Dear Dreamers!
Napoleon Bonaparte, pemimpin Perancis abad 19 (source: google.com) |
Rintik hujan menyambut saya saat tiba di apartemen. Usai shalat dan beres-beres sejenak, saya turun ke excercise room di lantai 1. Ruangan ini bisa dibilang ruang umum favorit saya selain Salon. Saya bisa menjajal cukup banyak jenis alat-alat olahraga, seperti fasilitas gym pada umumnya.
Lampu excercise room telah menyala. Seorang pria bule tampak sedang berlari di treadmill.
"Hi," sapanya pendek saat melihat saya.
"Oh, hi," saya balas menyapanya dengan agak canggung.
Saya mengambil tali skipping di atas rak tv dan mulai melompat-lompat. Tiga menit melompat tali, saya rehat sejenak mengambil napas. Pria tadi tampak terduduk di matras dekat treadmill. Ia tampak menengadah ke arah saya beberapa kali sambil terengah-engah.
Merasa risih diperhatikan seperti itu, saya membuka percakapan. "Have you been here for long time (udah lama di sini)?" tanya saya.
"Mmm... I've been here from 6.10," jawabnya sambil melihat jam di tembok belakang saya.
Saya ikut menoleh. "Ah, you've been here for 30 minutes (kamu udah di sini 30 menit). Great," kata saya agak terkejut. "Saya hanya bertahan 15 sampai 20 menit di sini. Yaah, paling sepedaan atau skipping," kata saya lalu tertawa kecil.
"Where do you come from (kamu dari mana)?" tanya pria tadi pada saya.
"I come from Indonesia (saya dari Indonesia)."
"Berapa lama di sini?"
"Hanya sekitar tiga bulan."
"Ikut program apa?"
"Well, saya dapat internship program dari NIMS. Saya tiba di sini bulan januari lalu, jadi akan tinggal di sini sampai 31 Maret. By the way, where do you come from?"
"I'm from France."
"France?" tanya saya terkejut. "Negara yang romantis," komentar saya sambil tersenyum.
"Ah, banyak orang bilang seperti itu. Paris memang kota yang romantis, kata banyak orang, sih," ujarnya enteng.
Perancis (source: google.com) |
Niat saya melanjutkan skipping buyar seketika karena asyik mengobrol dengan pria ini. Ini percakapan pertama yang saya lalui selama nge-gym di excercise room. Biasanya juga hanya bilang 'hi' dan 'see you' lalu saya dan pengguna lainnya akan sibuk dengan aktivitas masing-masing.
"Saya dapat internship di AIST selama 6 bulan. Awal bulan ini saya tiba di Jepang. Saya akan tinggal di sini sampai Juli," katanya. "Saya sekarang studi Bachelor tahun keempat, masih satu setengah tahun lagi untuk lulus," tambahnya.
Oh, pantas mukanya asing. Tapi, sebenarnya sebagian besar penghuni Ninomiya juga asing bagi saya. Yaaah, kehidupan di lingkungan apartemen sangat berbeda dengan kehidupan di gang-gang perumahan. Bahkan tetangga sebelah kamar pun saya tidak tahu siapa (kecuali Mr. Arun di 3406), lihat wajahnya juga tidak pernah.
"Waaah, how lucky you are (beruntung banget kamu)! Kamu bisa ketemu musim semi di bulan April dan melihat Sakura. Saya sepertinya nggak kebagian," ucap saya sedikit kecewa. "Oh iya, di sini kamu ngambil kelas bahasa Jepang nggak?"
"Bulan April saya baru masuk kelas. Periode di sini mulainya bulan Oktober dan April. Karena saya datang setelah Oktober, jadi saya menunggu kelas bulan April," katanya.
"Bagaimana kerjaan di kantor? Di timmu ada orang asing juga, kan?"
"Sayangnya tidak ada. Di tim saya hanya saya yang orang asing, dan mereka jarang berbicara dengan bahasa Inggris. Untungnya komunikasi dengan supervisor saya tidak ada masalah."
Saya mengangguk pelan. "I know what you feel. Saya juga kira-kira seperti itu sih. Dulu saat SMA, saya pernah belajar bahasa Jepang, tapi yaaah, saya masih kesulitan juga mempraktekkannya di sini, karena tidak semua topik saya kuasai. Tapi cukup membantu," kata saya tersenyum. "Oh iya, sudah ada rencana mau jalan-jalan ke mana?"
"Mungkin ke Tokyo. Saya juga ingin ke Kyoto. Pacar saya sedang pertukaran pelajar di sana," ujarnya pelan.
"Really?! Woow," saya terkejut mendengarnya. "Paling tidak kalian bisa kencan sesekali dong," canda saya. Ia hanya tersenyum kecil.
"Tapi biaya ke Kyoto mahal, jadi mungkin tidak bisa terlalu sering."
Saya mengangguk setuju. "Yah, begitulah. Jadi mulai sekarang kamu harus menabung yang banyak," kata saya lalu tertawa.
Kami berdiskusi banyak hal, misalnya soal makanan. Ia mengaku cukup terkejut dengan budaya makan di Jepang yang langsung makan ke menu utama, berbeda dengan Eropa yang selalu diawali makanan pembuka, makanan utama, dan makanan penutup.
"Di sini saya juga kesulitan membuat masakan Perancis, bahannya sulit dicari," ujarnya pelan.
Saya tersenyum. "Yaaah, dinikmati saja. Saya bersyukur tidak sulit beradaptasi dengan makanan. Rasanya akan sangat sulit untuk ke mana-mana jika kita pilih-pilih makanan," kata saya diangguki pria itu.
Ia lalu membahas pengalamannya travelling ke sejumlah negara, seperti Spanyol, Italia, Inggris, Belanda, Austria, Meksiko, dan banyak lagi. "Tapi kami tidak selalu ke sana. Satu waktu kami akan ke Australia, lain waktu mungkin kami akan ke Thailand," katanya. "Kami mencari kehangatan, matahari," ujarnya lagi.
"Matahari?" saya menatapnya lalu tertawa geli. "Kalau begitu kamu harus mempertimbangkan ke Indonesia. Di negara kami, matahari bersinar sepanjang tahun."
Saya lalu banyak menjelaskan keindahan Indonesia pada teman baru saya ini. "Di Indonesia ada banyak gunung untuk para pendaki, pemandangan laut yang sangat beragam, pantai-pantai yang eksotis, titik surfing ada di mana-mana, dan kami punya beragam budaya. Salah satu tempat paling terkenal di Indonesia adalah Bali," jelas saya panjang lebar.
"Ah, Bali! Pacar saya pernah ke sana. Itu tempat yang sangat indah katanya," ujarnya antusias.
"Oh ya? Hmm, itu artinya kamu harus ke Indonesia," kata saya tersenyum lebar.
"Ya, saya akan rencanakan ke Bali," katanya lagi.
Tak terasa waktu telah menunjukkan pukul 19.45. "Ah, saya harus kembali. Saya ada janji skype dengan pacar saya. Kalau tidak dia bisa marah," katanya lalu beres-beres.
"Ah, saya juga harus kembali," kata saya lalu mengambil kunci kamar di atas rak tv. "Oh iya, kita belum kenalan. Fahmi," kata saya lalu tersenyum.
"Apa?"
"Fahmi," ulang saya.
"Oh, itu nama yang sulit," katanya lesu.
"You?"
"Nee~rooo~," hanya itu yang tertangkap telinga saya.
"Rrrr...namamu juga sulit," kata saya lalu tertawa.
Ia lalu menunjukkan kunci kamarnya. "Saya tinggal di sini," katanya. Saya pun menunjukkan nomor kamar saya.
"Oke, see you," kata saya lalu kami berpisah. Saya pun mencari nama pria tadi di kotak surat penghuni Ninomiya. Neantro Saavedra Rivano. Itulah nama yang tertera di nomor kamarnya.
Ah, baiklah. Saya punya satu teman baru lagi. Bonjour Monsieur Neantro!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar