Link

Jumat, 14 Agustus 2015

Internship Day 4: ”I Need an Eye Glass” Kesalahan Fatal pada Pekerjaan yang Membutuhkan Ketelitian


Bissmillah
Assalammualaikum Warrahmatullah Wabbarakatuh
 Kamis, 13 Agustus 2015

             Hari ini Bu Febri sudah kembali ke Jakarta. Hal ini berarti kami akan mengerjakan pekerjaan yang sempat tertunda kemarin. Sekitar pukul 09.05 Wita Bu Febri sudah tiba di RSK Dharmais, kami sudah menunggu kedatangan beliau. Saya dan Indah sudah tidak sabar untuk memulai petualangan baru kami hari ini.

Bu Febri nampak membuka koper, kemudian mengeluarkan dua buah kotak yang kemudian kami ketahui berisi makanan. Waah, serabi dan kue “moaci” oleh-oleh dari Solo. Bu Febri mempersilahkan kami untuk mencicipi buah tangan tersebut. Hohoho :D
Serabi dan kue "moaci" oleh dari Bu Febri, rasanya enak banget loh ;)
 
Anyway, kegiatan magang kami hari merupakan kegiatan yang panjang dan sangat-sangat membutuhkan ketelitian serta konsentrasi tinggi. Hari ini kami akan melakukan isolasi Peripheral Blood Mononuclear Cell (PBMC)— sel mononukleat yang berasal dari darah tepi (darah di vena), atau secara umum disebut sel darah putih. Karena kami akan mengisolasi PBMC, tentunya harus berasal dari darah, dan kami  harus mencari “korban” yang bersedia mendonorkan darahnya sekitar 10 cc (10 mL) di hari pertama isolasi PBMC ini (berarti akan ada hari kedua nih dremers :D). Sebenarnya kemarin kami sudah mendapatkan “korban” yakni Bu Febri dan Indah. Indah sangat semangat nih mengajukan diri sebagai “korban” pertama, karena katanya dia ingin merasakan bagaimana rasanya darahnya diambil.  

Sayangnya sejak kemarin malam Indah terjangkit flu. Sistem imun Indah menurun akibat keluar masuk cold room—ruangan dingin dengan suhu sekitar 2-4oC dan juga bekerja di ruangan full AC (Air Conditioner) dengan suhu sekitar 18-20oC. Jadilah yang menjadi “korban” di hari pertama isolasi PBMC adalah Bu Febri dan saya. Untuk mengambil sampel darah, Bu Febri meminta bantuan kepada Bu Dewi—salah satu staf di Bagian Penelitian dan Pengembagan RSK Dharmais.

Opsi awal yang akan mengambil darah kami adalah Pak Didin—Penanggung jawab Lab. Biologi Molekuler RSK Dharmais, tetapi Pak Didin menolak. Alasannya sih sederhana, “Nanti kalau kalian saya pegang, kalian gak akan bisa lupa dengan saya” ungkap Pak Didin.  Haduh Pak Didin memang selalu bisa mengundang gelak tawa kami di laboratorium.

#Intermezzo
Dreamers, saya mau curhat sedikit nih tentang Pak Didin. Hehehe :D Awalnya saya dan Indah mengira bahwa Pak Didin orangnya menakutkan. Saat berkenalan, saya dan Indah tidak ditanyai nama kami siapa (karena sudah dikenalkan Bu Febri sih :D), melainkan kami langsung ditodong dengan surat izin magang di RSK Dharmais. Saya menjadi segan jadinya, alias takut juga dengan Pak Didin, ini masih berlangsung sampai hari kedua magang kami di Bagian Litbang RSKD. Tapi nih dreamers, perkiraan awal kami berbeda 180o. Pak Didin ternyata orang yang sangat lucu, bersahabat dan berjiwa muda serta paling baik (katanya Pak Didin) di Litbang. Kemarin, saya dan Indah bergantian melaksanakan sholat. Nah, di rak sepatu musholla Litbang awalnya Pak Didin melihat sandal laboratorium milik saya berwarna pink dengan motif kartun “Super Girl”. Setelah itu, Pak Didin melihat lagi sandal laboratorium dengan ukuran yang lebih kecil dan warna talinya pink milik Indah. Dengan gaya khasnya Pak Didin berkata seperti ini “Loh ini sandal punya siapa? Mungiiil betul, tadi juga saya lihat sandal warna pink juga imutt sekali”. Indah yang menceritakan hal ini kepada saya, membuat kami tidak berhenti tertawa sepanjang jalan pulang. Pak Didin oh Pak Didin :D Dreamers sekian dulu ya intermezonya. :D

Indah on action, sedang fokus bekerja.
Kita kembali lagi ke isolasi PBMC. Setelah Bu Dewi dan kedua “korban” hari ini siap, Bu Dewi mulai beraksi mengambil darah kami. Pertama, Bu Dewi meraba dulu lengan saya, mencari letak pembuluh darah vena (pembuluh darah yang membawa darah kembali ke jantung). Kemudian, Bu Dewi menusuk lengan saya menggunakan jarum yang ujungnya sangat tajam dan juga besar dan tidak beberapa lama cairan merah mulai keluar dari lengan saya dan memenuhi botol khusus untuknya. Saya sempat merasa takut sebenarnya, meskipun sudah beberapa kali darah saya diambil baik untuk cek kesehatan maupun donor darah, ditusuk jarum tetap saja sakit, sakitnya pun bukan seperti digigit semut :D

Setelah mendapatkan sampel darah, kami pun segera memproses sampel darah tersebut sesuai protokol dari Bu Febri. Seperti yang saya ceritakan di awal, proses ini sangat membutuhkan ketelitian, kehati-hatian, dan konsentrasi tinggi. Di saat inilah saya merasa jika saya sangat membutuhkan kacamata.

Tiga Kesalahan
 
Pertama, saya dan Indah harus mengambil PBMC yang berada di antara larutan. Berbeda dengan Indah yang meskipun tegang tapi dia tetap bisa melaksanakan tugas ini dengan lancar, saya harus berjuang lebih karena saat itu penglihatan saya terasa bermasalah. Meskipun saya berhasil menyelesaikan tugas ini, tapi saya sangat kesulitan melihat PBMC yang harus diambil menggunakan mikropipet.

Kedua, Indah dan saya juga diberikan tugas untuk menghitung sel pada sampel yang kami amati dengan bantuan mikroskop. Saya mengalami sedikit masalah mengamati objek dengan lensa mikroskop karena mata saya lagi. Saya harus mengulang menghitung 2-3 kali untuk memastikan hasil hitungan saya benar.

Ketiga, tidak hanya saat mengisolasi PBMC dan menghitung jumlah sel, saya masih juga bermasalah dengan dengan mata saya hari ini. Tadi Bu Febri meminta saya untuk mengencerkan suatu larutan yang memiliki konsentrasi tinggi menjadi larutan dengan konsentrasi lebih rendah. Di sinilah saya membuat kesalahan yang cukup fatal. Saya salah mengambil pelarut untuk mengencerkan larutan tersebut. Harusnya larutan tersebut diencerkan dengan menambahkan ddH2O steril. Karena salah membaca label tulisan yang tertempel pada botolnya, saya menambahkan pelarut lain. Benar-benar kesalahan fatal karena saya telah “membuang” 230 µL (mikro liter). Meskipun jumlahnya dalam satuan mikro liter, tapi untuk larutan yang saya “buang” tadi 230 mikro liter itu banyak, karena selain harus menggunakannya dalam jumlah sedikit, harga larutan tersebut juga mahal. Saya merasa bersalah dan menyesal dengan Bu Febri, karena keteledoran saya hingga “membuang” larutan mahal tersebut. *Maafkan saya Bu L

“Aku butuh kacamata Ndah”. Hal itulah yang saya katakan pada Indah saat dia membalas menyemangati saya menyelesaikan tugas tersebut. Mata saya memang sudah tidak normal lagi, hasil pemeriksaan mata yang saya lakukan di Sumbawa beberapa bulan lalu adalah silinder ½ (setengah) untuk mata kiri, dan minus ½ (setengah) untuk mata kanan (lengkap L). Selama ini saya selalu kekeh tidak mau menggunakan kaca mata. Karena saya merasa mata saya baik-baik saja. Tapi sepulang dari Jakarta nanti sepertinya saya akan menjadi gadis bermata empat. Saya membutuhkan kacamata untuk membantu saya bekerja di laboratorium.

Hari ini merupakan hari terlama kami bekerja di RSK Dharmais. Sekitar pukul 17.00 Wib, kami baru selesai bekerja di laboratorium. Saat kami pulang RSK Dharmais sudah benar-benar sepi. Di gedung Litbang hanya ada Pak Didin yang masih memainkan sandal laboratorium milik saya di depan mushollah. Beliau menukar pasangan sandal saya dengan sandal lainnya. Alhasil sandal tersebut berpisah dan memiliki pasangan baru akibat ulah Pak Didin.

Sejujurnya ulah Pak Didin tetap mengundang gelak tawa, dan menjadi penghibur di tengah kegalauan yang saya rasakan. Kesalahan yang saya perbuat hari ini benar-benar memukul saya. Sempat saya merasa sedikit down dan tidak percaya pada diri saya sendiri. Baik saya maupun Indah tidak banyak bicara satu sama lain sore tadi. Di jalan pulang menuju kos, saya masih menyesali kesalahan saya.

Tapi dreamers, saya sadar bahwa saya tidak boleh berlarut-larut dalam kegalauan, kesalahan, dan kesedihan saya. Setiap kejadian pasti ada hikmahnya. Saya harus pandai menggali hikmah dari kejadian ini. Berarti ke depannya saya harus belajar lebih teliti lagi dalam bekerja. Harus lebih berhati-hati lagi. Saya harus bangkit untuk lebih baik di hari esok. Jika saya ingin lebih baik, berarti saya harus belajar dari pengalaman sebelumnya.

Well dreamers, sekian dulu cerita saya dan Indah di hari ke-4 magang di RSK Dharmais. Semoga cerita yang kami bagikan dapat menjadi inspirasi dan motivasi bagi pembaca setia blog Sumbawa Dream.

Wassalammualaikum Warrahamtullah Wabbarakatuh

3 komentar:

  1. Nice experience this time girls :)
    Salah dalam eksperimen itu wajar Cindy. Aku butuh 3 hari buat belajar hitung sel, dan isolasi PBMC memang bukan kerjaan mudah, apalagi kalo memang jumlah sel dari pendonornya dikit. Tapi tenang aja, ntar pas di Tsukuba PBMC-nya udah dari pabrik soalnya di Jepang kita ndak bisa sembarangan ngambil sampel dari pasien. Protokol PBMC-nya dipelajari baik2 ya, ndak akan dapat di Jepang soalnya. Kalo di sana udah siap pake. Tetap semangat yah! Salam buat Bu Dewi :)

    BalasHapus
  2. Makasih banyak fami :) Insya Allah udah hafal mi. heheh

    BalasHapus