membangunkan dan waktu telah
menunjukkan pukul 04.00.
Tanpa basa
basi lagi, kami langsung tancap gas ke bandara. Perlu setengah jam bagi kami
untuk tiba di sana. Dari parkiran—ada sekitar 200an meter dari pelataran
bandara—saya berjuang sekuat tenaga untuk mengejar pesawat saya. Parahnya,
saking buru-burunya, saya tidak sadar kalau saya salah antrian check-in. Saya
ngantri di terminal 1B—dan saya baru sadar saat sudah hendak masuk bandara.
Kami kembali berlarian hingga terminal 1A. saat sudah di dalam, saya segera
check-in. Namun sayangnya, saya terlambat. “Mohon maaf, untuk pesawat ke Lombok
sudah tidak bisa. Silahkan reschedule saja,” ucap petugas pada saya. Seketika langit
rasanya runtuh.
Saya tidak
punya waktu untuk bereaksi apa-apa lagi. Yang ada di kepala saya hanya satu:
apa pun yang terjadi, saya harus sampai di Sumbawa hari ini. Saya segera
me-reschedule jadwal pesawat saya, and it means I have to pay a new ticket.
Saya menemui kakak saya lagi di pelataran bandara, dan menjelaskan keadaannya.
Ia lalu memberi saya fee untuk reschedule, dan meminta saya menghubungi
orangtua kami. Saya lantas kembali ke dalam untuk reschedule. Alhamdulillah,
saya dapat pesawat pukul 09.00. Setelah memberitahu kepastian keberangkatan
saya, kakak saya pamit pulang.
Selama
menunggu pesawat, kepala saya dipenuhi perasaan kecewa pada diri saya sendiri.
Ternyata saya masih belum disiplin terhadap diri saya sendiri. Sejak awal saya
sudah tahu, berangkat dengan pesawat subuh itu penuh resiko, harus siap bangun
pagi-pagi. Kenyataannya, saya tidak berhasil menghadapi resiko yang saya
ciptakan sendiri. Akibatnya, saya jadi merepotkan banyak orang. Saya jadi
mengocek kantong kakak saya lebih dalam, harus mengatur ulang jadwal bus travel
(Alhamdulillah bisa dimundurkan), dan tentu saja jadi tiba lebih lama. Yang
kedua, saya gagal mengantisipasi kemungkinan saya bangun terlambat. Sebenarnya
sejak awal, saya bisa saja memesan tiket pukul 09.00, jadi bisa lebih nyantai
berangkatnya. Tapi nasi sudah menjadi bubur.
Ini menjadi
pelajaran yang sangat berharga buat saya. Ada begitu banyak kesempatan berharga
dalam hidup kita, namun akan lewat begitu saja ketika kita tidak siap untuk
mengambilnya. Nah, salah satu cara agar kita siap dalam menghadapi setiap
kesempatan adalah dengan berdisiplin dalam segala hal. Disiplin mengatur waktu,
disiplin mengerjakan tugas, disiplin menata diri, disiplin menjalankan aturan,
dan banyak lagi. Kedisiplinan merupakan tanda bahwa kita menghargai waktu.
Ketika kita tidak bisa menggunakan waktu yang kita miliki dengan baik,
akibatnya apa yang kita rencanakan tidak dapat berjalan dengan baik. Maka kesempatan
yang datang pun akan berlalu begitu saja.
Well, but it’s
not over. Saya nggak bisa hanya termangu menyesali kesalahan saya terus
menerus, kan? Maka saya melanjutkan perjalanan saya, meninggalkan Jakarta pukul
09.00, dan tiba di rumah pukul 20.30. Artinya apa? Oke, mungkin satu kesempatan
telah berlalu karena ketidaksiapan kita. But it’s not the end of life. Kita
harus siap lagi untuk mengejar kesempatan berikutnya. Menurut saya, cara
terbaik untuk membayar ketidaksiapan kita di masa lalu adalah dengan
mendapatkan sebuah kesempatan di masa sekarang. So, just be ready for every
chances that come to you.
Semoga menjadi
pelajaran berharga untuk kita semua, terutama saya pribadi.
Kisah Seorang Pengusaha Emas dan Nasihat
Seorang Ibu
Ada hikmah di
balik peristiwa. Saya percaya dengan kalimat itu. Maka, dalam perjalanan
pulang, saya bertemu dengan orang-orang yang memberikan ‘kuliah’ gratis pada
saya.
Saat di atas
kapal, saya melihat seorang pria berusia 30-an sedang mondar mandir di anjungan
kapal di area nakhoda. Sepertinya dia sedang mencari seseorang, tapi tidak
ketemu-ketemu. Akhirnya, pria itu menghampiri saya yang kebetulan sedang
sendiri juga. Kami basa basi sejenak, saling menanyakan asal, mau pergi ke
mana, and so on.
Kemudian
mengalirlah cerita-cerita menarik dari pria tersebut. Sebutlah namanya Kang
Asep. Ia berasal dari Cirebon, dan sedang ada urusan bisnis di Taliwang.
Rupanya ia seorang pengusaha emas. Ia menuturkan, selepas sekolah, ia ‘kabur’
bersama seorang pengusaha asing ke Australia. Di sana, ia belajar cara
memurnikan emas. Kemudian, ia kembali ke Indonesia dua tahun setelahnya, dan
mulai mengembara mencari logam mulia tersebut. Yang membuat saya tertarik, ia
tidak berkeja di perusahaan, namun merintis usahanya sendiri bersama beberapa orang
temannya. Dari usaha sendiri tersebut, ia bisa mendapatkan hasil puluhan juta,
bahkan ratusan juta dalam satu kali penjualan.
“Kalo jadi
pegawai mah, paling banyak saya dikasih belasan juta, padahal kalo kita bisa
jual sendiri, itu bisa sampai ratusan juta. Pernah aku ditawarin kerja di
Lombok, dikasih belasan juta lah per bulan, tapi aku ndak mau. Kerja terikat
kayak gitu, gaji kita nggak naik naik, bos kita makin kaya. Ya mending cari
sendiri aja. Memang sih penghasilan jadi ndak tetap, tapi di situ asiknya.
Kita jadi bisa ngatur uang sendiri,” tutur Kang Asep.
Ada pelajaran
berharga yang saya petik dari kisah Kang Asep. “Rezeki itu udah ada yang atur
lah. Saya walaupun ndak kuliah, tapi buktinya bisa pegang uang banyak. Banyak
orang yang ndak selesai sekolah bisa jadi orang kaya. Ya semuanya balik lagi
ke usaha kita juga, berani usaha sampai seberapa jauh. Yang penting kita suka
dengan kerjaan kita, rezeki ya tinggal datang. Saya sih udah nggak punya waktu
buat iri sama orang lain, misalnya orang itu uangnya lebih banyak dari saya.
Saya balikin lagi ke diri saya, ‘kamu mau nggak kalo harus kayak dia? Bisa
ndak?’”
Dari Kang Asep
saya belajar arti kerja keras dan penghargaan kepada diri sendiri. Ketika kita bisa menghargai setiap usaha yang kita lakukan, maka semua akan berjalan
dengan rasa syukur.
Lain lagi
‘kuliah’ yang saya temui di atas bus travel. Anggaplah nama beliau Ibu Aminah.
Beliau duduk di sebelah kiri saya. Kami sempat berbincang sejenak, menanyakan
tujuan masing-masing. Sepanjang perjalanan dari Poto Tano hingga Sumbawa, Bu Aminah bertutur kisah dengan seorang bapak di sebelah kiri beliau. Awalnya saya
tidak begitu tertarik untuk ikut menyimak, namun kemudian saya menyadari, ada
banyak pelajaran hidup yang beliau tuturkan.
Well, saya nggak
bisa menguraikan satu-satu saking banyaknya. Jadi, Bu Aminah ini seorang
pedagang di Seketeng, memiliki beberapa orang anak dan mempekerjakan beberapa
karyawan. Bu Aminah banyak bercerita tentang jalan bisnis beliau, bagaimana
mendidik anak, memberdayakan karyawan, dan sebagainya. Pelajaran yang saya
petik dari ‘kuliah’ beliau adalah selalu melibatkan Tuhan dalam setiap langkah
kita. “Allah itu tahu semua yang kita kerjakan, walaupun kita bilang tidak ada
orang yang lihat, tapi kita jangan lupa kalau Allah Maha Melihat, Maha
Mengetahui. Jadi kita akan malu sendiri kalau mau berbuat jahat, karena tahu ada
yang melihat.”
Yang kedua,
selalu bersikap jujur. Tidak hanya dalam berdagang, dalam setiap hal sikap
jujur harus dijunjung tinggi. Ketika kita bersikap jujur, maka akan banyak
orang yang mempercayai kita. Imbasnya, akan ada banyak orang yang ingin bersama
kita, misalnya dalam kerja sama usaha, mengerjakan suatu project, dan
sebagainya.
Kemudian yang
ketiga, selalu menghargai orang lain. “Kalau sama karyawan, saya ndak bisa
menjadikan mereka sebagai bawahan yang disuruh-suruh. Saya anggap mereka semua
seperti anak saya. Sambil bekerja, mereka saya didik. Kalau ada makanan ya saya
bagikan. Terutama sekali saya ingatkan masalah agama. Alhamdulillah, mereka betah
kerja sama saya. Yang tadinya jarang shalat sekarang jadi rajin. Sebab, saya
bisa berhasil juga karena kerja keras mereka. Kalau ndak ada mereka, saya ndak
akan bisa apa-apa sendirian.”
Seketika saya
teringat dengan teman-teman saya. Sudahkah saya bersikap baik kepada mereka?
Apakah saya telah menjadikan mereka sebagai bagian dari keluarga yang harus
saya perhatikan?
Seketika itu
juga saya tersadar, dan saya bersyukur karena dalam situasi yang tidak
menguntungkan pagi tadi, Allah masih mengingatkan saya dengan penuh kasih
sayang. Saya tidak harus mengalami kecelakaan atau sakit untuk mengintrospeksi
diri. Saya merasa bersyukur karena dalam perjalanan ini, saya bisa belajar dari
pengalaman orang lain yang mungkin akan saya alami juga. Ada ‘kuliah’ tambahan
yang bisa saya peroleh dalam perjalanan ini. Dalam hati saya berdoa, semoga
Kang Asep dan Bu Aminah selalu diberi kelancaran dalam usaha mereka, aamiin.
Oke Dreamers,
itu dia kisah saya hari ini. See you next time J
My big bro and his office |
Kosan tempat saya nginap |
Suasana kapal |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar