Link

Selasa, 03 Februari 2015

Pesta Awal Bulan dan Hadiah Perpisahan

Dear Dreamers!

Pagi ini, saya dihadiahi shimobashira oleh rerumputan kering di sekitaran NIMS. Kristal es berbentuk jarum itu tampak bergerombol di permukaan tanah.

"Nah, Fahmi-san, coba injak shimobashira itu, dan dengarkan suaranya," kata Yuko-san.

Saya pun menginjakkan kaki saya di atas shimobashira. Bunyi 'kreek' terdengar renyah di telinga saya, seperti suara kunyahan es. Saya hanya tertawa sambil menginjak beberapa shimobashira di sekitar kami.

Shimobashira
Hari ini, saya hanya melakukan coating untuk eksperimen ELISA besok. Namun, berbeda dengan sebelumnya, saya akan melakukan coating untuk tiga eksperimen ELISA sekaligus! Walaaah, semoga saya tidak kebingungan besok.


Saya akan melakukan ELISA untuk IFN-alpha, IFN-gamma, dan IL-6. ELISA untuk IFN-alpha rupanya berbeda dengan dua eksperimen lainnya, sehingga Kohara-san mengajarkan saya cara menyiapkan material untuk ELISA IFN-alpha.

Siang ini, saya membuat janji makan siang dengan Mbak Novi. Beliau melambaikan tangan saat saya, Kohara-san, dan Yuko-san memasuki kafetaria. Kami berempat duduk di meja pojok dekat jendela kaca.

"Hari ini, kita ada pesta kecil. Anggap saja merayakan satu bulan saya di Tsukuba," kata saya sambil mengeluarkan kotak bekal dan snack kecil untuk pesta kami.

Alhamdulillah, akhirnya untuk pertama kalinya selama makan siang di kafetaria, saya bisa ketemu dengan orang Indonesia! Aaaa.... senangnya. Akhirnya percakapan berbahasa Indonesia bisa eksis juga di tempat ini, hohoho.

"Mbak Novi udah berapa lama di sini?" tanya saya.

"Udah tiga tahun sih," jawab beliau sambil menyendok makanan.

"Wah, udah lama ya. Udah jadi karyawan di sini, Mbak?"

"Ah, nggak kok. Aku ada kontrak juga di sini, Maret tahun ini balik ke Indonesia."

"Wah, samaan dong, Mbak. Saya balik tanggal 31. Kayaknya tahun ini banyak yang pulang ya," kata saya.

"Masa sih?" tanya Mbak Novi.

"Iya. Bu Ira balik tanggal 28 bulan ini, trus Pak Amel nyusul April, Pak Cepi tengah tahun kali, ya. Trus mahasiswa di Tsukuba juga lumayan banyak yang balik tahun ini."

Banyak hal yang saya bicarakan dengan Mbak Novi, seputar pekerjaan di NIMS, perjalanan ke Jepang, tentang keluarga, Indonesia, makanan, dan daerah kami masing-masing.

"Ya ampun, jadi Kupang itu bukan di dekatnya Bali, ya? Aku kira Kupang itu ibukotanya NTB, lha trus aku mikir, Mataram ibukotanya apa dong? Pantesan temenku yang dari Kupang, pas aku minta ke Jakarta, dia bilang jauh. Wah, kayaknya habis ini harus buka peta lagi, deh," kata Mbak Novi.

Saya hanya tertawa kecil. "Tenang aja, Mbak. Maklum, pelajaran Geografi udah lama lewat. Saya sendiri juga belum pernah ke arah timur, sih. Biasanya orang Sumbawa kebanyakan ya ke arah barat, ya Lombok, Jawa," ujar saya lagi.

Kami juga turut membicarakan kasus kecelakaan pesawat yang masih booming di Indonesia. "Saya sempat agak parno, sih, Mbak, pas baru-baru kejadian. Soalnya saya pulangnya pakai maskapai itu. Apalagi pas berangkat kemarin sempat turbulensi juga. Haduuh, nggak tenang sepanjang perjalanan, hahaha," kata saya menghibur diri.

"Iya, waktu kejadian itu aku juga di Indonesia, pas liburan. Wah, jadi khawatir juga sih. Sampe kemarin pas turbulensi jadi ikutan panik, padahal biasanya ya biasa aja," kata Mbak Novi.

Di tengah perbincangan, Kohara-san berujar, "Aaah, saya senang sekali mendengar bahasa Indonesia. Indonesia-go wa yasashi ne (bahasa Indonesia itu halus sekali). Walaupun tidak paham tapi saya suka mendengarnya."

Saya dan Mbak Novi tertawa kecil. "Really?" ujar Mbak Novi.

"Ya, kalian punya intonasi suara yang menarik," komentar Kohara-san.

"Ah, tapi tiap daerah beda-beda, sih. Tiap daerah memiliki aksennya masing-masing, dan biasanya masing-masing daerah memiliki bahasa daerahnya," jelas Mbak Novi.

Saya membenarkan. "Di Indonesia, saya biasanya berkomunikasi paling tidak dua bahasa. Pertama, dalam situasi formal kami biasanya menggunakan bahasa Indonesia. Kalau situasi informal, misalnya saat di rumah bersama keluarga, atau dengan teman-teman, kami menggunakan bahasa daerah kami."

"Aaah, sugoi," gumam Kohara-san dan Yuko-san.

Saya dan Mbak Novi menjelaskan sedikit tentang Indonesia pada Kohara-san dan Yuko-san.

Di akhir makan siang, kami menikmati lemon tea dan makanan kecil yang saya dan Kohara-san bawa.

"Terima kasih untuk hari ini," ujar saya di akhir makan siang. Kami lalu membereskan peralatan makan dan meninggalkan kafetaria.

"Sampai ketemu lagi, Mbak," ujar saya lalu memasuki lift.

Sore ini, kegiatan saya hanya passaging cells. Namun, ada satu hal yang ingin saya lakukan.

"Sumimasen, Li-san. Apakah Anda melihat Chen-san?" tanya saya saat berpapasan dengan Li-san.

"Ah, Chen-san? Mmm...sekarang dia sedang keluar. Tapi, kalau nanti saya ketemu, saya akan bilang kalau kamu mencarinya. Kamu akan menunggu di lab atau kantor?" tanya Li-san.

"Saya akan tunggu di lab saja. Terima kasih," ujar saya.

Beberapa saat saya hanya terpekur di depan komputer lab. Tak lama berselang, Mr. Chen muncul di lab.

"Ah, Fahmi-san. Sudah lama menunggu?" tanya beliau saat masuk ke lab.

"Ah, tidak. Saya baru selesai eksperimen," kata saya lalu tersenyum.

"Okay. Ada yang bisa saya bantu?" tanya Mr. Chen.

"Mmm... well, saya dengar Anda akan pulang ke Taiwan lusa ya?" tanya saya.

"Ya, saya akan meninggalkan Jepang dua hari lagi."

Saya menggumam sesaat. "Before you leave, I just want to give you something," ujar saya lalu mengambil sesuatu dari saku celana.

"This is a gift for you. Jadi, ini madu hutan dari Sumbawa, daerah saya. Sumbawa is one of the best and the biggest honey producers in Sumbawa," kata saya lalu menyerahkan beberapa sachet madu yang saya bawa dari Batudulang.

"Oh, really?" Mr. Chen menerimanya dengan terkejut.

"Yup. Madu ini sangat spesial. And I think you're also special for people here. Jadi, ini madu spesial untuk orang yang spesial," ujar saya lalu tersenyum.

"Oh, I'm so touched," kata Mr. Chen lalu tersenyum. "Doumo arigatou gozaimasu," kata beliau sambil membungkuk.

"Saya harus banyak belajar dari Anda. Orang-orang di sini sangat luar biasa. Saya merasa sangat beruntung bisa berada di sini," kata saya.

"Berapa lama kamu akan tinggal di Jepang?" tanya Mr. Chen.

"Hanya sampai tanggal 31 Maret, sekitar tiga bulan," jawab saya singkat.

"Ah, sebentar sekali. Saya riset di sini selama satu tahun, dan rasanya singkat sekali."

"Yah, tidak terasa dua hari lagi Anda akan mengucapkan selamat tinggal," ujar saya lalu tersenyum.

"Begitulah. Waktu akan terus berlalu. Sekali kamu melangkah, kamu telah meninggalkan posisimu satu langkah sebelumnya," ujar Mr. Chen berfilosofi.

"Enjoy your life here. Kamu sangat luar biasa bisa sampai di sini di usia sangat muda. Saat saya seusia kamu, saya belum ke mana-mana. Jadi, belajarlah dengan rajin. Dan kembalilah ke Jepang," kata Mr. Chen memberi saya semangat. "Oh iya, kita masih bisa saling kontak. Ini kontak saya, semoga bisa membantu. Siapa tau nanti kamu ke Taiwan, saya akan dengan senang hati untuk dihubungi," kata Mr. Chen lalu menyodorkan saya kartu nama beliau.

"Ah, terima kasih banyak," ujar saya terharu.

"Nanti kalau kamu sudah jadi professor, beritahu saya. Saya akan datang ke Indonesia untuk memberi pidato," kata Mr. Chen antusias. Kami tertawa bersama.

"Riset Anda sudah beres?" tanya saya sambil memandangi peralatan lab di meja.

"Mmm...sebenarnya belum selesai semua, tapi apa yang saya kerjakan sudah cukup untuk studi saya. Paling tidak, ada satu cerita kecil yang bisa saya sampaikan dalam penelitian saya," kata Mr. Chen.

"Apa rencana Anda setelah menyelesaikan studi di Taiwan?" tanya saya penasaran.

"Mungkin saya akan mencari pekerjaan di perusahaan. Kalau tidak di Taiwan, Jepang, atau Singapura. Tapi saya cenderung memilih di Jepang, karena saya suka kultur di sini. Orang-orangnya suka menolong, jadi saya merasa nyaman bekerja di sini."

"Bagaimana dengan... menjadi akademisi di kampus?"

"Oh, itu sangat sulit. Kamu tau, di Taiwan ada banyak sekali pelajar, dan banyak sekali professor. Jadi, persaingannya sangat kompetitif."

Saya hanya mengangguk. "Hmm, saya rasa karena pendidikan di Taiwan dan juga Jepang sudah maju, jadi sebagian besar orang Taiwan dan Jepang lulusan perguruan tinggi, benar tidak?" Mr. Chen mengangguk setuju.

"Yaaa, agak berbeda dengan di Indonesia. Saat ini, pemerintah kami masih berjuang membangun sistem pendidikan yang lebih baik. Daerah asal saya merupakan daerah kecil dan berada di wilayah timur Indonesia. Jika dibandingkan dengan wilayah barat, wilayah timur masih kurang berkembang. Karena itu, saya ingin menjadi akademisi. Setelah sekolah di banyak tempat, saya akan kembali ke kampus saya dan mengajar di sana. Saya berharap, apa yang saya dapat di sini bisa menyemangati pelajar-pelajar di daerah saya, agar mereka juga bisa sekolah dengan baik."

"Saya rasa kamu punya peluang untuk mewujudkannya. Kamu punya modal yang baik untuk bersaing nantinya. Jadi, tetap belajar yang rajin. Saya yakin kamu pasti bisa meraih apa yang kamu harapkan," ucap Mr. Chen tulus.

"Oh iya, pesan saya, setiap kamu mengerjakan riset, jangan lupa membuatnya menjadi satu rangkian cerita, sehingga kamu bisa menyampaikannya dengan baik dan mempublikasi hasilnya. Menurut saya, alur cerita dalam riset itu penting. Mungkin sekarang masih berat, ya. Tapi, coba saja mulai dari sekarang. Tidak harus dipublikasi, yang penting ada jalan cerita yang terbentuk," ujar Mr. Chen sebelum kami berpisah.

"Baiklah, terima kasih atas saran Anda. Sampai ketemu besok," ujar saya lalu meninggalkan lab.

Saya menghembuskan napas perlahan. Wah, sebentar lagi saya akan kehilangan sosok senior yang baik dan humoris. Sukses untuk studi Anda, Mr. Chen!

A moment with Mr. Chen Minhua

Tidak ada komentar:

Posting Komentar