Link

Selasa, 11 Agustus 2015

Merantau ke Ibu Kota

Mataram, 8 Agustus 2015

      Hay readers. Kembali lagi bersama kami dalam liputan perjalanan hidup. *eeaaaa :D*
Masih di kota Mataram, saat bangun kami merasa sudah sedikit lebih baik, karena kami dapat tidur dengan layak. Sekitar pukul 10.00 WITA saya dan Cindy sarapan, kemudian mandi dan berkemas. Pukul 11.15 WITA kami berangkat menuju pol damri menggunakan taksi sekitar 15 menit. Sesampainya disana, kami memesan tiket damri menuju BIL – Bandara Internasional Lombok – seharga Rp 25.000. Kami tiba sekitar pukul 13.00 WITA. Setelah mengurus tiket, bagasi dan yang lainnya, kami menuju mushollah untuk menunaikan ibadah sholat dzuhur. Pesawat kami berangkat pukul 13.45 WITA. Karena masih tersisa beberapa menit, kami mencari kursi kosong untuk duduk di ruang tunggu. Masyaallah.. ruang tunggu sangat sesak dengan orang-orang. Memperhatikan sekilas, banyak sekali turis-turis asing yang berada disini. Wahh.. cuci mata nih, hahaha...
      Para menumpang yang nama dan tujuan pesawatnya di panggil mulai mengantri untuk menaiki pesawat. Tibalah giliran saya dan Cindy. Ternyata antriannya panjang juga. Huhuhu. Oke, kami masuk. Kami menggunakan jasa pesawat Batik Air menuju bandara Soekarno Hatta, Jakarta. Kami menempuh perjalanan sekitar dua jam dengan membayar tiket sebesar Rp 721.000. ini adalah kali pertama kami menggunakan pesawat ini. Biasanya kami menggunakan Lion Air yang harganya lebih murah. Tapi karena Batik Air menyediakan makan siang di pesawat, kami memilih Batik, hehehe. Juga karena selisih harganya tidak terlalu jauh dari Lion Air (Lion sekitar 650-an ribu).
      Saya dan Cindy duduk bersebelahan, di temani seorang wanita berusia sekitar 50-an. Ternyata si Ibu adalah seorang tentara wanita guys. Waduhhh. Salah sedikit bahaya nih :D. Tapi ternyata ibu yang akrab di sapa Bu Gusti ini sangat baik dan lucu, hehehe. Beliau cukup eksis ternyata. Sampai kami diminta mengambil foto beliau beberapa kali. Akhirnya obrolan-obrolan kecil pun dimulai. Beliau menceritakan pengalamannya selama menjadi seorang tentara. Beliau merupakan penduduk asli Pulau Dewata, Bali, tapi tumbuh dan besar di Jakarta. “saya syukur bisa besar di Jakarta. Karena kalau di Bali, mungkin saya hanya menjadi seorang ibu rumah tangga”. Begitulah pernyataan beliau sambil diiringi tawa. Ternyata beliau sudah mengunjungi semua daerah di Indonesia. Waahhh.. Sekitar awal agustus lalu, beliau berkunjung ke Sumbawa untuk bertemu dengan beberapa pejabat setempat. Sehari setelahnya, beliau mengelilingi beberapa Universitas di kota Mataram untuk memberikan kuliah “Kebangsaan” untuk mahasiswa, terutama mahasiswa semester 7. Beliau berharap bahwa kami sebagai pelopor muda bangsa bisa paham akan apa kebutuhan bangsa, tau bagaimana perjuangan pelopor-pelopor sebelum kami dalam mempertahankan dan memajukan bangsa ini, dan ingin menanamkan nilai-nilai kebangsaan pada diri kami agar kami pun dapat menjaga dan melindungi bangsa Indonesia ini.
      Kami bercakap panjang mengenai perjalanan hidup beliau. Beliau menceritakan keindahan masing-masing daerah yang telah beliau kunjungi. Jadwal bu Gusti terbilang padat, karena harus bepergian beberapa kali dalam sebulan untuk perjalanan dinas. Tapi yang membuat saya dan Cindy sedikit kaget adalah pemahaman beliau mengenai “orang-orang Sumbawa”. Beliau mengira menggunakan sarung menjadi suatu indikasi bahwa orang tersebut telah berkeluarga, padahal tidak. Kami hanya tertawa dan menjelaskan kepada beliau bahwa sarung tidak mengindikasikan apapun dalam adat Samawa (Sumbawa). Sarung bebas dikenakan oleh siapa saja dan untuk apapun. Dan beliaupun tertawa karena telah salah pemahan selama ini. Bu Gusti kemudian bertanya mengenai Sumbawa, tempat-tempat wisatanya, pendidikannya termasuk kampus kami. Dengan senang hati, kami pun menjelaskan secara rinci kepada beliau. Tidak lupa pula kami mengajak beliau untuk berkunjung lagi ke Sumbawa dan menikmati panorama serta wisata-wisata yang ada. Karena beliau juga dosen dan akan melanjutkan studi S3 bidang hukum, kami menawarkan siapa tau kelak beliau mau berkunjung ke kampus dan menjadi dosen di kampus kami, hehehe. Beliau pun tersenyum dan menanggapi baik permintaan kami. Setelah bertanya panjang lebar, beliau juga bertanya berapa harga tiket pesawat yang kami dapatkan. Saat kami memberitahu, beliau kaget dan mengatakan bahwa kami sangat beruntung. Memang iya sih, hehehe. Karena tiket yang beliau dapatkan seharga Rp 1.600.000-an. Allahu akbar :D
      Tidak terasa, pesawat yang kami tumpangi telah sampai di lintasannya. Kamipun berpamitan dengan bu Gusti, sosok wanita tangguh yang telah membuat perjalanan kami jauh dari rasa bosan. Kemudian kami bergegas mengambil bagasi dan menuju mushollah untuk menunaikan sholat ashar. Setelah itu, kami mencari taksi untuk mengantarkan kami menuju BSD, Tangerang – kediaman bapak Dr. Zulkieflimansyah (rektor pertama UTS). Antrian taksi sangat ramai. Ini adalah kali pertama saya maupun Cindy menggunakan taksi bandara. Kami hanya menunggu tanpa tahu bahwa kami harus mengambil nomor antrian. Ahhh, kami pun terlantar. Hiks. Setelah menghabiskan waktu sekitar setengah jam untuk menunggu, akhirnya saya mencari kepastian kepada bapak petugas taksi. hehe. Saat saya hendak bertanya, beliau langsung bertanya “taksi?” saya spontan mengangguk. Kemudian tanpa basa-basi beliau memberikan nomor antrian ke 13 kepada saya. Kami mengunggu giliran sampai 3 jam lebih. Huuhhhh.. sungguh cobaan yang tiada henti. Hiks. Kami mengunggu ditemani 2 koper, 4 tas plastik dan dengan wajah lesu, ngantuk, dan lapar. Kalian pasti bisa membayangkan sebesar apa kadar ‘kebosanan’ yang kami miliki. Akhirnya nomor kami pun di panggil dan kami segera naik. Selamat tinggal terminal C...
      Ternyata perjalanan yang kemi tempuh cukup jauh. Dari pukul 17.00 WIB, kami sampai sekitar pukul 19.00 WIB dan membayar ongkos taksi Rp 255.000. huuuhhhh, sabar.. Sampai di BSD, kami memasukkan segala barang bawaan ke dalam kamar yang telah disediakan. Lalu kami bersih-bersih dan mengambil wudhu untuk menunaikan ibadah sholat magrib. Setelah itu, kami berbaring untuk melepas lelah. Alhamdulillah. Perjalanan panjang telah selesai :’). Beberapa menit kemudian, saat kami hampir terlelap, kami dipanggi keluar. Betapa berbinarnya mata saya dan Cindy melihat dua bungkus nasi dan dua bungkus lalapan di atas karpet. Hahaha, kami merasa hidup kembali :-D. Setelah makan, bercakap sebentar dengan penghuni rumah, menunaikan sholat isya, kami pun meminta izin untuk kembali ke kamar. Ternyata penghuni-penghuni rumah ini mengerti akan kelelahan kami, hehehe. Tanpa cakap panjang, mereka mempersilahkan kami untuk beristirahat. Akhirnyaaa :’)
      Oke readers, sekian untuk hari ini. Pesan kami, seberat-beratnya cobaan, jika bersabar dan tetap bersyukur, maka kenikmatannya akan lebih terasa J. Terima kasih telah setia membaca curahan kami J Byee....

2 komentar:

  1. Nice story! ;)

    Ceritanya hidup, dan akan lebih asik lagi kalo momen yang ditulis ada fotonya, jadi manisnya penderitaan dan pahitnya kebahagiaan *eh kebalik ding* bisa tergambar lebih dramatis wkwkwk. Sukses yaaa. Salam buat penghuni BSD :)

    BalasHapus
  2. haha.. maap sodara baru liat nih :D. oke mi.. mksh sarannya :)

    BalasHapus