Link

Selasa, 16 Desember 2014

Visa Jepang: Travelling 'dadakan' ke Bali (2)

Dear Dreamers!

Oke, sekarang mari kita berlanjut ke pembuatan visa. Seperti apa sih prosesnya? Yuk, ikuti kisah saya! :D

8 Desember 2014: Visa, Bajra Sandhi, Warung K-Pop, dan Pandawa

Saya terbangun pukul 06.00, lalu bergegas shalat Subuh, mandi, kemudian sarapan. Wahyu lalu mengantar saya ke kos Kadek, sekitar lima menit dari tempat kami. Hari itu, saya yang membawa motor. Cihuy!

Sebenarnya, saya sudah mencicipi berkendara di jalanan kota Denpasar sejak kemarin, tepatnya dalam perjalanan dari Gramedia ke Galeria. Jalanan dari Jimbaran sudah cukup padat pagi ini. Kemudian kami berbelok ke arah tol Bali Mandara menuju Denpasar. Jalan tol ini sangat nyaman digunakan, dengan hamparan pemandangan hutan mangrove di teluk Benoa. Saya pun sempat menanyakan masalah reklamasi lahan yang cukup santer terdengar akhir-akhir ini. Beberapa kali saya juga memperhatikan poster penolakan reklamasi teluk Benoa di jalanan Denpasar.


“Jadi, kawasan teluk Benoa itu ada yang dijual ke pihak asing. Nah, mereka pengen bikin bisnis di situ. Supaya bisa lancar, mereka pengen perluas daratan dengan mereklamasi teluk Benoa. Kalau ditinjau dari sisi lingkungan, itu kan sama saja merusak ekosistem di pesisir. Makanya masyarakat Bali banyak yang protes,” ujar Kadek menjelaskan.

Pukul 09.30 kami tiba di depan Konjen Jepang Denpasar. Saya kemudian menghampiri satpam, kemudian ditunjukkan jalan ke pintu masuk. Saya kemudian mengisi formulir kedatangan di loket untuk menjelaskan tujuan kedatangan. Setelah itu, saya menitipkan semua barang elektronik di loker, lalu masuk ke ruang tunggu.

Ruang tunggu Konjen Jepang tidak terlalu luas, namun suasananya nyaman. Ada banyak benda-benda pajangan yang memuat informasi tentang Jepang, seperti buku bahasa Jepang, brosur Monbukagakusho (beasiswa studi di Jepang), dan banyak lagi. Hari itu juga tidak terlalu ramai, hanya ada saya, seorang pria paruh baya berwajah khas Jepang dengan seorang temannya yang berwajah lokal, serta satu keluarga yang terdiri dari ayah, ibu, dan anak laki-laki remaja.

Tak lama mengantri, saya pun dipanggil. Duh, sebenarnya saya agak tegang juga sih, takut peristiwa di Kedubes AS dulu terulang.

Flashback: saat mengurus visa Amerika dulu, saya hampir tidak lolos karena tidak bisa menunjukkan surat yang menyatakan bahwa universitas akan menanggung biaya perjalanan. Usut punya usut, sepertinya saya saat itu terlalu tegang, sehingga memancing staf Kedutaan bertanya lebih banyak ke saya, hehehe.

Akhirnya, saat mengajukan visa Jepang, sejak dari bertemu satpam di depan, saya sudah memasang senyum terbaik saya dan berusaha bersikap se-kooperatif mungkin dengan petugas. Saya kemudian menyerahkan dokumen saya dengan susunan versi saya (karena sampai akhir saya tetap tidak bisa memastikan jenis visa saya). Saya sudah siap kalau-kalau diminta menyusun ulang berkas saya.

Benar saja, tak lama setelah itu, petugas memanggil saya. Kami berbicara melalui telepon khusus. “Saudara Fahmi, tolong kolom yang ini diisi dengan nama kampus, nomor telepon, alamat kampus, dan pekerjaan orangtua.”

Saya lega karena dipanggil bukan untuk menyusun ulang berkas. Saya pun mengisi bagian-bagian yang kosong tersebut. Setelah itu saya serahkan kembali ke petugas. Sepuluh menit kemudian, saya dipanggil lagi. Petugas kemudian menyerahkan selembar kertas putih kecil berisi tanggal pengambilan visa. “Silahkan datang lagi tanggal 11 untuk mengambil visa sekaligus membayar biayanya,” ucap petugas, seorang wanita berusia sekitar empat puluhan dengan pakaian dan gaya rambut khas karyawan Jepang.

Saya tak dapat menahan rasa gembira saya. “Bu, saya sepertinya tidak bisa mengambil pada hari itu. Boleh saya wakilkan ke teman saya?” tanya saya.

Ibu petugas mengangguk. “Boleh, nanti kertas ini dikasih saja ke temannya sekalian membayar biaya visa,” jawab ibu petugas sambil tersenyum.

Saya pun mengucapkan terima kasih sambil membungkukkan badan serta tersenyum senyum sumringah kepada ibu petugas, kemudian membereskan tas saya, dan keluar dari ruangan. Kemudian saya mengambil barang-barang saya di loker dan keluar dari bangunan Konjen.

Alhamdulillah, akhirnya satu tahapan persiapan sudah saya lewati.

Saya kemudian berjalan-jalan ke sebuah taman di seberang Konjen. Taman ini sangat besar, kemudian ada sebuah bangunan cantik di tengahnya, seperti candi Hindu. Saya pun melangkah ke taman itu. Di pintu masuk saya mendapati papan nama bertuliskan ‘UPT Monumen Perjuangan Rakyat Bali’. Oh, sebuah monumen rupanya.

Sambil berjalan mengitari taman yang luas ini, saya menghubungi ibu saya dan Bu Dwi, mengabari proses pembuatan visa saya. Setelah itu, saya menelepon Wahyu untuk menjemput saya di taman ini.
Sambil berjalan, saya melihat banyak aktivitas yang masyarakat sekitar lakukan. Ada sekelompok siswa yang sedang olahraga di salah satu sudut lapangan, ada gerombolan bapak-bapak yang sedang berkumpul, sepasang suami istri yang sedang sarapan bersama, seorang wanita yang duduk di bangku taman sambil menatap layar laptop, juga beberapa orang yang tampak sedang jogging. Dari arah monumen sendiri, saya melihat ada sekelompok siswa SMA sedang mengadakan kunjungan.

Saya pun duduk di salah satu bangku taman, mengerjakan beberapa tugas kampus sambil menunggu Wahyu datang. Beberapa saat kemudian, ia tiba di taman. Saya pun mengajaknya masuk untuk melihat-lihat monumen. Kabar gembira bagi para mahasiswa, dengan menunjukkan KTM kita hanya perlu mengeluarkan selembar uang Rp2.000 untuk menjelajahi monumen cantik ini. Bandingkan jika berkunjung sebagai wisatawan umum, kita harus merogoh selembar uang Rp10.000.

Tanda terima visa Jepang
Biar melancong tugas tetap jalan, hehehe

Ternyata monumen ini cukup besar. Begitu tiba di puncak undakan tangga pertama, saya bingung apakah mengelilingi luarnya dulu atau melihat-lihat suasana di dalam. Akhirnya, saya dan Wahyu memutuskan mengelilingi bagian luar monumen dulu. Namun sayang, baru berkeliling sebentar, kami melihat sepasang calon pengantin sedang ada sesi foto pre-wedding. Wajah keduanya sangat khas wisatawan dari Tiongkok. Kami pun berjalan mengitari monumen dari sisi lainnya. Lagi, sepasang pengantin berwajah Chinese menahan langkah kami. Fyuuh.... susahnya ke tempat wisata terkenal ya gini deh...


Monumen Perjuangan Rakyat Bali
Ini nih yang lagi pre-wed

Kami pun melangkah memasuki monumen. Kami langsung tertarik dengan sebuah kolam ikan koi di tengah-tengah bangunan. Kami lalu membeli pakan ikan di loket persisi di belakang kami. Melihat riak air berkecipak oleh gerakan ikan yang berebutan makanan membuat saya teringat saat memberi makan ikan-ikan saya dulu saat masih kecil.

Kami lalu menaiki sebuah tangga melingkar berwarna merah yang dilapisi karpet abu-abu. Ada sekitar 68 anak tangga yang harus kami naiki, dengan bentuknya yang melingkar seperti pilinan DNA, membuat saya agak pusing.

Kami pun sampai di puncak monumen. Kereeennn..!!! Dari sini, kami bisa melihat keseluruhan taman serta pemandangan kota Denpasar di sekitar taman. Selain itu, di langit-langit monumen juga ada relief senjata yang digunakan para dewa dalam mitologi Hindu.

Kami lalu turun ke lantai dua, dan melakukan ‘tur’ kecil. Di lantai dua yang berbentuk melingkar ini, tersaji kisah-kisah perjalanan masyarakat Bali, sejak masa pra-sejarah hingga Indonesia merdeka, yang tersaji apik dalam lebih dari 30 miniatur berbingkai kaca. Masing-masing miniatur memiliki kisah sendiri dan saling terkait satu sama lain, yang dijelaskan dalam bahasa Indonesia, Inggris, dan aksara Bali.

Puas mengelilingi monumen, kami meninggalkan monumen—yang disebut juga ‘Bajra Sandhi’ karena bentuknya mirip lonceng yang dipegang Pedanda atau pemimpin upacara keagamaan saat ada ritual ibadah—ini untuk makan siang.

Ikan koi dalam kolam di tengah monumen
Bagian dalam monumen
Tangga 'DNA' hohoho
Pemandangan dari atas monumen




Salah satu miniatur kisah rakyat Bali

Wahyu mengajak saya ke ‘Warung K-pop’. Memasuki warung yang tidak terlalu luas ini, saya disajikan oleh puluhan poster artis-artis K-Pop yang sedang terkenal saat ini. Tidak hanya itu, tersedia tv khusus yang disediakan untuk memutar lagu-lagu Korea. Hihihi, sejenak jadi berasa lagi di Korea.

Kami pun memesan nasi ayam pedas, nasi goreng kimchi, dan tteokkpeokki—jajanan dari tepung beras yang dilumuri saus pedas. Dari Warung K-Pop, kami kembali ke Bukit Jimbaran untuk istirahat.

Poster-poster K-Pop memenuhi dinding
Yeay! Tteokkpeokki :D

Nasi ayam pedas
Foto di depan Rektorat Unud
Sorenya, giliran Kadek yang mengajak saya plesir. Kami berkendara ke arah selatan, menuju sebuah pantai eksotis: Pantai Pandawa.

Pantai ini terletak di Desa Kutuh, Bali Selatan. Pantai ini dikelilingi bukit kapur yang sangat cantik. Selain itu, di pantai ini kita juga bisa menyaksikan patung-patung tokoh Mahabaratha—kisah dalam agama Hindu—yang dipahat di tebing kapur.

Saya terpana begitu tiba di pantai. Pantai berpasir putih yang panjang, air laut yang jernih berwarna kebiruan, serta sinar mentari sore yang melembut. Pantai ini tidak hanya cantik, namun bersih dan ramai. Saya segera meluncur ke air laut (tapi nggak sampai mandi sih, hehe). Bersama Kadek, saya puas-puasin berfoto dengan aneka background yang sangat menakjubkan.

“Kalo Kakak mau ke pantai, saya memang rekomendasikan pantai Pandawa, soalnya pantai ini view-nya bagus. Kalo ke Kuta, bakalan nyesel soalnya view-nya biasa aja, Cuma di sana banyak bulenya sih,” kata Kadek.





Foto dengan wistawan dari Tiongkok
Pake Udeng tetap cakep kan, hohoho


Di depan patung Arjuna


Pemandangan dari atas tebing



Sebelum pulang, saya singgah ke toko souvenir membeli kain Bali dan udeng—penutup kepala khas Bali. Selanjutnya kami menyusuri toko grosir ‘Hardys’ di Nusa Dua untuk membeli hadiah untuk dua adik saya yang berulang tahun bulan ini.”

Kadek dan manekin di Hardys, hihihi
9 Desember 2014: Matur Suksma

Inilah akhir petualangan saya selama di Bali. Kesimpulannya, Bali adalah surganya para travellers di seluruh dunia. Mau cari pantai-pantai cantik, Bali punya sejuta keindahan di pesisir pantainya. Tertarik dengan wisata budaya, Bali mempunyai banyak tradisi unik yang sayang dilewatkan. Wisata alam? Bali punya banyak sekali spot-spot menarik yang harus dikunjungi.

Eh, kok malah bahas travelling sih???

Well, Alhamdulillah pengajuan visa saya berjalan lancar. Saya menitipkan tanda terima serta uang pembayaran visa ke Wahyu, sekaligus minta tolong dikirim lewat JNE ke Sumbawa.

Mengurus visa Jepang ternyata sangat mudah, asalkan semua dokumen yang dibutuhkan lengkap. Saya yakin Dreamers yang mau ke Jepang tidak akan kesulitan mengurus visanya. Intinya sih, semua dokumen yang kita lampirkan itu untuk meyakinkan pemerintah Jepang bahwa kita tidak akan menyusahkan mereka selama ada di sana. Bahkan mulai tahun 2015, untuk wisatawan Indonesia yang ingin berkunjung ke Jepang bebas visa, dengan ketentuan waktu maksimal berkunjung 15 hari. Lengkapnya silahkan lihat di sini.

Well, misi saya belum selesai. Usai makan siang, Wahyu tancap gas mengantar saya ke bandara Ngurah Rai. Sebelumnya, saya mampir ke Kantor Kesehatan Pelabuhan (KKP) Ngurah Rai, sekitar 5 menit dari bandara, untuk vaksinasi influenza. Karena saya akan berangkat saat musim dingin, penyakit influenza sangat mudah menyerang kekebala tubuh. karena itulah, saya vaksinasi influenza agar terhindar dari penyakit ini selama berada di sana.

Saat memasuki klinik KKP, ada beberapa pasien yang sedang mengantri. Saya pun mengisi formulir pengajuan vaksinasi dan menyerahkan ke petugas. Tak lama kemudian, saya dipanggil dan menerima suntik vaksin. ‘Vaksinnya berlaku selama satu tahun, jadi nanti kalau mau vaksin influenza lagi, datang aja setelah tanggal kadaluwarsa,” jelas salah satu petugas.

Usai dari KKP, Wahyu langsung mengantar saya ke bandara. Waktu menunjukkan pukul 14.38 saat saya tiba di depan pintu keberangkatan domestik.

“Wahyu, makasih banyak ya sudah bantuin saya selama di Bali,” ucap saya sebelum berpisah.

“Iya, Kak, sama-sama. Ntar kalo ada urusan ke Bali lagi hubungi aja saya,” jawab Wahyu. Kami kemudian berpisah dan saya segera check-in pesawat.

Pukul 16.10, pesawat Lion Air membawa saya terbang melintasi selat Lombok, dan tiba di Bandara Internasional Lombok. Segera saya menaiki bus Damri menuju Mataram. Pukul 20.00, bus travel membawa saya pulang ke Sumbawa.

Foto sama Wahyu di bandara
Salah satu sudut Bandara Ngurah Rai





SPECIAL PART: MAKANAN HALAL

Kabar gembira untuk travellers Muslim yang ingin melancong ke Bali. Mungkin, selama ini masih banyak di antara kita yang parno ke Bali karena kesulitan menemukan makanan halal—termasuk saya. Namun, hal itu tidak terbukti saat saya tiba di Bali. Saya bisa dengan mudahnya menemukan makanan halal di sini. Pedagang lokal sudah banyak yang menyediakan masakan halal dan memisahkan panci memasaknya dengan bahan yang tidak bisa dimakan oleh muslim, itu keterangan yang saya dapat dari Kadek dan Yuge.

Selain itu, kita juga bisa menemukan deretan warung makan Jawa Timur ataupun Rumah Makan Padang di sepanjang jalan Denpasar. Bahkan, di depan kosnya Wahyu ada warung muslim. Jadi, untuk yang masih parno dengan makanan halal di Bali tidak perlu merasa khawatir lagi, karena di sini tersedia banyak pilihan makanan untuk muslim, dan tentu saja halal J



Well, itulah sekelumit kisah saya selama mengurus visa Jepang dan menyusuri pulau cantik ini selama beberapa jam. Matur suksma—terima kasih—buat Wahyu, Kadek, dan Yuge yang sudah bersedia saya repotkan selama beberapa hari. Sampai jumpa lagi! :D

4 komentar:

  1. Fahmiii.. ceritanya keren deh.. hehe
    asik nih ya mau jaln2 lg ke jepang.. ikut donk dek :p

    BalasHapus
    Balasan
    1. Makasih Kak Ayu :)
      Hehehe, ayo Kak dengan senang hati :D
      Mohon doanya Kak semoga baik2 selama di sana, aamiin
      Eh iya kak Ayu gimana kabarnya? udah UAS kah? hehehe

      Hapus
  2. Baik dek.. sdh dek ini lgi lburan hehe
    brpa lama di jepang dek?
    penelitian apa dek?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wah, senangnya, hihihi.
      Tiga bulan Kak, sampe 31 Maret. Saya bantu risetnya visitting professor saya tentang Hemozoin, partikel yg dihasilkan infeksi malaria.

      Hapus