Link

Minggu, 22 Februari 2015

Hina Matsuri: Miskomunikasi Hati dan Cuaca

Dear Dreamers!


Pagi yang dingin membuat tubuh saya menggeliat lemah di bawah selimut. Masih dengan mata menyipit, saya menyibak selimut, mengenakan sandal, lalu berjalan pelan ke kamar mandi. Usai shalat subuh, saya membereskan beberapa barang yang tercecer di ruang duduk.

Deru mesin cuci memenuhi apartemen di pagi hari. Potongan-potongan kecil sayur dan daging tengah mengepul di atas penggorengan. Aroma bawang menguar di udara.

Saya menikmati sarapan pagi sambil menikmati alunan musik dari ponsel, menatap mendung yang telah menggantung murung di langit kota Tsukuba sejak pagi.

Telepon di meja kamar berdering.

"Fahmi, barangnya udah siap," kata Bu Ira dari seberang.

"Oke Bu, saya turun sekarang," kata saya lalu menutup telepon.

Pagi ini saya membantu Bu Ira mengangkat barang-barang beliau ke apartemen Pak Cepi. Sabtu depan, masa tugas Bu Ira di Jepang berakhir. Saat ini beliau masih disibukkan dengan laporan akhir di kantor dan mengepak barang-barang yang akan dibawa pulang ke Indonesia.


Tumpukan kardus berwarna biru menyambut saya saat menghampiri kamar Bu Ira di lantai dua. Menggunakan troli, kami membawa kardus-kardus itu sedikit demi sedikit ke apartemen Pak Cepi, sekitar 100 meter dari Ninomiya.

"Sekarang masih nyiapin laporan buat di kantor sama copy buku-buku, jadi mungkin masih ada tambahan kardus lagi. Habis ini juga saya masih ke kantor," kata Bu Ira sambil mendorong troli.

Pak Cepi menyambut kami saat tiba di depan apartemen. Saya membantu mengangkat beberapa kardus ke kamar beliau di lantai dua. Kardus-kardus itu nantinya oleh Pak Cepi akan dikirim ke jasa kargo untuk dikirim ke Indonesia. Ongkos kirimnya tentu lebih murah, jadi bisa mengirim banyak barang.

"Makasih ya Fahmi bantuannya," kata Bu Ira saat saya hendak kembali ke kamar.

"Iya Bu. Makasih juga buat minumannya," kata saya tersenyum, lalu menaiki tangga ke lantai tiga.

Saya menyesap kopi hangat traktiran Bu Ira sambil bersiap untuk perjalanan hari ini.

Langit mendung disertai hembusan angin menyertai perjalanan saya ke Senta. Tampaknya ada miskomunikasi antara cuaca hari ini dengan suasana hati saya. Harusnya hari ini matahari bersinar cerah.

Saya bertemu Bu Atie beberapa saat setelah tiba di Senta. Beliau mengajak saya ke mobil yang terparkir di dekat perempatan. Pak Deni menyapa saya dari belakang kemudi. Arfi tampak seru dengan game di tangan mungilnya. Mobil pun melaju meninggalkan Senta.

Hari ini, Bu Atie sekeluarga mengajak saya ke acara Hina Matsuri, sebuah festival boneka khas Jepang untuk menyambut musim semi. "Jadi ada satu desa khusus di dekat Tsukuba-san, yang ngadain Hina Matsuri. Pas bulan-bulan segini mereka kayak nunjukin koleksi boneka-boneka gitu. Katanya sih untuk menyambut musim tanam, atau menyambut kesejahteraan," jelas Bu Atie.

Lahan-lahan pertanian kering dan deretan rumah tradisional menemani perjalanan kami. Mendekati tujuan, pemandangan kokoh Tsukuba-san menghampar di sisi kanan jalan. Sayangnya, cuaca yang berkabut menghalangi puncak gunung.

"Biasanya Ninomiya ada lho kayak kegiatan trip gitu. Jadi mereka buka pendaftaran buat penghuni Ninomiya untuk trip ke Tsukuba-san. Ntar perginya barengan pake bus atau mobil," kata Bu Atie.

Saya menganggukkan kepala sambil bergumam pelan. "Mungkin sekarang belum ada event-nya Bu," kata saya.

"Kalo naik ke sana ada cable car-nya Mi, jadi nggak perlu khawatir. Tapi biasanya orang Jepang jalan kaki ke sana. Mereka jalannya cepat banget lah, sepuluh menit nyampe," tambah Pak Deni.

Saya berseru terkejut. "Sepuluh menit, Pak? Cepet banget!"

Pak Deni tertawa kecil. "Itu dia. Kalo orang asing mah sekitaran setengah jam, tergantung kekuatan kaki juga. Saya dulu pas naik kan lagi sakit kaki, jadi saya naik cable car, nunggu lima belas menit. Pas saya nyampe mereka udah di puncak."

Setelah menempuh perjalanan sekitar satu jam, kami tiba di Makabe, desa tempat Hina Matsuri diadakan. Mobil kami sejenak berkeliling mencari tempat parkir. Tak lama kemudian kami pun mulai menyusuri gang-gang yang ada di desa ini. Keramaian menyeruak di sudut-sudut desa. Berbagai macam boneka khas Jepang tertata apik di etalase-etalase tiap rumah. Selain memamerkan boneka, ada juga kios-kios yang menjual oleh-oleh, makanan khas Jepang, kue-kue kecil, sayuran, dan lain sebagainya.

Pemandangan di salah satu gang Makabe
Deretan boneka-boneka khas Hina Matsuri








Puas berkeliling, kami menikmati santap siang di warung tradisional yang menjajakan udon, soba, oden, dan makanan lainnya.

Oden dan Udon
Selfie bareng Bu Atie dan Pak Deni
Perut terisi, kami melanjutkan jalan-jalan lagi ke beberapa gang yang belum tereksplor. Kami melewati sebuah bangunan tua dengan patung katak di depannya.

"Jadi dulu, lambangnya Tsukuba itu dari kodok, Mi. Di puncak Tsukuba-san ada batu yang bentuknya mirip kodok. kalo kita lempar batu kecil ke situ, katanya sih permintaannya akan terkabul," kata Pak Deni.

"Tapi sekarang lambangnya udah diganti dengan burung hantu. Katanya sih burung hantu itu lambang ilmu pengetahuan," tambah Bu Atie.

Saya mengangguk. Mungkin karena saat ini Tsukuba sedang dikembangkan menjadi kota pusat studi dan pengembangan riset, jadi segala hal berbau ilmu pengetahuan akan dibuat identik dengan kota ini.

"Mungkin dulu kota Tsukuba diharapkan jadi kota impian kali ya," celetuk saya lalu tertawa.

Sambil mencari jalan ke tempat parkir, saya bercerita sedikit tentang pengalaman saya saat ke Tokyo kepada Bu Atie.

"Ya, memang kalo dibadingin sama Tokyo, Tsukuba sepi lah ya. Tapi, saya suka tinggal di sini soalnya lingkungannya bagus untuk perkembangan anak, nggak yang ruwet dan rame. Kalo di Tokyo itu rasanya penat deh. Kayaknya kita dipaksa untuk ikut ritmenya mereka yang cepat," komentar Bu Atie. Saya mengangguk setuju.

Sekitar pukul 13.00 kami meninggalkan Makabe. Kabut tebal masih menyelimuti puncak Tsukuba-san. Hmm, mudah-mudahan saya ada kesempatan ke sana sebelum pulang.

Kami berpisah di Tsukuba Center. "Makasih banyak Bu, Pak, buat hari ini. Sampai ketemu lagi," kata saya lalu pamit.

Perjalanan hari ini sangat berkesan bagi saya. Satu hal yang saya catat adalah, pemerintah Jepang mampu mengangkat budayanya untuk mengembangkan pariwisata sebagai potensi ekonomi kreatif masyarakat. Jika dilihat-lihat, Hina Matsuri sebenarnya cukup sederhana, dengan mengandalkan pesona boneka-boneka tradisional cantik yang memiliki nilai historis dan budaya yang kental di tengah masyarakat. Namun oleh pemerintah, potensi ini disulap secara apik menjadi sebuah desa wisata yang menyajikan beragam hal-hal menarik dan memiliki nilai budaya yang kental, seperti toko oleh-oleh khas Jepang, warung tradisional, aneka jajanan khas, pertunjukan musik tradisional, museum, dan sebagainya. 


Museum di daerah Makabe


Saya rasa pola ini bisa ditiru di Indonesia, khususnya Sumbawa. Kita memiliki sejumlah desa wisata yang bisa dikembangkan, misalnya desa Penyaring sebagai sentra produksi produk berbasis perternakan, desa Poto yang menjadi pusat kerajinan tenun khas Sumbawa, dan desa Talwa yang menjadi 'markas' para pandai besi. Sepak terjang dan sentuhan para pelaku wisata akan memainkan peran sentral untuk memoles potensi yang sudah ada ini menjadi tujuan wisata eksotis yang akan menarik lebih banyak kunjungan wisatawan. Kebudayaan tradisional terjaga, pemasukan daerah bertambah, masyarakat akan lebih sejahtera.

Semoga ke depannya pariwisata lokal Sumbawa bisa lebih berkembang dan 'go international', aamiin.

Foto di pemakaman kuno

Tidak ada komentar:

Posting Komentar