Link

Jumat, 13 Februari 2015

Liqo' Pengusir Galau

Dear Dreamers

Saya terpekur menatap layar laptop. Rasanya enggan melihat deretan angka dalam tabel dan grafik yang sedang saya buat. Eksperimen pekan ini tidak berjalan seperti biasanya.

"Fahmi, how was your experiment?" tanya Dr. Yamazaki kemarin.

Saya pun menunjukkan data yang saya dapat di lab. "As you can see, the result is too low. I'm not sure it is the correct result. Bahkan CpG sebagai kontrol positifnya saja hasilnya sangat rendah," ujar saya sambil menunjuk beberapa angka.

"Ah, okay," komentar Dr. Yamazaki.

"Ada kemungkinan ini dipengaruhi kondisi sel. Sebenarnya kemarin saya tidak begitu yakin dengan jumlah sel yang saya gunakan untuk eksperimen. Setelah saya hitung, sebenarnya jumlahnya mencukupi, namun ada kemungkinan karena jumlahnya hanya sedikit lebih banyak dari yang dibutuhkan, jumlah itu berkurang selama proses pencucian sehingga menyebabkan ekspresi plasmid tidak begitu optimal," ujar saya berargumen. "If it possible, I would like to repeat my experiment," lanjut saya.

"Sure. Kapan kamu akan ulang?"

"Kalau bisa, hari Senin lebih baik."

"Okay, silahkan diulang. Tapi kamu tetap perlu merangkum hasil eksperimen hari ini," kata Dr. Yamazaki.

Jadilah hari ini saya menyelesaikan laporan untuk eksperimen pekan ini. Rasanya nyesek juga harus mengulang lagi. Tapi, memang seperti inilah eksperimen. Lab is not a place to hope a successful is always by our side. Laboratorium bukan tempat untuk mengharapkan keberhasilan selalu berpihak kepada kita. Namun demikian, lab juga bukan tempat untuk berhenti dan menyerah. Inilah esensi dari eksperimen. Mengajarkan kita untuk bangkit dari kegagalan untuk mengejar keberhasilan-keberhasilan selanjutnya.

Sebuah komentar masuk ke akun Facebook saya. Dari grup FKMIT, ada undangan untuk Kupat (Kajian Islam Untuk Putra) di Masjid Tsukuba.

"Ayo mas Dwilaksono Fahmi ikut, Kang Acta Withamana nganter makanan ke Takezono. Kali aja bisa ikut..he3. Bisa kan Kang Acta?" Begitu isi komentar dari Pak Aru.

Tanpa menyia-nyiakan kesempatan, saya pun menghubungi Pak Acta via pesan FB. Kebetulan saya baru selesai mengerjakan laporan, jadi bisa melenggang meninggalkan kantor.

"Oke, ntar saya jemput," tulis Pak Acta begitu saya menulis nama apartemen.

Saya pun mampir ke kamar Bu Ira sebelum berangkat, menerima titipan hard disk. Pak Acta sudah menunggu saya saat tiba di depan Ninomiya House.

Ini adalah kali pertama saya mengikuti Kupat. Bukan karena saya tidak mau atau karena tidak punya waktu, namun karena letak Masjid yang sangat jauh dari Ninomiya, sehingga paling tidak saya perlu tumpangan mobil untuk bisa ke sana.

"Fahmi di sini sampai kapan?" tanya Pak Acta sambil menyetir.

"Sampai 31 Maret Pak, sekitar 3 bulan," jawab saya.

"Wah, sebentar ya. Sekarang udah bulan kedua berarti," komentar Pak Acta.

"Yaaah, gitu deh Pak. Nggak terasa udah mau dua bulan aja," jawab saya lalu tertawa kecil. "Pak Acta udah berapa lama di Tsukuba?" tanya saya lagi.

"Saya baru setahun sih di sini. Tapi dulu pernah exchange di Tsukuba 10 bulan, jadi kira-kira udah hampir dua tahun lah."

"Pas datang ke sini, langsung bawa keluarga?"

"Justru ketemu istri di sini. Jadi, habis S-2, pulang ke Bogor, lamaran, trus lanjut PhD di sini. Yah, bisa dibilang membina rumah tangga malah di sini," kata Pak Acta. Dari percakapan kami selama perjalanan, saya jadi tau kalau Pak Acta ini lulusan IPB, dan sedang melanjutkan studi dengan konsentrasi Intellegent System di Jepang.

Tilawah Al-Qur'an telah dimulai saat kami tiba di masjid. Hembusan angin malam yang cukup kuat membuat tubuh saya menggigil. Namun, dinginnya malam Tsukuba tak menyurutkan langkah para jamaah untuk berkumpul, mengais tebaran rahmat dari Maha Pemilik Kehidupan.

Kupat adalah kegiatan rutin yang dilaksanakan FKMIT. Saya bersyukur, Jumat ini saya diberi kesempatan untuk bergabung. Mengikuti majelis ini seketika mengingatkan saya pada Liqo' di kampus. Saat-saat duduk melingkar melantunkan ayat suci Al-Qur'an, dilanjutkan tausyiah dan diskusi keagamaan, serta tak lupa aneka cemilan menyelingi jalannya majelis. Liqo' bisa dibilang sarana bagi saya untuk memulihkan diri dari aktivitas duniawi untuk kembali mengingat tujuan hidup saya yang sesungguhnya. Banyak nilai-nilai kehidupan dalam keindahan Islam yang saya dapatkan selama mengikuti Liqo'.

Susasana Kupat


Usai semua anggota bertilawah, Pak Akmal menyampaikan tausyiah beliau tentang kandungan surat Al-A'raf. Di antara penjelasan beliau, satu hal yang menarik adalah bahwa dalam hidupnya, manusia senantiasa dikelilingi syaitan dari segala arah: kiri, kanan, depan, belakang. "Dari depan, syaitan mendatangkan keragu-raguan dalam diri manusia. Dari belakang, syaitan menarik manusia kepada hal-hal yang bersifat duniawi. Dari kanan, syaitan menghalangi kita dari kebaikan. Dari kiri, syaitan mengajak kita untuk berbuat kemaksiatan," jelas Pak Akmal. "Namun, syaitan tidak bisa menghalangi manusia dari atas, karena itu merupakan arah datangnya rahmat. Sedangkan dari bawah, manusia akan ditelan bumi," begitu kira-kira penjelasan berikutnya.

Diskusi pun terus berlanjut. Pada hakikatnya, manusia telah dikaruniai dua hal dalam hidupnya, kebaikan dan keburukan. Selanjutnya adalah pilihan manakah yang akan ditempuh manusia. Karena itulah, setiap muslim perlu meningkatkan kualitas dirinya, dalam ibadah, perbuatan, dan keseharian.

Tausyiah pun ditutup, namun diskusi terus berlanjut. Hidangan makan malam meramaikan diskusi keagamaan yang kami lakoni. Dalam setiap suapan nasi yang masuk ke mulut, saya menyimak berbagai informasi terkini seputar Islam dan Indonesia, yang jujur saja saya ketinggalan berita selama berada di sini. Tentang ISIS, konflik Syiah dan Suni di Timur Tengah, Israel dan segala tindak tanduknya, hingga masalah pemerintahan Indonesia saat ini. Usai makan malam, kami melanjutkan dengan shalat Isya berjamaah, shalat Isya yang untuk kali pertama tidak saya kerjakan seorang diri.

Alhamdulillah, saya merasa bersyukur mendapat kesempatan mengikuti Kupat malam ini. Masalah di lab yang terus terpikirkan seharian ini tidak lagi membuat hati saya resah. Saya kembali teringat khotbah Jumat siang tadi, bahwa sebagai Muslim bukan kuantitas yang harus kita utamakan, namun kualitas kita yang harus selalu kita tingkatkan. Mungkin ini salah satu jalan bagi saya untuk bisa meningkatkan kualitas diri saya agar lebih sabar dan lebih tekun lagi dalam beribadah.

Usai Kupat, saya mampir ke apartemen Pak Acta di Ichinoya dulu untuk mentransfer file Bu Ira. Ichinoya adalah salah satu kawasan asrama mahasiswa yang disediakan University of Tsukuba.

Angin kencang berhembus di antara deretan gedung apartemen bertingkat di kawasan Ichinoya. Malam yang sangat lengang. Hanya tampak deretan mobil, sepeda, serta rerumputan kuning yang masih tegar menapak tanah, menanti waktunya untuk menghijau kembali.

