Saya terjaga lebih awal hari ini... sepuluh menit dari biasanya. Usai shalat Subuh dan olahraga kecil, saya mandi lalu menyiapkan sarapan. Mata saya tak berhenti mengawasi pergerakan jarum jam, takut kalau-kalau mereka akan berputar lebih cepat.
Hari ini saya akan melakukan perjalanan ke Tokyo. Rasanya senang namun deg-degan juga. Ini kali pertama saya akan bepergian keluar kota Tsukuba. Saya sudah merencanakan perjalanan ini sejak dua minggu sebelumnya. Berbagai persiapan sudah saya lakukan, seperti mencari pembelian tiket kereta dengan harga lebih murah, menyusun rute perjalanan, menentukan lokasi-lokasi yang akan dikunjungi, dan tentu saja menghitung okane (uang) yang harus saya bawa, serta menentukan apa yang ingin saya beli di sana. Tentu, saya tidak melakukannya sorang diri. Saya harus berterima kasih pada Mas Dion dan Mbak Fani, dua senior yang bisa dibilang paling sering saya temui setiap akhir pekan selama di Tsukuba. Merekalah yang membantu saya merancang perjalanan singkat ke Tokyo, sekaligus akan menjamin bahwa saya tidak akan tersesat selama di sana.
"Fahmi."
Saya menoleh. Mas Dion berjalan di dekat saya. "Apa kabar?" ujarnya lalu menyalami saya.
"Baik, Mas," jawab saya. Kami lalu turun ke stasiun kereta. Stasiun ini letaknya di Tsukuba Center, di bawah stasiun bus.
Kami duduk di bangkus dekat kafe Starbucks. Mas Dion dan saya masih membahas rencana kami selama perjalanan ke Tokyo.
Pukul 09.00, kami bertemu Mbak Fani. Tampaknya Mbak Fani masih agak lelah sehabis perjalanan ke Okinawa. "Maaf ya, Mbak. Saya jadi nggak enak, nih," kata saya merasa bersalah,
"Udah nggak papa. Yuk," kata Mbak Fani.
Kami melangkah ke gerbang otomatis, lalu memasukkan tiket di mesin. Tiket itu kemudian muncul lagi di ujung lain mesin.
"Tiketnya jangan sampai ditinggal ya. Itu untuk keluar di stasiun nanti," pesan Mas Dion.
Pukul 09.10, kereta meninggalkan Tsukuba. Saya mengamati kereta yang sekilas mirip KRL Jakarta ini. Dari kaca jendela, saya bisa menyaksikan pemandangan kota selama perjalanan. Saya merasa kagum, sekaligus iri dengan tata kota di Jepang. Bangunan-bangunan yang ada tertata dengan baik. Tidak ada kawasan kumuh, meskipun itu di pinggiran rel kereta. Sangat kontras dengan beberapa titik di kota-kota besar Indonesia, yang mana daerah pinggiran rel kereta terkesan kumuh dan semrawut.
Sekitar pukul 10 kami tiba di stasiun Akihabara.
"Oiya, saya baru ingat," seru saya sambil berjalan. Mas Dion dan Mbak Fani menatap saya. "Kira-kira kita bisa singgah ke teater AKB48 nggak?" tanya saya kikuk.
Mbak Fani menanggapi dengan enteng. "Bisa, tenang aja."
Saat kami keluar stasiun, mata saya langsung bertubrukan dengan gedung-gedung tinggi nan berkilau. Saya menatap sekeliling saya. Alhamdulillah, saya menginjakkan kaki juga di ibukota Jepang.
Aaaa...Akihabara!!! |
Gedung-gedung tinggi dihiasi aneka gambar-gambar khas anime. Alunan musik anime pun mengalun di pendengaran saya. Saya mengikuti langkah senior saya ini, hingga akhirnya mata saya menangkap deretan huruf yang membuat bola mata saya mendadak melebar. AKB48 Cafe and Shop.
Saya memekik tertahan. "Aaahh.. teater AKB48!!!" (padahal udah jelas tulisannya Cafe and Shop, hahaha).
Alunan lagu 'Kimi No Koto Ga Suki Dakara' menyambut kedatangan saya. Beberapa poster member idol grup nomor satu Jepang itu terpampang di depan bangunan. Saya hanya mengambil gambar sejenak di situ. Mau masuk ke sana, biayanya cukup mahal, dan saya tidak menganggarkan kunjungan ke sana.
Narsis di depan Gundam Cafe |
Petualangan kami pun dimulai. Kami sibuk keluar masuk toko, blusukan mencari cenderamata murah bagi saya, serta produk-produk elektronik terbaru bagi Mas Dion dan Mbak Fani. Akihabara memang terkenal sebagai pusat penjualan barang elektronik di Tokyo, selain menjual souvenir tentunya. Yang diperlukan di sini adalah kejelian membandingkan harga antara toko satu dan lainnya, kalau tidak ingin terjebak harga yang mencekik.
Deretan toko di kawasan Akihabara |
Di perjalanan inilah saya akhirnya menemukan teater AKB48 yang sesungguhnya. Sama seperti tadi, saya hanya mengabadikan gambarnya sekaligus memikirkan rencana untuk berkunjung ke sana. Ya, AKB48 Theatre adalah salah satu tempat yang ingin saya kunjungi saat di Jepang, dan itu saya tuliskan saat seleksi internship dulu. Bagi saya, ini sudah memenuhi 50% target. Sisanya akan saya selesaikan di kesempatan berikutnya (semoga kesampaian, aamiin).
Kami lalu beralih ke sudut lain Akihabara, mengunjungi toko souvenir yang dikelola orang Indonesia. Niatnya kami juga sekalian ingin makan bakso.
Teater AKB48 |
Pemilik toko menyambut kami dengan ramah. Sayangnya, bakso yang kami incar tidak ada hari ini. "Kebetulan yang bikin lagi nggak datang, peringatan 120 hari meninggal keluarganya," kata si Bapak.
Saya pun berjibaku dengan sejumlah oleh-oleh yang ada di toko ini. Sejumlah rencana saya rubah mendadak karena ada beberapa hal yang di luar ekspektasi saya. Sementara itu, Bapak pemilik toko terlibat pembicaraan seru dengan Mas Dion dan Mbak Fani, terutama seputar bencana.
"Tim penanggulangan bencana Indonesia itu hebat lho. Kemaren, Gunung Kelud meletus, korban jiwa nol. Di Jepang, gunung meletus (saya lupa nama gunungnya), korban jiwa banyak, padalah level letusannya bisa dibilang sama. Ternyata setelah ditelusuri, kebanyakan pimpinannya lulusan sini," kata si Bapak (saya tidak sempat tanya nama beliau) saat mengetahui Mbak Fani sedang studi Penanggulangan Bencana.
Beliau kemudian bercerita tentang gempa dan Tsunami di Jepang, pengalaman hidup selama tinggal di Tokyo, dan banyak lagi. "Intinya dek, kalo pengen dapat kesempatan belajar di Jepang, mau belajar bahasanya, punya teman Jepang, sama berani praktek," pesan si Bapak kepada saya sebelum kami pamit.
Karena tidak mendapat bakso, Mbak Fani dan Mas Dion mengubah beberapa rencana. Kami lalu meninggalkan Akihabara menuju Odaiba via kereta ke stasiun Shimbasi, lalu berganti jalur ke Yurikamone Line (jalur kereta tanpa masinis). Dalam perjalanan itu, saya bisa menyaksikan sendiri sosok Tokyo Tower yang berdiri kokoh di antara megahnya gedung-gedung pencakar langit kota Tokyo.
"Kok kayak menara sinyal ya?" ujar saya polos.
Mbak Fani dan Mas Dion tertawa. "Ya emang menara sinyal itu," kata Mbak Fani. Saya hanya menggumam lalu terkekeh.
Kami tiba sekitar tiga puluh menit kemudian. Keramaian menyeruak tatkala kami menginjakkan kaki di stasiun. Tak lama berjalan dari stasiun, mata saya dimanjakan hamparan pemandangan menakjubkan di kawasan Odaiba.
Odaiba adalah pulau buatan yang dibuat pemerintah Jepang dari urukan sampah dan tanah. Sampah??? Ya, sampah! Tapi jangan salah, pulau buatan ini kini menjadi salah satu destinasi wisata andalah di Tokyo, dan dijuluki sebagai pulai paling romantis dan termodern di Jepang. Odaiba secara administratif terletak di distrik Minoto-ku, tak jauh dari pelabuhan Tokyo.
Menurut sejarahnya, kawasan ini dibangun pada rezim Edo (150 tahun silam) sebagai basis pertahanan dari serangan musuh. Namun, seiring perkembangan zaman, Odaiba berkembang menjadi kota pelabuhan dan kawasan komersil. Gedung-gedung perkantoran, hotel, pusat perbelanjaan, dibangun di pulau ini.
Pemandangan yang sangat menarik bagi saya adalah replika patung Liberty dan Golden Gate yang ada di kawasan ini. Jembatan yang mirip dengan jembatan di San Fransisco ini diberi nama Rainbow Bridge. Sesuai namanya, jembatan ini akan memancarkan atraksi iluminasi di malam hari. Istimewanya, di atas jembatan penghubung Odaiba dan Tokyo ini dibangun jalan tol, jalur kereta api, jalan biasa, hingga trotoar bagi pejalan kaki! Karena fungsinya yang beragam inilah, Rainbow Bridge dijadikan landmark Odaiba.
Berhubung kami berkunjung saat perayaan Valentine (orang Jepang sangat antusias merayakan hari Valentine), mayoritas pengunjung yang saya temui hari ini berjalan berpasangan sambil bergandengan tangan.
Tujuan pertama kami hari ini adalah Surabaya. Eits, ini bukan nama kota di Jawa Timur, melainkan nama sebuah restoran Indonesia di Aqua City, salah satu mall di Odaiba. Memasuki restoran, alunan musik tradisional Indonesia mengalun di pendengaran saya. Namun jangan salah, mayoritas pengunjung justru datang dari masyarakat lokal.
Saya dan Mbak Fani menunaikan shalat Dzuhur setelah memesan menu. Saya memesan gulai ayam untuk makan siang. Senangnya berada di sini, suasana Indonesia sangat terasa. Staf yang bekerja semuanya orang Indonesia, jadi kami bisa dengan leluasa berbicara ngalor ngidul dengan pelayannya.
Mencicipi dari suapan pertama, saya langsung terbayang aneka makanan Indonesia yang jarang saya nikmati saat ini. Entah karena panas atau memang pedas, keringat saya bercucuran saat menikmati gulai ini.
"Musim-musim gini masih bisa keringatan aja kamu," komentar Mbak Fani. Saya menanggapinya dengan enteng.
"Berarti makanannya enak ya?" tanya Mas Dion. Saya hanya mengangguk sekenanya. Masakan di sini memang enak!
Puas menikmati kuliner, kami lalu berpindah ke lokasi selanjutnya, masih di kawasan Odaiba.
"Ntar kamu sebelum pulang sempatin ke UniQlo ya," pesan Mbak Fani.
Saya mengerutkan kening. "UniQlo itu apa Mbak?"
Tawa Mbak Fani dan Mas Dion meledak seketika. "Ya ampun Fahmi, kamu anak lab banget deh kayaknya. Pokoknya sebelum pulang, paling nggak kamu harus taulah UniQlo, Wonderex, Lala Garden. Sayang banget kalo nggak tau," kata Mbak Fani. Saya hanya menganggukkan kepala sembari mengingat nama-nama antah berantah itu.
Kami tiba di tujuan selanjutnya. Saya ternganga sambil mendongak ke atas. Sosok robot yang heboh di kalangan anak-anak itu berdiri kokoh menjulang di hadapan saya. Gee... it's GUNDAM!
Robot animasi Jepang itu tampak sedang menggerak-gerakkan kepalanya, menoleh, menunduk, dan mendongak. Di sekitarnya, ratusan manusia berkerumun untuk sekedar berfoto. Kendati bukan penggemar Gundam, bisa melihat sosok asli robot ini rasanya benar-benar menakjubkan. Entah bagaimana robot raksasa ini dirawat agar tidak karatan, mengingat lokasinya yang hanya beratapkan langit. Siang itu, dari salah satu sudut mall juga ada pertunjukan idol grup. Sepertinya grup baru yang sedang promosi.
Puas menikmati kerennya Gundam, kami kembali masuk ke mall, menuju lantai tiga. "Pokoknya kita bakal bikin kamu jadi gaul selama di Jepang," tekad Mbak Fani. Saya hanya tertawa mendengar gurauan itu.
Kami pun sibuk menggeledah jaket, kemeja, dan T-shirt, padahal saya tidak tau apakah akan membeli atau tidak. "Lihat-lihat dulu aja, siapa tau ada yang disuka," kata Mas Dion.
Puas melihat-lihat, kami pun keluar dengan tentengan satu jaket diskonan yang saya pilih setelah melalui pertimbangan panjang.
Saya terpaku sejenak menatap gedung berdesain futuristik di belakang Aqua City. Gedung itu adalah gedung Fuji TV, stasiun tv ternama di Jepang. Beda dengan stasiun tv di Indonesia, gedung ini bisa diakses oleh siapa saja pada beberapa area gedungnya. Tentu saja ada peluang bertemu pembawa berita atau pengisi acara terkenal Jepang. Sayangnya, saya tidak sempat berkunjung ke sana.
Kami menghabiskan waktu di pinggiran teluk sambil menunggu datangnya sunset. Dari kejauhan, tampak Tokyo Tower berdiri megah di salah satu sisi Tokyo, sementara di sisi lainnya ada Tokyo Skytree, menara tinggi yang juga menjadi landmark Tokyo.
Malam harinya, kami menunggu atraksi iluminasi di Rainbow Bridge. Namun, karena terlalu lama, kami memutuskan untuk melanjutkan ke tujuan berikutnya: Asakusa.
Asakusa merupakan kawasan cagar budaya di Tokyo, seperti halnya Kota Tua di Jakarta. Di tempat ini berdiri Kuil Sensoji, kuil Budha peninggalan abad ke-7. Di sekitar kuil banyak berdiri pusat perbelanjaan dan kios-kios yang menjual souvenir khas Jepang, salah satunya kawasan Namikase. Di Asakusa inilah kita bisa menyaksikan kemegahan Tokyo Skytree. Menara ini merupakan menara siaran, observasi, dan rumah makan dengan ketinggian 634 meter dan dinobatkan sebagai menara tertinggi di dunia. Sebagian besar stasiun tv di Jepang, termasuk NHK, menggunakan menara ini sebagai menara transmisi.
Sayangnya, kami tiba saat kios-kios tersebut telah tutup. Kami lalu berjalan ke arah kuil Sensoji. Lampion raksasa menyambut kami saat memasuki kuil. Cukup banyak orang yang berkunjung, kebanyakan sedang berdoa atau mencari peruntungan.
Niatnya sih kami ke Asakusa untuk makan ramen. Namun, karena toko-toko sudah tutup, kami pun berburu ramen ke kawasan Shinjuku via kereta dari stasiun Asakusa-Kanda-Shinjuku.
Shinjuku merupakan salah satu kawasan penting di Jepang. Shinjuku terkenal sebagai pusat komersial dan bisnis nomor wahid di Tokyo. Banyak gedung pencakar langit, pusat perbelanjaan dan hiburan, serta berbagai restoran di tempat ini. Stasiun Shinjuku sendiri merupakan stasiun kereta api tersibuk di dunia, melayani lebih dari dua juta penumpang tiap harinya.
"Kalo ke sini siang-siang, kamu bakalan liat semut manusia di sini," kata Mas Dion.
Dari stasiun, kami pun berjalan mencari lokasi restoran ramen dengan bantuan Google Map. Setelah sempat salah jalan, Mbak Fani dan Mas Dion mengajak saya ke sebuah bangunan bertingkat yang tidak terlalu besar.
Antrian telah menyambut kami saat memasuki bangunan itu. Tak jauh dari pintu masuk, saya telah dihadapkan pada tangga sempit dan antrian pengunjung. Rasa lelah dan penat memenuhi benak saya. Saya melirik ke pergelangan tangan. Sudah hampir pukul 21.00.
"Udah jauh-jauh ke sini, sayang loh kalo nggak makan," kata Mas Dion memanas-manasi.
Yah, saya pun menunggu dengan sabar. Setiap anak tangga saya naiki dengan penuh syukur, hingga akhirnya kami bisa duduk di salah satu meja di dalam restoran, atau mungkin lebih tepat disebut 'warung' karena ukurannya yang tidak besar.
Tak lama menunggu, pesanan kami datang. Semangkuk besar ramen dengan asap mengepul benar-benar menggoda iman dan perut. Kami pun segera menyantapnya tanpa ba-bi-bu lagi.
"Kira-kira, kamu kasih nilai berapa buat ramen tadi?" tanya Mas Dion saat kami keluar dari bangunan.
"Yaaah... 8 boleh lah," jawab saya.
Kami lalu kembali ke stasiun Akihabara untuk kembali ke Tsukuba. Rencana pulang dengan kereta kami ganti menggunakan bus karena kalau memaksa pulang menggunakan kereta, Mbak Fani dan Mas Dion tidak akan mendapat bus untuk pulang saat kami tiba di Tsukuba Center nantinya.
Setelah menunggu sekitar 15 menit di stasiun, bus tujuan Tsukuba tiba di halte. Saya memilih duduk di dekat jendela, menyandarkan punggung yang telah bekerja keras dalam perjalanan hari ini. Tak lama kemudian, bus berlalu meninggalkan kemilau Tokyo yang telah menggaet hati jutaan manusia untuk menyambanginya setiap waktu.
Saya terbangun saat bus memasuki kawasan Sengen, dan turun di Tsukuba Center. "Makasih ya buat jalan-jalannya hari ini. Sampai ketemu lagi," kata saya pada Mas Dion dan Mbak Fani sebelum turun bus. Dari Senta (nama gaul Tsukuba Center), saya mengambil sepeda di parkiran dan mengayuhnya menuju Ninomiya House.
Saya merebahkan diri di sofa begitu tiba di apartemen. Jam telah menunjukkan pukul 12.20 saat saya pulang. Lelah, pasti. Ngantuk, jelas. Kendati demikian, ini pengalaman yang sangat spektakuler. Meskipun sangat singkat, namun saya merasa sangat gembira telah menginjakkan kaki di salah satu kota metropolis dunia. Merasakan bagaimana denyut kehidupan berdetak di kota ini, menikmati keramaian yang belum pernah saya temui di Tsukuba, dan menyaksikan sendiri bagaimana pesona Tokyo telah menarik hati jutaan wisatawan dunia untuk menyaksikan sendiri kemolekan gedung-gedung pencakar langit serta kekhasan budaya yang tetap terjaga dengan baik.
Tokyo kiranya dapat menjadi contoh yang baik untuk pengembangan pariwisata di Indonesia. Bukan karena bangunan-bangunannya atau modernitas kota ini yang tak perlu diragukan lagi, melainkan bagaimana totalitas pemerintah dalam membangun dan mengelola potensi wisata yang ada menjadi daya tarik yang sangat fantastis bagi wisatawan. Pemerintah Jepang bergerak cepat, cekatan, berani, dan tidak setengah-setengah dalam menangani pariwisatanya. Mungkin nilai investasi untuk mengembangkan Tokyo sangatlah besar nilainya, namun itu sebanding dengan apa yang telah dinikmati saat ini.
Bagaimana dengan Indonesia? Well, silahkan Dreamers semua menjawab sendiri. Yang jelas, kita punya banyak potensi wisata yang akan sangat dahsyat jika dikembangkan dan dikelola dengan baik. Mari bergerak untuk pariwisata Indonesia!
NB: special thanks buat Mas Dion dan Mbak Fani atas waktu dan foto-fotonya. Have a nice trip again!
Referensi:
http://www.sayangi.com/gayahidup1/travel/read/5018/odaiba-pulau-sampah-yang-menjelma-jadi-pulau-romantis
http://wisataseru.com/2011/08/romantisnya-berlibur-ke-pulau-sampah-odaiba-jepang/
http://wisataseru.com/2011/08/kuliner-di-tokyo-jepang-seri-30-jam-di-tokyo/
http://www.pipitwidya.com/2015/01/bertemu-gundam-di-odaiba.html
http://asgar.or.id/info-jepang/mengenal-shinjuku-kawasan-bisnis-terbesar-di-jepang/
http://trackers-trackers.blogspot.jp/2011/07/shinjuku-busiest-ward-in-tokyo.html
http://www.tempo.co/read/news/2012/05/22/118405384/Tokyo-Skytree-Menara-Tertinggi-di-Dunia
http://tethapevylia.blogspot.jp/2014/04/pengalaman-tak-terlupakan-ada-di.html
http://www.indoplaces.com/mod.php?mod=indonesia&op=view_region®id=825
http://travel.detik.com/read/2014/10/06/091757/2710359/1520/jalan-jalan-asyik-dan-belanja-di-tokyo-asakusa-tempatnya
Kami tiba sekitar tiga puluh menit kemudian. Keramaian menyeruak tatkala kami menginjakkan kaki di stasiun. Tak lama berjalan dari stasiun, mata saya dimanjakan hamparan pemandangan menakjubkan di kawasan Odaiba.
Odaiba adalah pulau buatan yang dibuat pemerintah Jepang dari urukan sampah dan tanah. Sampah??? Ya, sampah! Tapi jangan salah, pulau buatan ini kini menjadi salah satu destinasi wisata andalah di Tokyo, dan dijuluki sebagai pulai paling romantis dan termodern di Jepang. Odaiba secara administratif terletak di distrik Minoto-ku, tak jauh dari pelabuhan Tokyo.
Menurut sejarahnya, kawasan ini dibangun pada rezim Edo (150 tahun silam) sebagai basis pertahanan dari serangan musuh. Namun, seiring perkembangan zaman, Odaiba berkembang menjadi kota pelabuhan dan kawasan komersil. Gedung-gedung perkantoran, hotel, pusat perbelanjaan, dibangun di pulau ini.
Pemandangan yang sangat menarik bagi saya adalah replika patung Liberty dan Golden Gate yang ada di kawasan ini. Jembatan yang mirip dengan jembatan di San Fransisco ini diberi nama Rainbow Bridge. Sesuai namanya, jembatan ini akan memancarkan atraksi iluminasi di malam hari. Istimewanya, di atas jembatan penghubung Odaiba dan Tokyo ini dibangun jalan tol, jalur kereta api, jalan biasa, hingga trotoar bagi pejalan kaki! Karena fungsinya yang beragam inilah, Rainbow Bridge dijadikan landmark Odaiba.
Liberty KW ala Odaiba |
Raibow Bridge |
Raibow Bridge di malam hari (nyomot dari Mbah Google) |
Tujuan pertama kami hari ini adalah Surabaya. Eits, ini bukan nama kota di Jawa Timur, melainkan nama sebuah restoran Indonesia di Aqua City, salah satu mall di Odaiba. Memasuki restoran, alunan musik tradisional Indonesia mengalun di pendengaran saya. Namun jangan salah, mayoritas pengunjung justru datang dari masyarakat lokal.
Saya dan Mbak Fani menunaikan shalat Dzuhur setelah memesan menu. Saya memesan gulai ayam untuk makan siang. Senangnya berada di sini, suasana Indonesia sangat terasa. Staf yang bekerja semuanya orang Indonesia, jadi kami bisa dengan leluasa berbicara ngalor ngidul dengan pelayannya.
Mencicipi dari suapan pertama, saya langsung terbayang aneka makanan Indonesia yang jarang saya nikmati saat ini. Entah karena panas atau memang pedas, keringat saya bercucuran saat menikmati gulai ini.
Gulai ayam ala Surabaya |
Foto di Surabaya |
"Berarti makanannya enak ya?" tanya Mas Dion. Saya hanya mengangguk sekenanya. Masakan di sini memang enak!
Puas menikmati kuliner, kami lalu berpindah ke lokasi selanjutnya, masih di kawasan Odaiba.
"Ntar kamu sebelum pulang sempatin ke UniQlo ya," pesan Mbak Fani.
Saya mengerutkan kening. "UniQlo itu apa Mbak?"
Tawa Mbak Fani dan Mas Dion meledak seketika. "Ya ampun Fahmi, kamu anak lab banget deh kayaknya. Pokoknya sebelum pulang, paling nggak kamu harus taulah UniQlo, Wonderex, Lala Garden. Sayang banget kalo nggak tau," kata Mbak Fani. Saya hanya menganggukkan kepala sembari mengingat nama-nama antah berantah itu.
Kami tiba di tujuan selanjutnya. Saya ternganga sambil mendongak ke atas. Sosok robot yang heboh di kalangan anak-anak itu berdiri kokoh menjulang di hadapan saya. Gee... it's GUNDAM!
Gundaaaamm!!!! |
Gundam di malam hari |
Kami pun sibuk menggeledah jaket, kemeja, dan T-shirt, padahal saya tidak tau apakah akan membeli atau tidak. "Lihat-lihat dulu aja, siapa tau ada yang disuka," kata Mas Dion.
Puas melihat-lihat, kami pun keluar dengan tentengan satu jaket diskonan yang saya pilih setelah melalui pertimbangan panjang.
Saya terpaku sejenak menatap gedung berdesain futuristik di belakang Aqua City. Gedung itu adalah gedung Fuji TV, stasiun tv ternama di Jepang. Beda dengan stasiun tv di Indonesia, gedung ini bisa diakses oleh siapa saja pada beberapa area gedungnya. Tentu saja ada peluang bertemu pembawa berita atau pengisi acara terkenal Jepang. Sayangnya, saya tidak sempat berkunjung ke sana.
Gedung Fuji TV |
Sunset di Odaiba |
Jadi model dadakan hahaha |
Asakusa merupakan kawasan cagar budaya di Tokyo, seperti halnya Kota Tua di Jakarta. Di tempat ini berdiri Kuil Sensoji, kuil Budha peninggalan abad ke-7. Di sekitar kuil banyak berdiri pusat perbelanjaan dan kios-kios yang menjual souvenir khas Jepang, salah satunya kawasan Namikase. Di Asakusa inilah kita bisa menyaksikan kemegahan Tokyo Skytree. Menara ini merupakan menara siaran, observasi, dan rumah makan dengan ketinggian 634 meter dan dinobatkan sebagai menara tertinggi di dunia. Sebagian besar stasiun tv di Jepang, termasuk NHK, menggunakan menara ini sebagai menara transmisi.
Tokyo Skytree |
Sayangnya, kami tiba saat kios-kios tersebut telah tutup. Kami lalu berjalan ke arah kuil Sensoji. Lampion raksasa menyambut kami saat memasuki kuil. Cukup banyak orang yang berkunjung, kebanyakan sedang berdoa atau mencari peruntungan.
Lampion raksasa kuil Sensoji |
Kuil Sensoji |
Shinjuku merupakan salah satu kawasan penting di Jepang. Shinjuku terkenal sebagai pusat komersial dan bisnis nomor wahid di Tokyo. Banyak gedung pencakar langit, pusat perbelanjaan dan hiburan, serta berbagai restoran di tempat ini. Stasiun Shinjuku sendiri merupakan stasiun kereta api tersibuk di dunia, melayani lebih dari dua juta penumpang tiap harinya.
Kawasan Shinjuku (yang foto ini nyomot di Mbah Google) |
Dari stasiun, kami pun berjalan mencari lokasi restoran ramen dengan bantuan Google Map. Setelah sempat salah jalan, Mbak Fani dan Mas Dion mengajak saya ke sebuah bangunan bertingkat yang tidak terlalu besar.
Antrian telah menyambut kami saat memasuki bangunan itu. Tak jauh dari pintu masuk, saya telah dihadapkan pada tangga sempit dan antrian pengunjung. Rasa lelah dan penat memenuhi benak saya. Saya melirik ke pergelangan tangan. Sudah hampir pukul 21.00.
"Udah jauh-jauh ke sini, sayang loh kalo nggak makan," kata Mas Dion memanas-manasi.
Yah, saya pun menunggu dengan sabar. Setiap anak tangga saya naiki dengan penuh syukur, hingga akhirnya kami bisa duduk di salah satu meja di dalam restoran, atau mungkin lebih tepat disebut 'warung' karena ukurannya yang tidak besar.
Tak lama menunggu, pesanan kami datang. Semangkuk besar ramen dengan asap mengepul benar-benar menggoda iman dan perut. Kami pun segera menyantapnya tanpa ba-bi-bu lagi.
Warung ramen |
Ramen ayam ekstra pedas (kata empunya sih) |
"Yaaah... 8 boleh lah," jawab saya.
Kami lalu kembali ke stasiun Akihabara untuk kembali ke Tsukuba. Rencana pulang dengan kereta kami ganti menggunakan bus karena kalau memaksa pulang menggunakan kereta, Mbak Fani dan Mas Dion tidak akan mendapat bus untuk pulang saat kami tiba di Tsukuba Center nantinya.
Setelah menunggu sekitar 15 menit di stasiun, bus tujuan Tsukuba tiba di halte. Saya memilih duduk di dekat jendela, menyandarkan punggung yang telah bekerja keras dalam perjalanan hari ini. Tak lama kemudian, bus berlalu meninggalkan kemilau Tokyo yang telah menggaet hati jutaan manusia untuk menyambanginya setiap waktu.
Saya terbangun saat bus memasuki kawasan Sengen, dan turun di Tsukuba Center. "Makasih ya buat jalan-jalannya hari ini. Sampai ketemu lagi," kata saya pada Mas Dion dan Mbak Fani sebelum turun bus. Dari Senta (nama gaul Tsukuba Center), saya mengambil sepeda di parkiran dan mengayuhnya menuju Ninomiya House.
Saya merebahkan diri di sofa begitu tiba di apartemen. Jam telah menunjukkan pukul 12.20 saat saya pulang. Lelah, pasti. Ngantuk, jelas. Kendati demikian, ini pengalaman yang sangat spektakuler. Meskipun sangat singkat, namun saya merasa sangat gembira telah menginjakkan kaki di salah satu kota metropolis dunia. Merasakan bagaimana denyut kehidupan berdetak di kota ini, menikmati keramaian yang belum pernah saya temui di Tsukuba, dan menyaksikan sendiri bagaimana pesona Tokyo telah menarik hati jutaan wisatawan dunia untuk menyaksikan sendiri kemolekan gedung-gedung pencakar langit serta kekhasan budaya yang tetap terjaga dengan baik.
Tokyo kiranya dapat menjadi contoh yang baik untuk pengembangan pariwisata di Indonesia. Bukan karena bangunan-bangunannya atau modernitas kota ini yang tak perlu diragukan lagi, melainkan bagaimana totalitas pemerintah dalam membangun dan mengelola potensi wisata yang ada menjadi daya tarik yang sangat fantastis bagi wisatawan. Pemerintah Jepang bergerak cepat, cekatan, berani, dan tidak setengah-setengah dalam menangani pariwisatanya. Mungkin nilai investasi untuk mengembangkan Tokyo sangatlah besar nilainya, namun itu sebanding dengan apa yang telah dinikmati saat ini.
Bagaimana dengan Indonesia? Well, silahkan Dreamers semua menjawab sendiri. Yang jelas, kita punya banyak potensi wisata yang akan sangat dahsyat jika dikembangkan dan dikelola dengan baik. Mari bergerak untuk pariwisata Indonesia!
NB: special thanks buat Mas Dion dan Mbak Fani atas waktu dan foto-fotonya. Have a nice trip again!
Referensi:
http://www.sayangi.com/gayahidup1/travel/read/5018/odaiba-pulau-sampah-yang-menjelma-jadi-pulau-romantis
http://wisataseru.com/2011/08/romantisnya-berlibur-ke-pulau-sampah-odaiba-jepang/
http://wisataseru.com/2011/08/kuliner-di-tokyo-jepang-seri-30-jam-di-tokyo/
http://www.pipitwidya.com/2015/01/bertemu-gundam-di-odaiba.html
http://asgar.or.id/info-jepang/mengenal-shinjuku-kawasan-bisnis-terbesar-di-jepang/
http://trackers-trackers.blogspot.jp/2011/07/shinjuku-busiest-ward-in-tokyo.html
http://www.tempo.co/read/news/2012/05/22/118405384/Tokyo-Skytree-Menara-Tertinggi-di-Dunia
http://tethapevylia.blogspot.jp/2014/04/pengalaman-tak-terlupakan-ada-di.html
http://www.indoplaces.com/mod.php?mod=indonesia&op=view_region®id=825
http://travel.detik.com/read/2014/10/06/091757/2710359/1520/jalan-jalan-asyik-dan-belanja-di-tokyo-asakusa-tempatnya
Aaaa kak fahmi, aku rindu semua itu. Pengen balik lagi jadinya, aku gak sempat ke akiba TvT
BalasHapusSukses terus ya kak fahmi, di tunggu kabar baiknya sampe sumbawa ee :D Jaa ne~
Hahahaah...aku emang sengaja manas2in kamu Rai, hohoho
HapusAamiin, makasih ya doanya. Sukses buat kamu juga.
Oiya, btw SNMPTN udah buka tuh. Udah nentuin pilihan??? ;)
Oke, ntar nyampe Sumbawa kita cerita2 lagi :)
Huwaaa, jahat TvT btw makasih kak.. Saya jadi makin semangat! :D hehehe
HapusUdah kak, insyaallah sastra jepang UGM kak :)
Okee kak, ditunggu bunga sakuranya hihi
hahaha *ketawa bahagia
Hapussiip, semangat dh pokoknya (y)
Mudah2an dapat SNMPTN-nya, aamiin. Waaah, saya nggak dapat Sakura nih kayaknya T_T
Heee, hidoi-na TvT
HapusAmin, pasti semangat dan mudah2an lolos SNMPTN-nya, biar bisa cepet balik ke Jepang hihi
Loh, bukannya bulan 3 dan musim semi yah?
Siip (y)
HapusHarusnya sih, tapi baru awal2, puncaknya mah April di sini
Rainbow bridge nya ngingetin Banpo bridge banget :')
BalasHapussukses terus ya mi :D
Masa Kak? Eh iya sih warna warni juga ya? tapi nggak ada pancuran air di pinggir jembatannya kayak Banpo Bridge hehehe :)
HapusAamiin, makasih Kak. Sukses juga ya. Hooh, saya lagi nyari cara ke Korea nih, hehehe. Mudah2an tahun ini bisa, aamiin
iyaa sama warna warni nya :D
Hapusamiinn dek..
eh saya pernah baca loh dek, kalo pemegang visa jepang bisa free visa korea, mampir aja mi pulangnya.. hhehehe.. amiin mudah2an saya juga bisa ke jepang :D
Iya Kak, kalo ug pegang visa pelajar bebas visa ke Korea sama Taiwan. Aaaa, saya nggak sempat Kak, lain kali kayaknya, hehehe. Siip, semangat Kak :)
Hapus