Melanjutkan kisah saya saat pembuatan paspor kemarin, ada sebuah kisah yang ingin saya bagikan ke Dreamers semua. Ini adalah kisah dari Prof. Rhenald Kasali, P.hD, guru besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Selamat membaca :)
---
PASSPORT by Rhenald Kasali
Setiap
saat mulai perkuliahan, saya selalu bertanya kepada mahasiswa berapa
orang yang sudah memiliki pasport. Tidak mengherankan, ternyata hanya
sekitar 5% yang mengangkat tangan. Ketika ditanya berapa yang sudah
pernah naik pesawat, jawabannya melonjak tajam. Hampir 90% mahasiswa
saya sudah pernah melihat awan dari atas. Ini berarti mayoritas
anak-anak kita hanyalah pelancong lokal.
Maka, berbeda dengan kebanyakan dosen yang memberi
tugas kertas berupa PR dan paper, di kelas-kelas yang saya asuh saya
memulainya dengan memberi tugas mengurus pasport. Setiap mahasiswa harus
memiliki "surat ijin memasuki dunia global.". Tanpa pasport manusia
akan kesepian, cupet, terkurung dalam kesempitan, menjadi pemimpin yang
steril. Dua minggu kemudian, mahasiswa sudah bisa berbangga karena punya
pasport.
Setelah itu mereka bertanya lagi, untuk apa pasport
ini? Saya katakan, pergilah keluar negeri yang tak berbahasa Melayu.
Tidak boleh ke Malaysia, Singapura, Timor Leste atau Brunei Darussalam.
Pergilah sejauh yang mampu dan bisa dijangkau.
"Uang untuk beli tiketnya bagaimana, pak?"
Saya
katakan saya tidak tahu. Dalam hidup ini, setahu saya hanya orang
bodohlah yang selalu memulai pertanyaan hidup, apalagi memulai misi
kehidupan dan tujuannya dari uang. Dan begitu seorang pemula bertanya
uangnya dari mana, maka ia akan terbelenggu oleh constraint. Dan hampir
pasti jawabannya hanyalah tidak ada uang, tidak bisa, dan tidak mungkin.
Pertanyaan seperti itu tak hanya ada di kepala
mahasiswa, melainkan juga para dosen steril yang kurang jalan-jalan.
Bagi mereka yang tak pernah melihat dunia, luar negeri terasa jauh,
mahal, mewah, menembus batas kewajaran dan buang-buang uang. Maka tak
heran banyak dosen yang takut sekolah ke luar negeri sehingga memilih
kuliah di almamaternya sendiri. Padahal dunia yang terbuka bisa
membukakan sejuta kesempatan untuk maju. Anda bisa mendapatkan sesuatu
yang yang terbayangkan, pengetahuan, teknologi, kedewasaan, dan wisdom.
Namun beruntunglah, pertanyaan seperti itu tak
pernah ada di kepala para pelancong, dan diantaranya adalah mahasiswa
yang dikenal sebagai kelompok backpackers. Mereka adalah pemburu tiket
dan penginapan super murah, menggendong ransel butut dan bersandal
jepit, yang kalau kehabisan uang bekerja di warung sebagai pencuci
piring. Perilaku melancong mereka sebenarnya tak ada bedanya dengan
remaja-remaja Minang, Banjar, atau Bugis, yang merantau ke Pulau Jawa
berbekal seadanya.Ini berarti tak banyak orang yang paham bahwa
bepergian keluar negeri sudah tak semenyeramkan, sejauh, bahkan semewah
di masa lalu.
Seorang mahasiswa asal daerah yang saya dorong pergi
jauh, sekarang malah rajin bepergian. Ia bergabung ke dalam kelompok
PKI (Pedagang Kaki Lima Internasional) yang tugasnya memetakan
pameran-pameran besar yang dikoordinasi pemerintah. Disana mereka
membuka lapak, mengambil resiko, menjajakan aneka barang kerajinan, dan
pulangnya mereka jalan-jalan, ikut kursus, dan membawa dolar. Saat
diwisuda, ia menghampiri saya dengan menunjukkan pasportnya yang tertera
stempel imigrasi dari 35 negara. Selain kaya teori, matanya tajam
mengendus peluang dan rasa percaya tinggi. Saat teman-temannya yang
lulus cum-laude masih mencari kerja, ia sudah menjadi eksekutif di
sebuah perusahaan besar di luar negeri.
The Next Convergence
Dalam
bukunya yang berjudul The Next Convergence, penerima hadiah Nobel
ekonomi Michael Spence mengatakan, dunia tengah memasuki Abad Ke tiga
dari Revolusi Industri. dan sejak tahun 1950, rata-rata pendapatan
penduduk dunia telah meningkat dua puluh kali lipat. Maka kendati
penduduk miskin masih banyak, adalah hal yang biasa kalau kita menemukan
perempuan miskin-lulusan SD dari sebuah dusun di Madura bolak-balik
Surabaya-Hongkong.
Tetapi kita juga biasa menemukan mahasiswa yang
hanya sibuk demo dan tak pernah keluar negeri sekalipun. Jangankan ke
luar negeri, tahu harga tiket pesawat saja tidak, apalagi memiliki
pasport.Maka bagi saya, penting bagi para pendidik untuk membawa
anak-anak didiknya melihat dunia. Berbekal lima ratus ribu rupiah,
anak-anak SD dari Pontianak dapat diajak menumpang bis melewati
perbatasan Entekong memasuki Kuching. Dalam jarak tempuh sembilan jam
mereka sudah mendapatkan pelajaran PPKN yang sangat penting, yaitu
pupusnya kebangsaan karena kita kurang urus daerah perbatasan.
Rumah-rumah kumuh, jalan berlubang, pedagang kecil yang tak diurus
Pemda, dan infrastruktur yang buruk ada di bagian sini. Sedangkan hal
sebaliknya ada di sisi seberang. Anak-anak yang melihat dunia akan
terbuka matanya dan memakai nuraninya saat memimpin bangsa di masa
depan. Di universitas Indonesia, setiap mahasiswa saya diwajibkan
memiliki pasport dan melihat minimal satu negara.
Dulu saya sendiri yang menjadi gembala sekaligus
guide nya. Kami menembus Chiangmay dan menyaksikan penduduk miskin di
Thailand dan Vietnam bertarung melawan arus globalisasi. Namun
belakangan saya berubah pikiran, kalau diantar oleh dosennya, kapan
memiliki keberanian dan inisiatif? Maka perjalanan penuh pertanyaan pun
mereka jalani. Saat anak-anak Indonesia ketakutan tak bisa berbahasa
Inggris, anak-anak Korea dan Jepang yang huruf tulisannya jauh lebih
rumit dan pronounciation-nya sulit dimengerti menjelajahi dunia tanpa
rasa takut.
Uniknya, anak-anak didik saya yang sudah punya
pasport itu 99% akhirnya dapat pergi keluar negeri. Sekali lagi, jangan
tanya darimana uangnya. Mereka memutar otak untuk mendapatkan tiket,
menabung, mencari losmen-losmen murah, menghubungi sponsor dan
mengedarkan kotak sumbangan. Tentu saja, kalau kurang sedikit ya
ditomboki dosennya sendiri.
Namun harap dimaklumi, anak-anak didik saya yang
wajahnya ndeso sekalipun kini dipasportnya tertera satu dua cap imigrasi
luar negeri. Apakah mereka anak-anak orang kaya yang orangtuanya mampu
membelikan mereka tiket? Tentu tidak. Di UI, sebagian mahasiswa kami
adalah anak PNS, bahkan tidak jarang mereka anak petani dan nelayan.
Tetapi mereka tak mau kalah dengan TKW yang meski tak sepandai mereka,
kini sudah pandai berbahasa asing.
Anak-anak yang ditugaskan ke luar negeri secara
mandiri ternyata memiliki daya inovasi dan inisiatif yang tumbuh. Rasa
percaya diri mereka bangkit. Sekembalinya dari luar negeri mereka
membawa segudang pengalaman, cerita, gambar dan foto yang ternyata
sangat membentuk visi mereka.
Saya pikir ada baiknya para guru mulai membiasakan
anak didiknya memiliki pasport. Pasport adalah tiket untuk melihat
dunia, dan berawal dari pasport pulalah seorang santri dari Jawa Timur
menjadi pengusaha di luar negeri. Di Italy saya bertemu Dewi Francesca,
perempuan asal Bali yang memiliki kafe yang indah di Rocca di Papa. Dan
karena pasport pulalah, Yohannes Surya mendapat bea siswa di Amerika
Serikat. Ayo, jangan kalah dengan Gayus Tambunan atau Nazaruddin yang
baru punya pasport dari uang negara.
Rhenald Kasali
Guru Besar Universitas Indonesia
Bagaimana, inspiratif bukan? Jadi, jalan-jalan ke luar negeri bukanlah sesuatu yang hanya berada di awang-awang. Asal kita punya kemauan dan yakin bisa mewujudkannya, pintu kedatangan berbagai negara di dunia siap menyambut kita. Selamat membuat paspor :)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar