Bissmillah
Assalammualaikum Warrahmatullah Wabbarakatuh
Kamis, 13 Agustus 2015
Hari
ini Bu Febri sudah kembali ke Jakarta. Hal ini berarti kami akan mengerjakan
pekerjaan yang sempat tertunda kemarin. Sekitar pukul 09.05 Wita Bu Febri sudah
tiba di RSK Dharmais, kami sudah menunggu kedatangan beliau. Saya dan Indah
sudah tidak sabar untuk memulai petualangan baru kami hari ini.
Bu Febri nampak
membuka koper, kemudian mengeluarkan dua buah kotak yang kemudian kami ketahui
berisi makanan. Waah, serabi dan kue “moaci” oleh-oleh dari Solo. Bu Febri
mempersilahkan kami untuk mencicipi buah tangan tersebut. Hohoho :D
Serabi dan kue "moaci" oleh dari Bu Febri, rasanya enak banget loh ;) |
Anyway, kegiatan magang kami hari
merupakan kegiatan yang panjang dan sangat-sangat membutuhkan ketelitian serta konsentrasi
tinggi. Hari ini kami akan melakukan isolasi Peripheral Blood Mononuclear Cell (PBMC)— sel mononukleat yang
berasal dari darah tepi (darah di vena), atau secara umum disebut sel darah
putih. Karena kami akan mengisolasi PBMC, tentunya harus berasal dari darah,
dan kami harus mencari “korban” yang
bersedia mendonorkan darahnya sekitar 10 cc (10 mL) di hari pertama isolasi
PBMC ini (berarti akan ada hari kedua nih dremers
:D). Sebenarnya kemarin kami sudah mendapatkan “korban” yakni Bu Febri dan Indah.
Indah sangat semangat nih mengajukan diri sebagai “korban” pertama, karena katanya
dia ingin merasakan bagaimana rasanya darahnya diambil.
Sayangnya sejak
kemarin malam Indah terjangkit flu. Sistem imun Indah menurun akibat keluar
masuk cold room—ruangan dingin dengan
suhu sekitar 2-4oC dan juga bekerja di ruangan full AC (Air Conditioner)
dengan suhu sekitar 18-20oC. Jadilah yang menjadi “korban” di hari
pertama isolasi PBMC adalah Bu Febri dan saya. Untuk mengambil sampel darah, Bu
Febri meminta bantuan kepada Bu Dewi—salah satu staf di Bagian Penelitian dan
Pengembagan RSK Dharmais.
Opsi awal yang akan mengambil darah kami adalah Pak
Didin—Penanggung jawab Lab. Biologi Molekuler RSK Dharmais, tetapi Pak Didin
menolak. Alasannya sih sederhana, “Nanti kalau kalian saya pegang, kalian gak
akan bisa lupa dengan saya” ungkap Pak Didin. Haduh Pak Didin memang selalu bisa mengundang
gelak tawa kami di laboratorium.
#Intermezzo
Dreamers, saya mau curhat sedikit nih tentang
Pak Didin. Hehehe :D Awalnya saya dan Indah mengira bahwa Pak Didin orangnya
menakutkan. Saat berkenalan, saya dan Indah tidak ditanyai nama kami siapa
(karena sudah dikenalkan Bu Febri sih :D), melainkan kami langsung ditodong
dengan surat izin magang di RSK Dharmais. Saya menjadi segan jadinya, alias
takut juga dengan Pak Didin, ini masih berlangsung sampai hari kedua magang
kami di Bagian Litbang RSKD. Tapi nih dreamers,
perkiraan awal kami berbeda 180o. Pak Didin ternyata orang yang
sangat lucu, bersahabat dan berjiwa muda serta paling baik (katanya Pak Didin) di
Litbang. Kemarin, saya dan Indah bergantian melaksanakan sholat. Nah, di rak sepatu
musholla Litbang awalnya Pak Didin melihat sandal laboratorium milik saya berwarna
pink dengan motif kartun “Super Girl”. Setelah itu, Pak Didin melihat lagi
sandal laboratorium dengan ukuran yang lebih kecil dan warna talinya pink milik
Indah. Dengan gaya khasnya Pak Didin berkata seperti ini “Loh ini sandal punya
siapa? Mungiiil betul, tadi juga saya lihat sandal warna pink juga imutt sekali”.
Indah yang menceritakan hal ini kepada saya, membuat kami tidak berhenti tertawa
sepanjang jalan pulang. Pak Didin oh Pak Didin :D Dreamers sekian dulu ya intermezonya. :D
Indah on action, sedang fokus bekerja. |
Kita kembali
lagi ke isolasi PBMC. Setelah Bu Dewi dan kedua “korban” hari ini siap, Bu Dewi
mulai beraksi mengambil darah kami. Pertama, Bu Dewi meraba dulu lengan saya,
mencari letak pembuluh darah vena (pembuluh darah yang membawa darah kembali ke
jantung). Kemudian, Bu Dewi menusuk lengan saya menggunakan jarum yang ujungnya
sangat tajam dan juga besar dan tidak beberapa lama cairan merah mulai keluar
dari lengan saya dan memenuhi botol khusus untuknya. Saya sempat merasa takut
sebenarnya, meskipun sudah beberapa kali darah saya diambil baik untuk cek
kesehatan maupun donor darah, ditusuk jarum tetap saja sakit, sakitnya pun
bukan seperti digigit semut :D
Setelah
mendapatkan sampel darah, kami pun segera memproses sampel darah tersebut
sesuai protokol dari Bu Febri. Seperti yang saya ceritakan di awal, proses ini
sangat membutuhkan ketelitian, kehati-hatian, dan konsentrasi tinggi. Di saat
inilah saya merasa jika saya sangat membutuhkan kacamata.
Tiga Kesalahan
Pertama, saya
dan Indah harus mengambil PBMC yang berada di antara larutan. Berbeda dengan
Indah yang meskipun tegang tapi dia tetap bisa melaksanakan tugas ini dengan
lancar, saya harus berjuang lebih karena saat itu penglihatan saya terasa
bermasalah. Meskipun saya berhasil menyelesaikan tugas ini, tapi saya sangat kesulitan
melihat PBMC yang harus diambil menggunakan mikropipet.
Kedua, Indah
dan saya juga diberikan tugas untuk menghitung sel pada sampel yang kami amati
dengan bantuan mikroskop. Saya mengalami sedikit masalah mengamati objek dengan
lensa mikroskop karena mata saya lagi. Saya harus mengulang menghitung 2-3 kali
untuk memastikan hasil hitungan saya benar.
Ketiga, tidak
hanya saat mengisolasi PBMC dan menghitung jumlah sel, saya masih juga bermasalah
dengan dengan mata saya hari ini. Tadi Bu Febri meminta saya untuk mengencerkan
suatu larutan yang memiliki konsentrasi tinggi menjadi larutan dengan konsentrasi
lebih rendah. Di sinilah saya membuat kesalahan yang cukup fatal. Saya salah
mengambil pelarut untuk mengencerkan larutan tersebut. Harusnya larutan
tersebut diencerkan dengan menambahkan ddH2O steril. Karena salah
membaca label tulisan yang tertempel pada botolnya, saya menambahkan pelarut
lain. Benar-benar kesalahan fatal karena saya telah “membuang” 230 µL
(mikro liter). Meskipun jumlahnya dalam satuan mikro liter, tapi untuk larutan
yang saya “buang” tadi 230 mikro liter itu banyak, karena selain harus
menggunakannya dalam jumlah sedikit, harga larutan tersebut juga mahal. Saya
merasa bersalah dan menyesal dengan Bu Febri, karena keteledoran saya hingga “membuang”
larutan mahal tersebut. *Maafkan saya Bu L
“Aku butuh
kacamata Ndah”. Hal itulah yang saya katakan pada Indah saat dia membalas
menyemangati saya menyelesaikan tugas tersebut. Mata saya memang sudah tidak
normal lagi, hasil pemeriksaan mata yang saya lakukan di Sumbawa beberapa bulan
lalu adalah silinder ½ (setengah) untuk mata kiri, dan minus ½ (setengah) untuk
mata kanan (lengkap L).
Selama ini saya selalu kekeh tidak mau menggunakan kaca mata. Karena saya
merasa mata saya baik-baik saja. Tapi sepulang dari Jakarta nanti sepertinya
saya akan menjadi gadis bermata empat. Saya membutuhkan kacamata untuk membantu
saya bekerja di laboratorium.
Hari ini
merupakan hari terlama kami bekerja di RSK Dharmais. Sekitar pukul 17.00 Wib,
kami baru selesai bekerja di laboratorium. Saat kami pulang RSK Dharmais sudah benar-benar
sepi. Di gedung Litbang hanya ada Pak Didin yang masih memainkan sandal
laboratorium milik saya di depan mushollah. Beliau menukar pasangan sandal saya
dengan sandal lainnya. Alhasil sandal tersebut berpisah dan memiliki pasangan
baru akibat ulah Pak Didin.
Sejujurnya
ulah Pak Didin tetap mengundang gelak tawa, dan menjadi penghibur di tengah kegalauan
yang saya rasakan. Kesalahan yang saya perbuat hari ini benar-benar memukul
saya. Sempat saya merasa sedikit down
dan tidak percaya pada diri saya sendiri. Baik saya maupun Indah tidak banyak
bicara satu sama lain sore tadi. Di jalan pulang menuju kos, saya masih menyesali
kesalahan saya.
Tapi dreamers, saya sadar bahwa saya tidak
boleh berlarut-larut dalam kegalauan, kesalahan, dan kesedihan saya. Setiap kejadian
pasti ada hikmahnya. Saya harus pandai menggali hikmah dari kejadian ini.
Berarti ke depannya saya harus belajar lebih teliti lagi dalam bekerja. Harus lebih
berhati-hati lagi. Saya harus bangkit untuk lebih baik di hari esok. Jika saya
ingin lebih baik, berarti saya harus belajar dari pengalaman sebelumnya.
Well dreamers, sekian dulu cerita saya
dan Indah di hari ke-4 magang di RSK Dharmais. Semoga cerita yang kami bagikan
dapat menjadi inspirasi dan motivasi bagi pembaca setia blog Sumbawa Dream.
Wassalammualaikum Warrahamtullah
Wabbarakatuh
Nice experience this time girls :)
BalasHapusSalah dalam eksperimen itu wajar Cindy. Aku butuh 3 hari buat belajar hitung sel, dan isolasi PBMC memang bukan kerjaan mudah, apalagi kalo memang jumlah sel dari pendonornya dikit. Tapi tenang aja, ntar pas di Tsukuba PBMC-nya udah dari pabrik soalnya di Jepang kita ndak bisa sembarangan ngambil sampel dari pasien. Protokol PBMC-nya dipelajari baik2 ya, ndak akan dapat di Jepang soalnya. Kalo di sana udah siap pake. Tetap semangat yah! Salam buat Bu Dewi :)
Makasih banyak fami :) Insya Allah udah hafal mi. heheh
BalasHapussiip (y)
BalasHapus