"Silahkan masuk," kata Pak Acta membukakan saya pintu apartemen. Saya lalu memasuki apartemen untuk keluarga ini. Saya duduk di sudut sofa, menunggu Pak Acta melakukan transfer file.

"Memorinya Bu Ira kenapa Pak?" tanya saya sambil meneliti deretan buku di lemari, lalu mengunyah  jeruk pemberian Pak Acta.

"Filenya corrupt, memorinya minta diformat terus," jawab Pak Acta.

"Oh iya Pak, dari sini berapa lama ke kampus?" tanya saya.

"Sekitar dua jam."

"Eh?" saya mengerutkan dahi. Masa iya dari Ichinoya ke kampus jaraknya dua jam.

"Saya kuliahnya di Tokyo, istri saya yang di sini," jelas Pak Acta menangkap kebingungan saya.

"Jadi... tiap hari pulang pergi ke Tokyo, Pak? Berangkat jam berapa?" tanya saya masih terkejut.

"Yaaa... biasanya jam 7 udah berangkat. Tapi kalo lagi malas ya paling jam 10 berangkatnya, hahaha," kata Pak Acta lalu tertawa.

Ternyata beliau kuliah di Tokyo University of Marine and Technology, bukan di University of Tsukuba. Saya bisa membayangkan besarnya perjuangan yang harus dilalui Pak Acta. Pulang pergi Tsukuba-Tokyo bukan hal yang mudah, kendati Tsukuba sebenarnya tidak terlalu jauh dengan Tokyo. Namun menempuh studi dengan jarak yang jauh, ditambah membina keluarga bukanlah hal yang ringan.

Tak lama kemudian, transfer file selesai. Saya ditawari makanan lagi, tampilannya seperti sate telur puyuh. "Itu mochi, ambil aja yang mana yang disuka. Kemarin saya dikasih banyak," tawar Pak Acta.

Saya mengambil satu tusuk. Tekstur lembut mochi dipadu manisnya lumuran adonan kedelai berkolaborasi dengan baik di lidah saya.

"Di sini sehari-hari masak, Mi?" tanya Pak Acta.

Saya mengangguk pelan. "Yah, gitu deh Pak. Walaupun nggak terlalu bisa masak sih sebenarnya," ujar saya terkekeh. "Oh iya, Pak Acta kalo misalnya ada libur gitu, sempat pulang ke Indonesia nggak?"

"Tergantung dana sih sebenarnya. Kalo misalnya pas musim panas, kemarin bertepatan dengan puasa, jadi bisa pulang. Tapi nggak tau tahun ini. Kalo nggak pulang, ya udah puasa di sini. Cuma ya mudah-mudahan tahun ini ada dananya lah, jadi bisa pulang," kata Pak Acta.

Pak Acta lalu mengantar saya pulang, sekaligus menjemput Bu Sachnaz, istri beliau, di rumah Teh Puti di Takezono. Banyak hal yang saya perbincangkan dengan Pak Acta, terutama teknologi di Jepang. "Dulu pas baru datang sempat kagok gitu, Pak. Apa-apa serba pake sensor, jadi sempat bingung juga," ujar saya lalu tertawa.

"Terlalu canggih ya? Hahaha, dulu pas saya pertama datang juga gitu. Dijadiin pengalaman aja," kata Pak Acta.

Beliau juga banyak bertanya pada saya seputar pulau-pulau di sekitar Nusa Tenggara, seperti Gili, dan Pulau Komodo. "Mumpung kamu masih muda, banyakin jalan-jalan, Mi. Kalo udah umur 28, bakal susah ke mana-mana lagi, udah banyak yang diurusin," pesan Pak Acta.

Kami pun tiba di Ninomiya. "Makasih banyak, ya, Pak. Assalamu'alaikum," ujar saya lalu turun dari mobil. Saya mengambil tas dan makanan pemberian bapak-bapak FKMIT saat Kupat tadi.

Alhamdulillah, semoga ini menjadi berkah untuk semuanya. Untuk kegiatan saya di sini, untuk bapak-bapak, ibu-ibu, mas-mas, mbak-mbak yang sedang menempuh studi ataupun sedang bekerja di Jepang, semoga semua mendapat berkah atas segala kerja kerasnya, aamiin.

1 komentar: