Oke, sekarang mari kita berlanjut ke pembuatan visa. Seperti apa sih prosesnya? Yuk, ikuti kisah saya! :D
8
Desember 2014: Visa, Bajra Sandhi, Warung K-Pop, dan Pandawa
Saya
terbangun pukul 06.00, lalu bergegas shalat Subuh, mandi, kemudian sarapan.
Wahyu lalu mengantar saya ke kos Kadek, sekitar lima menit dari tempat kami.
Hari itu, saya yang membawa motor. Cihuy!
Sebenarnya,
saya sudah mencicipi berkendara di jalanan kota Denpasar sejak kemarin,
tepatnya dalam perjalanan dari Gramedia ke Galeria. Jalanan dari Jimbaran sudah
cukup padat pagi ini. Kemudian kami berbelok ke arah tol Bali Mandara menuju
Denpasar. Jalan tol ini sangat nyaman digunakan, dengan hamparan pemandangan
hutan mangrove di teluk Benoa. Saya pun sempat menanyakan masalah reklamasi
lahan yang cukup santer terdengar akhir-akhir ini. Beberapa kali saya juga
memperhatikan poster penolakan reklamasi teluk Benoa di jalanan Denpasar.
“Jadi,
kawasan teluk Benoa itu ada yang dijual ke pihak asing. Nah, mereka pengen
bikin bisnis di situ. Supaya bisa lancar, mereka pengen perluas daratan dengan
mereklamasi teluk Benoa. Kalau ditinjau dari sisi lingkungan, itu kan sama saja
merusak ekosistem di pesisir. Makanya masyarakat Bali banyak yang protes,” ujar
Kadek menjelaskan.
Pukul
09.30 kami tiba di depan Konjen Jepang Denpasar. Saya kemudian menghampiri
satpam, kemudian ditunjukkan jalan ke pintu masuk. Saya kemudian mengisi formulir
kedatangan di loket untuk menjelaskan tujuan kedatangan. Setelah itu, saya
menitipkan semua barang elektronik di loker, lalu masuk ke ruang tunggu.
Ruang
tunggu Konjen Jepang tidak terlalu luas, namun suasananya nyaman. Ada banyak
benda-benda pajangan yang memuat informasi tentang Jepang, seperti buku bahasa
Jepang, brosur Monbukagakusho (beasiswa studi di Jepang), dan banyak lagi. Hari
itu juga tidak terlalu ramai, hanya ada saya, seorang pria paruh baya berwajah
khas Jepang dengan seorang temannya yang berwajah lokal, serta satu keluarga
yang terdiri dari ayah, ibu, dan anak laki-laki remaja.
Tak
lama mengantri, saya pun dipanggil. Duh, sebenarnya saya agak tegang juga sih,
takut peristiwa di Kedubes AS dulu terulang.
Flashback:
saat mengurus visa Amerika dulu, saya hampir tidak lolos karena tidak bisa
menunjukkan surat yang menyatakan bahwa universitas akan menanggung biaya
perjalanan. Usut punya usut, sepertinya saya saat itu terlalu tegang, sehingga
memancing staf Kedutaan bertanya lebih banyak ke saya, hehehe.
Akhirnya,
saat mengajukan visa Jepang, sejak dari bertemu satpam di depan, saya sudah
memasang senyum terbaik saya dan berusaha bersikap se-kooperatif mungkin dengan
petugas. Saya kemudian menyerahkan dokumen saya dengan susunan versi saya (karena
sampai akhir saya tetap tidak bisa memastikan jenis visa saya). Saya sudah siap
kalau-kalau diminta menyusun ulang berkas saya.
Benar
saja, tak lama setelah itu, petugas memanggil saya. Kami berbicara melalui
telepon khusus. “Saudara Fahmi, tolong kolom yang ini diisi dengan nama kampus,
nomor telepon, alamat kampus, dan pekerjaan orangtua.”
Saya
lega karena dipanggil bukan untuk menyusun ulang berkas. Saya pun mengisi
bagian-bagian yang kosong tersebut. Setelah itu saya serahkan kembali ke
petugas. Sepuluh menit kemudian, saya dipanggil lagi. Petugas kemudian
menyerahkan selembar kertas putih kecil berisi tanggal pengambilan visa.
“Silahkan datang lagi tanggal 11 untuk mengambil visa sekaligus membayar
biayanya,” ucap petugas, seorang wanita berusia sekitar empat puluhan dengan
pakaian dan gaya rambut khas karyawan Jepang.
Saya
tak dapat menahan rasa gembira saya. “Bu, saya sepertinya tidak bisa mengambil
pada hari itu. Boleh saya wakilkan ke teman saya?” tanya saya.
Ibu
petugas mengangguk. “Boleh, nanti kertas ini dikasih saja ke temannya sekalian
membayar biaya visa,” jawab ibu petugas sambil tersenyum.
Saya
pun mengucapkan terima kasih sambil membungkukkan badan serta tersenyum senyum
sumringah kepada ibu petugas, kemudian membereskan tas saya, dan keluar dari
ruangan. Kemudian saya mengambil barang-barang saya di loker dan keluar dari
bangunan Konjen.
Alhamdulillah,
akhirnya satu tahapan persiapan sudah saya lewati.
Saya
kemudian berjalan-jalan ke sebuah taman di seberang Konjen. Taman ini sangat
besar, kemudian ada sebuah bangunan cantik di tengahnya, seperti candi Hindu. Saya
pun melangkah ke taman itu. Di pintu masuk saya mendapati papan nama
bertuliskan ‘UPT Monumen Perjuangan Rakyat Bali’. Oh, sebuah monumen rupanya.
Sambil
berjalan mengitari taman yang luas ini, saya menghubungi ibu saya dan Bu Dwi,
mengabari proses pembuatan visa saya. Setelah itu, saya menelepon Wahyu untuk
menjemput saya di taman ini.
Sambil
berjalan, saya melihat banyak aktivitas yang masyarakat sekitar lakukan. Ada sekelompok
siswa yang sedang olahraga di salah satu sudut lapangan, ada gerombolan
bapak-bapak yang sedang berkumpul, sepasang suami istri yang sedang sarapan
bersama, seorang wanita yang duduk di bangku taman sambil menatap layar laptop,
juga beberapa orang yang tampak sedang jogging. Dari arah monumen sendiri, saya
melihat ada sekelompok siswa SMA sedang mengadakan kunjungan.
Saya
pun duduk di salah satu bangku taman, mengerjakan beberapa tugas kampus sambil
menunggu Wahyu datang. Beberapa saat kemudian, ia tiba di taman. Saya pun
mengajaknya masuk untuk melihat-lihat monumen. Kabar gembira bagi para
mahasiswa, dengan menunjukkan KTM kita hanya perlu mengeluarkan selembar uang
Rp2.000 untuk menjelajahi monumen cantik ini. Bandingkan jika berkunjung
sebagai wisatawan umum, kita harus merogoh selembar uang Rp10.000.
Tanda terima visa Jepang |
Biar melancong tugas tetap jalan, hehehe |
Ternyata
monumen ini cukup besar. Begitu tiba di puncak undakan tangga pertama, saya
bingung apakah mengelilingi luarnya dulu atau melihat-lihat suasana di dalam. Akhirnya,
saya dan Wahyu memutuskan mengelilingi bagian luar monumen dulu. Namun sayang,
baru berkeliling sebentar, kami melihat sepasang calon pengantin sedang ada
sesi foto pre-wedding. Wajah keduanya sangat khas wisatawan dari Tiongkok. Kami
pun berjalan mengitari monumen dari sisi lainnya. Lagi, sepasang pengantin
berwajah Chinese menahan langkah kami. Fyuuh.... susahnya ke tempat wisata
terkenal ya gini deh...
Monumen Perjuangan Rakyat Bali |
Ini nih yang lagi pre-wed |
Kami
pun melangkah memasuki monumen. Kami langsung tertarik dengan sebuah kolam ikan
koi di tengah-tengah bangunan. Kami lalu membeli pakan ikan di loket persisi di
belakang kami. Melihat riak air berkecipak oleh gerakan ikan yang berebutan
makanan membuat saya teringat saat memberi makan ikan-ikan saya dulu saat masih
kecil.
Kami
lalu menaiki sebuah tangga melingkar berwarna merah yang dilapisi karpet
abu-abu. Ada sekitar 68 anak tangga yang harus kami naiki, dengan bentuknya
yang melingkar seperti pilinan DNA, membuat saya agak pusing.
Kami
pun sampai di puncak monumen. Kereeennn..!!! Dari sini, kami bisa melihat
keseluruhan taman serta pemandangan kota Denpasar di sekitar taman. Selain itu,
di langit-langit monumen juga ada relief senjata yang digunakan para dewa dalam
mitologi Hindu.
Kami
lalu turun ke lantai dua, dan melakukan ‘tur’ kecil. Di lantai dua yang
berbentuk melingkar ini, tersaji kisah-kisah perjalanan masyarakat Bali, sejak
masa pra-sejarah hingga Indonesia merdeka, yang tersaji apik dalam lebih dari
30 miniatur berbingkai kaca. Masing-masing miniatur memiliki kisah sendiri dan
saling terkait satu sama lain, yang dijelaskan dalam bahasa Indonesia, Inggris,
dan aksara Bali.
Puas
mengelilingi monumen, kami meninggalkan monumen—yang disebut juga ‘Bajra Sandhi’
karena bentuknya mirip lonceng yang dipegang Pedanda atau pemimpin upacara
keagamaan saat ada ritual ibadah—ini untuk makan siang.
Ikan koi dalam kolam di tengah monumen |
Bagian dalam monumen |
Tangga 'DNA' hohoho |
Pemandangan dari atas monumen |
Salah satu miniatur kisah rakyat Bali |
Wahyu
mengajak saya ke ‘Warung K-pop’. Memasuki warung yang tidak terlalu luas ini,
saya disajikan oleh puluhan poster artis-artis K-Pop yang sedang terkenal saat
ini. Tidak hanya itu, tersedia tv khusus yang disediakan untuk memutar
lagu-lagu Korea. Hihihi, sejenak jadi berasa lagi di Korea.
Kami
pun memesan nasi ayam pedas, nasi goreng kimchi, dan tteokkpeokki—jajanan dari
tepung beras yang dilumuri saus pedas. Dari Warung K-Pop, kami kembali ke Bukit
Jimbaran untuk istirahat.
Poster-poster K-Pop memenuhi dinding |
Yeay! Tteokkpeokki :D |
Nasi ayam pedas |
Foto di depan Rektorat Unud |
Sorenya,
giliran Kadek yang mengajak saya plesir. Kami berkendara ke arah selatan,
menuju sebuah pantai eksotis: Pantai Pandawa.
Pantai
ini terletak di Desa Kutuh, Bali Selatan. Pantai ini dikelilingi bukit kapur
yang sangat cantik. Selain itu, di pantai ini kita juga bisa menyaksikan
patung-patung tokoh Mahabaratha—kisah dalam agama Hindu—yang dipahat di tebing kapur.
Saya
terpana begitu tiba di pantai. Pantai berpasir putih yang panjang, air laut
yang jernih berwarna kebiruan, serta sinar mentari sore yang melembut. Pantai ini
tidak hanya cantik, namun bersih dan ramai. Saya segera meluncur ke air laut
(tapi nggak sampai mandi sih, hehe). Bersama Kadek, saya puas-puasin berfoto
dengan aneka background yang sangat menakjubkan.
“Kalo
Kakak mau ke pantai, saya memang rekomendasikan pantai Pandawa, soalnya pantai
ini view-nya bagus. Kalo ke Kuta, bakalan nyesel soalnya view-nya biasa aja, Cuma
di sana banyak bulenya sih,” kata Kadek.
Foto dengan wistawan dari Tiongkok |
Pake Udeng tetap cakep kan, hohoho |
Di depan patung Arjuna |
Pemandangan dari atas tebing |
Sebelum
pulang, saya singgah ke toko souvenir membeli kain Bali dan udeng—penutup
kepala khas Bali. Selanjutnya kami menyusuri toko grosir ‘Hardys’ di Nusa Dua
untuk membeli hadiah untuk dua adik saya yang berulang tahun bulan ini.”
Kadek dan manekin di Hardys, hihihi |
9
Desember 2014: Matur Suksma
Inilah
akhir petualangan saya selama di Bali. Kesimpulannya, Bali adalah surganya para
travellers di seluruh dunia. Mau cari pantai-pantai cantik, Bali punya sejuta
keindahan di pesisir pantainya. Tertarik dengan wisata budaya, Bali mempunyai
banyak tradisi unik yang sayang dilewatkan. Wisata alam? Bali punya banyak
sekali spot-spot menarik yang harus dikunjungi.
Eh,
kok malah bahas travelling sih???
Well,
Alhamdulillah pengajuan visa saya berjalan lancar. Saya menitipkan tanda terima
serta uang pembayaran visa ke Wahyu, sekaligus minta tolong dikirim lewat JNE
ke Sumbawa.
Mengurus
visa Jepang ternyata sangat mudah, asalkan semua dokumen yang dibutuhkan
lengkap. Saya yakin Dreamers yang mau ke Jepang tidak akan kesulitan mengurus
visanya. Intinya sih, semua dokumen yang kita lampirkan itu untuk meyakinkan
pemerintah Jepang bahwa kita tidak akan menyusahkan mereka selama ada di sana. Bahkan
mulai tahun 2015, untuk wisatawan Indonesia yang ingin berkunjung ke Jepang bebas
visa, dengan ketentuan waktu maksimal berkunjung 15 hari. Lengkapnya silahkan
lihat di sini.
Well,
misi saya belum selesai. Usai makan siang, Wahyu tancap gas mengantar saya ke
bandara Ngurah Rai. Sebelumnya, saya mampir ke Kantor Kesehatan Pelabuhan (KKP)
Ngurah Rai, sekitar 5 menit dari bandara, untuk vaksinasi influenza. Karena
saya akan berangkat saat musim dingin, penyakit influenza sangat mudah
menyerang kekebala tubuh. karena itulah, saya vaksinasi influenza agar
terhindar dari penyakit ini selama berada di sana.
Saat
memasuki klinik KKP, ada beberapa pasien yang sedang mengantri. Saya pun
mengisi formulir pengajuan vaksinasi dan menyerahkan ke petugas. Tak lama
kemudian, saya dipanggil dan menerima suntik vaksin. ‘Vaksinnya berlaku selama
satu tahun, jadi nanti kalau mau vaksin influenza lagi, datang aja setelah
tanggal kadaluwarsa,” jelas salah satu petugas.
Usai
dari KKP, Wahyu langsung mengantar saya ke bandara. Waktu menunjukkan pukul
14.38 saat saya tiba di depan pintu keberangkatan domestik.
“Wahyu,
makasih banyak ya sudah bantuin saya selama di Bali,” ucap saya sebelum
berpisah.
“Iya,
Kak, sama-sama. Ntar kalo ada urusan ke Bali lagi hubungi aja saya,” jawab
Wahyu. Kami kemudian berpisah dan saya segera check-in pesawat.
Pukul
16.10, pesawat Lion Air membawa saya terbang melintasi selat Lombok, dan tiba
di Bandara Internasional Lombok. Segera saya menaiki bus Damri menuju Mataram. Pukul
20.00, bus travel membawa saya pulang ke Sumbawa.
Foto sama Wahyu di bandara |
Salah satu sudut Bandara Ngurah Rai |
SPECIAL
PART: MAKANAN HALAL
Kabar
gembira untuk travellers Muslim yang ingin melancong ke Bali. Mungkin, selama
ini masih banyak di antara kita yang parno ke Bali karena kesulitan menemukan
makanan halal—termasuk saya. Namun, hal itu tidak terbukti saat saya tiba di
Bali. Saya bisa dengan mudahnya menemukan makanan halal di sini. Pedagang lokal
sudah banyak yang menyediakan masakan halal dan memisahkan panci memasaknya
dengan bahan yang tidak bisa dimakan oleh muslim, itu keterangan yang saya
dapat dari Kadek dan Yuge.
Selain
itu, kita juga bisa menemukan deretan warung makan Jawa Timur ataupun Rumah
Makan Padang di sepanjang jalan Denpasar. Bahkan, di depan kosnya Wahyu ada
warung muslim. Jadi, untuk yang masih parno dengan makanan halal di Bali tidak
perlu merasa khawatir lagi, karena di sini tersedia banyak pilihan makanan untuk
muslim, dan tentu saja halal J
Well,
itulah sekelumit kisah saya selama mengurus visa Jepang dan menyusuri pulau
cantik ini selama beberapa jam. Matur suksma—terima kasih—buat Wahyu, Kadek, dan
Yuge yang sudah bersedia saya repotkan selama beberapa hari. Sampai jumpa lagi!
:D
Fahmiii.. ceritanya keren deh.. hehe
BalasHapusasik nih ya mau jaln2 lg ke jepang.. ikut donk dek :p
Makasih Kak Ayu :)
HapusHehehe, ayo Kak dengan senang hati :D
Mohon doanya Kak semoga baik2 selama di sana, aamiin
Eh iya kak Ayu gimana kabarnya? udah UAS kah? hehehe
Baik dek.. sdh dek ini lgi lburan hehe
BalasHapusbrpa lama di jepang dek?
penelitian apa dek?
Wah, senangnya, hihihi.
HapusTiga bulan Kak, sampe 31 Maret. Saya bantu risetnya visitting professor saya tentang Hemozoin, partikel yg dihasilkan infeksi malaria.